Thursday, January 4, 2007

Tiga Revolusi di Dunia Ketiga

1. "Sang Surya yang tidak pernah tenggelam": Mao dalam revolusi Cina

REVOLUSI di Cina pada tahun 1949 adalah sebuah peristiwa historis yang penting, terutama untuk gerakan radikal di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Banyak partai Komunis dan kelompok radikal lainnya yang dilhami oleh teori-teori Mao. Dan "Revolusi Kebudayaan" tahun 1960-an juga menjadi inspirasi untuk gerakan-gerakan mahasiswa kiri sampai kini.

Sayangnya inspirasi ini sangat salah arah. Revolusi yang dipimpin Mao tidak membangun sebuah masyarakat sosialis di mana kaum pekerja sendiri yang menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial serta politik. Rezim Maois dikuasai oleh birokrasi otoriter, dan perekonomian RRC tidak luput dari logika kapitalis, walaupun perusahaan-perusahaan besar milik negara. Dan akhirnya, setelah Mao meninggal, RRC yang disebut "sosialis" itu mulai menjelma menjadi negara yang berekonomi pasar dan semakin mirip dengan negeri-negeri lain.

Itu bisa terjadi karena pada dasarnya, tujuan-tujuan Mao dan Partai Komunis Cina bukan untuk membangun sosialisme, melainkan untuk membangun ekonomi nasional yang kuat. Kaum buruh dan tani berkali-kali menjadi korban dari upaya ini.

*****

Riwayat Mao dimulai dengan hancurnya gerakan buruh revolusioner Cina. Antara tahun 1925 sampai dengan 1927, kota-kota di Cina mengalami sejumlah pemberontakan buruh yang dipimpin oleh Partai Komunis muda. Pemogokan massa meledak di Hong Kong dan laskar buruh yang bersenjata menguasai jalan-jalan kota Guangzhou. Perjuangan ini mulai di bawah payung gerakan nasionalis, tetapi kemudian berkembang lebih luas menjadi sebuah "revolusi permanen" yang semakin berhaluan sosialis. Namun waktu itu aliran komunis internasional (Komintern) sudah mulai didominasi oleh kebijakan Stalin, bahwa revolusi-revolusi di dunia ketiga harus melalui dua tahapan. Menurut Stalin, revolusi di Cina harus tetap dalam perbatasan "revolusi demokratik" saja. Makanya para komunis Cina disuruh untuk menyerahkan senjata-senjata mereka kepada golongan nasionalis. Mereka patuh; dan kemudian dibantai oleh golongan nasionalis tersebut.

Beberapa satuan komunis di pedesaan bisa bertahan hidup dan mereka berkumpul di pegunungan-pegunungan. Organisasi komunis di perkotaan hampir lenyap sama sekali. Mao menjadi pimpinan dan mengembangkan strategi baru dengan poros ke kelas petani. Pada awal tahun 1930-an para komunis berhasil mendirikan sejumlah "pangkalan merah" di beberapa daerah terpencil. Pemerintah-pemerintah setempat dicap "soviet-soviet", walaupun tidak mirip sama sekali dengan soviet (dewan buruh) demokratis yang muncul waktu revolusi Rusia. "Soviet-soviet" Mao merupakan sebuah kediktatoran militer oleh para tentara komunis, yang memang agak baik hati terhadap kaum tani. Namun ini jauh dari demokrasi revolusioner dalam artian Marxis.

Pangkalan itu diserang lima kali oleh pasukan pemerintah nasionalis, sampai akhirnya para komunis terpaksa harus mundur dari daerah-daerah ini, dengan menempuh perjalanan panjang Long March ke daerah Yenan.

Pada tahun 1931 Jepang menginvasi Cina, dan pemerintah nasionalis yang korup tidak mampu melawan, sehingga kota-kota utama diduduki Jepang. Seusai perjalanan Long March, Mao mennaikan semboyan perlawanan terhadap pendudukan itu. Begitu Jepang kalah dalam perang di kawasan Pasifik dan mulai menarik pasukan dari Cina, tentara komunis bisa mengalahkan tentara Jepang, kemudian merebut kota demi kota dari tangan kaum nasionalis. Pada tahun 1949, Mao dan Partai Komunis sudah menguasai negeri Cina. Kata Mao: "Cina telah bangkit!"

*****

Tetapi siapa yang bangkit? Bukan kelas buruh, dan bukan para penduduk urban pada umumnya. Seperti dipaparkan oleh John Molyneux dalam Mana Tradisi Marxis Yang Sejati?:

"Mao masih mengucapkan sentimen-sentimen tentang ‘peranan pemimpin kaum proletarian’ yang akan membimbing kelas petani. Tetapi sebetulnya, proletariat tidak berperan sama sekali dalam revolusi tahun 1949. Mao bahkan menulis pada tahun itu: ‘Diharap supaya semua buruh dan karyawan di semua bidang akan bekerja terus dan semua perusahaan akan berjalan seperti biasa.’ Maka ‘kepemimpinan proletarian’ hanya bisa berarti kepemimpinan Partai Komunis. Mengingat bahwa jumlah buruh yang ikut partai tersebut hanya sedikit saja, maka ‘pimpinan proletarian hanya berarti "ideologi proletarian", yang sebenarnya merupakan program Stalinis."

Revolusi tahun 1949 biasanya dimengerti sebagai sebuah revolusi petani. Namun bagaimana hubungannya antara kepemimpinan Partai Komunis dan kaum tani dalam sebuah perang gerilya? John Molyneux berargumentasi lebih lanjut:

"Tentara gerilya akan terdiri hampir 100 persen atas orang yang berlatarbelakang petani, namun hanya sebuah minoritias kecil dari kelas petani yang akan ikut berperang. Tentara Mao berjumlah beberapa juta – tetapi itu hanya persentase kecil dari 500 juta petani Cina. Hal ini tidak terhindarkan dalam perang gerilya yang menggunakan taktik 'tabrak lari', dengan pasukan yang selalu berpindah-pindah tempat…"

Sehingga tentara gerilya tidak betul-betul bergabung dengan massa petani dan mentalitasnya menjadi elitis:

"Mentalitas elitis ini sangat menyolok pula dalam perintah-perintah yang diberikan oleh Mao kepada pasukan gerilyawan dalam pergaulan mereka dengan kelas petani: ‘Sopan-santunlah! Tolong mereka sedapat mungkin. Semua benda yang dipinjam harus dikembalikan … Semua benda yang dibeli harus dibayar.’ Perintah-perintah ini membuktikan betapa timpangnya hubungan antara kaum prajurit dan kaum tani. Perintah-perintah tersebut memang sangat diperlukan, karena kondisi-kondisi obyektif senantiasa menggoda para prajurit untuk menghisap dan menindas kaum tani. Sedangkan situasi kelas buruh jauh berbeda. Sulit sekali dibayangkan sebuah organisasi buruh revolusioner yang harus memperingatkan kader-kadernya agar ‘jangan merampok kaum buruh di depan gerbang pabrik’."

Sebenarnya revolusi Maois adalah sebuah revolusi militer-birokratis yang berhaluan nasionalis bukan Marxis. Mao sendiri mengungkapkan pada bulan Juli 1949 bahwa "kebijakan kita kini adalah untuk mengatur kapitalisme, bukan untuk membinasakannya." Beberapa tahun kemudian, dihadapan tekanan imperialisme barat, Mao memang menjalankan perubahan-perubahan yang tampknya "sosialis" dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan besar. Tetapi para manajer lama sering menjadi manajer dalam sistem baru, sedangkan kaum buruh tidak ikut mengurus tempat-tempat kerja. Di pedesaan, kaum tani mengalami nasib yang mirip. Pada hakekatnya rezim ini lebih patut disebut kapitalis negara, karena rakyat pekerja tidak terlibat sama sekali dalam pemerintahan.

*****

Mula-mula pola pembangunan industri di Cina berlangsung menurut model klasik stalinistis yang diterapkan oleh Stalin sendiri pada tahun 1930-an di Uni Soviet. Namun hasil dari pola ini tidak memuaskan kaum penguasa. Walau ekonomi Cina bertumbah pesat, akan tetapi ekonomi-ekonomi barat sedang boom waktu itu, sehingga Cina semakin ketinggalan. Oleh karena itu, rezim menerapkan sebuah kebijakan yang nekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan meningkatkan laju eksploitasi terhadap kaum buruh dan tani. Dalam "Lompatan Besar" tahun 1958-1960, rezim menentukan target-target produksi yang ekstrim, dan mengadakan "kampanye-kampanye massa" guna memaksa rakyat pekerja untuk membanting tulang dalam upaya mencapai target-target tersebut. Meskipun para buruh dan tani bekerja sampai kehabisan tenaga, hasilnya belum juga memadai; lantas para pimpinan perusahaan berbohong dan memalsukan data-data produksi.

Akibatnya parah sekali, terutama di pedesaan di mana kaum tani dipaksa untuk masuk komune-komune besar. Komune-komune tersebut digembar-gemborkan sebegai "langkah ke arah komunisme". Sebenarnya sangat mirip dengan "komunisme barak" otoriter yang dikutuk Marx. Hasil panen amat mengecewakan, sampai pada tahun 1961 terjadi paceklik di beberapa daerah dan pemberontakan bersenjata meledak di dua propinsi. Akhirnya pemerintah kalah. "Lompatan Besar" dihentikan, dan kaum tani diajak untuk menjalankan produksi swasta. Mao agak tersisih, dan orang lain menentukan kebijakan ekonomi. Hasil-hasil panen mulai naik lagi, tetapi jurang pemisah antara petani kaya dan petani miskin mulai meningkat pula.

Mao sendiri belum juga kapok. Pada tahun 1965 dia memobilisasi para pendukungnya di bawah panji "Revolusi Kebudayaan". Sekali lagi, "revolusi" tersebut didengungkan sebagai perjuangan "komunis". Sebenarnya Mao hanya ingin menghantam musuh-musuhnya dalam kelas penguasa. Di ibukota Beijing upaya itu berhasil tanpa kekisruhan. Namun di daerah-daerah Mao harus memicu konflik-konflik, dan "Garda Merah" (kelompok-kelompok Maois) turun ke jalan untuk meyerang pihak yang berwenang.

Suasana "revolusioner" memang berkembang di beberapa daerah, karena pihak yang berwenang itu sangat dibenci oleh rakyat. Garda Merah yang terdiri atas pelajar-pelajar menghina bahkan menganiaya para pejabat lokal. Namun kampanye ini dengan cepat sekali melampaui segala batasan. Guru-guru juga dianiaya, dan musium-musium dibakar karena dianggap kebarat-baratan dan dekaden. Kejadian-kejadian ini disertai oleh pengkultusan terhadap Mao sebagai "Sang Surya yang tidak pernah tenggelam". Seperti diungkapkan dalam sebuah perintah kepada para anggota angkatan laut: "Kita harus mematuhi instruksi-instruksi Ketua Mao, bahkan jika instruksi itu tidak kita mengerti."

*****

Akhirnya Mao semakin kehilangan kontrol atas kekisruhan yang disebabkan oleh Revolusi Kebudayaan itu. Para birokrat di daerah-daerah yang merasa terancam membalas dengan mengerahkan "Garda-Garda Merah" sendiri, sampai kelompok-kelompok pelajar saling berhantaman dimana-mana, dan kelas penguasa semakin khawatir bahwa sebuah perang sipil bisa meletus. Lebih parah lagi (di mata mereka), kelas buruh mulai bergerak secara indepen dengan sebuah gelombang aksi mogok. Kemudian muncul satu kelompok yang bersifat Marxis dalam artian aslinya. Kelompok Sheng Wu Lien mengembangkan sebuah analis kritis bahwa rezim Mao bukan sosialis. Dalam sebuah manifesto yang berjudul "Cina Mau Kemana?" mereka berargumentasi bahwa "kontradiksi-kontradiksi sosial yang telah menimbulkan Revolusi Kebudayaan adalah kontradiksi antara kekuasaan borjuasi birokratis baru dengan massa rakyat", sehingga "masyarakat membutuhkan perubahan yang lebih mendasar … [kita harus] menumbangkan borjuasi birokratis dengan menghapuskan aparatus negara lama, dan menjalankan revolusi sosial serta menerapkan tatanan sosial baru…"

Kaum penguasa meresponnya dengan represi kejam. Pemuda-pemudi dibuang ke daerah-daerah terpencil dalam jumlah besar untuk menghancurkan Garda Merah. Ratusan ribu rakyat dibantai di propinsi Guangxi dan beberapa tempat lainnya. Represi itu terjadi atas perintah Mao sendiri, tetapi tahap terakhir Revolusi Kebudayaan ini juga merupakan kekalahan besar buat Mao dan para Maois.

Setelah Mao meninggal, para pendukungnya (termasuk istrinya ) ditangkap dan dihukum. Dan kebijakan ekonomi pemerintah makin lama makin membuka jalan untuk mekanisme pasar, sehingga Cina mulai menempuh "jalan kapitalis" yang selalu dikhawatirkan Mao. Sekali lagi ekonomi pulih kembali; tetapi sekali lagi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya menjadi semakin besar. Unsur-unsur sosial yang sama tetap menjadi kelas penguasa, terutama para pejabat partai, negara dan industri. Kelas buruh dan kelas petani terus menjadi kelas tertindas. Sebenarnya, kebijakan pro-pasar ini tidak berarti sebuah peralihan ke kapitalisme. Kapitalisme sudah ada di Cina dari dulu, dalam bentuk kapitalisme negara. Hanya itulah yang dibangun oleh Mao.


2. Revolusi dan kontra-revolusi di Iran

REZIM SYAH ditumbangkan pada bulan Januari 1977 sebagai akibat perjuangan massa rakyat, terutama pemogokan umum kaum buruh. Selama beberapa waktu, rakyat Iran berharap akan masa depan yang lebih cerah. Namun adegan revolusioner ini berakhir dengan kediktatoran baru yang dikuasai oleh unsur-unsur Islamis—reaksioner. Kenapa ini bisa terjadi?

Gerakan liberal-nasionalis pimpinan Mohammed Mossadegh menang pemilu tahun 1951. Pemerintah Mossadegh itu menasionalisasi perusahan-perusahaan minyak tanah. Namun Mossadegh ditumbangkan oleh pihak militer dengan bantuan CIA. Kemudian timbul sebuah rezim militer yang dikepalai oleh Syah, disokong oleh polisi rahasia yang kejam bernama Savak. Profit dari industri minyak tanah mengalir terus, tetapi sampai tahun 1960-an rakyat tidak mendapatkan untungnya. Sebagian besar rakyat tetap buta huruf, dan dinas-dinas kesehatan tetap primitif.

Pada awal tahun 1960-an terjadi krisis ekonomi dan sosial yang disertai beberapa aksi mogok dan demonstrasi. Syah meresponnya dengan menluncurkan "Revolusi Putih" guna membentuk kembali struktur industri Iran. Program pembangunan baru ini menguntungkan dua golongan sosial: para petani kaya dan pegawai negeri. Yang merugi adalah kelas menengah tradisional: para pedagang di pasaran yang merasa terancam oleh perkembangan kapitalisme moderen. Pada tahun 1970-an kaum pedagang ini, bersama para ulama yang mewakili mereka, menjadi salah-satu golongan oposisi terhadap rezim Syah.

Di saat yang sama, sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi yang pesat, kelas buruh semakin besar dan militan, terutama di industri minyak tanah.

Pada tahun 1975, "rezeki minyak" selesai. Harga minyak tanah anjlok dan ekonomi Iran terjeremus ke dalam krisis tajam. Harga-harga bahan pokok melangit. Akibatnya, oposisi terhadap pemerintah semakin meningkat dengan semakin banyaknya aksi unjuk rasa dan mogok. Mulai bulan September 1978, sebuah gerakan buruh yang massal menggoncangkan rezim.

Mulai dengan tuntutan normatif, kaum buruh semakin beralih ke tuntutan politik seperti kebebasan berserikat, dihilangkannya intel-intel Savak dari perusahaan-perusahaan, dan pembebasan tapol. Mereka berbondong-bondong ke pusat-pusat kota dan berdemonstrasi secara besar-besaran. Kaum buruh minyak tanah menghentikkan produksi sebagai protes terhadap hubungan Syah dengan rezim apartheid di Afrika Selatan, sedangkan buruh kerata api menolak mengangkut polisi dan militer. Gerakan mulai menuntut partisipasi kelas buruh secara langsung dalam pemerintahan, dan sejumlah majikan melarikan diri keluar negeri. Panitia-panitia demokratis yang dipilih oleh para pekerja mengambil alih percencanaan produksi.

Pada tanggal 16 January 1979 Syah akhirnya lari keluar negeri. Jutaan rakyat berpeluk-pelukan di jalanan. Para jenderal kehilangan kontrol atas prajurit-prajurit sehingga harus bersikap netral terhadap pemberontakan itu. Mereka bernegosiasi dengan Ayatollah Khomeini, pemimpin utama oposisi Islamis, yang baru kembali ke Iran saat itu.

Kemudian kelompok gerilyawan Mojahidin dan Fedayin serta unsur-unsur dari militer menyerang dan mengalahkan pasukan-pasukan yang masih loyal terhadap Syah. Para ulama berusaha melarang serangan itu dengan argumentasi bahwa "belum saatnya" dan belum ada perintah dari Ayatollah Khomeini. Tetapi mereka tidak dihiraukan.

Khomeini menyatakan diri sebagai kepala negara, tetapi kekuasaan yang sebenarnya belum dipegangnya. Dewan-dewan (syura-syura) demokratis bermunculan dimana-mana: dewan buruh, dewan mahasiswa, dewan-dewan petani dsb. Kaum buruh menduduki pabrik-pabrik, sedangkan kaum tani mengambil alih tanah dari tuan-tuan tanah. Sehingga timbullah sebuah situasi "dualisme kekuasaan".

****

Keadaan "dualisme kekuasaan" semacam ini tidak stabil dan tidak bisa bertahan lama. Kalau kelas-kelas tertindas tidak menghancurkan aparatus negara lama dan menjalankan pemerintahan revolusioner, kekuataan-kekuataan reaksioner akan menghancurkan gerakan revolusi. Makanya faktor-faktor politik menjadi sangat penting.

Di Iran saat itu ada tiga macam organisasi politik oposisi. Yang pertama nasionalis-borjuis, yang kedua agamis, yang ketiga sayap kiri.

Kelompok nasional-borjuis berusaha untuk memperjuangkan solusi demokratik-liberal, tetapi mereka terjepit antara kekuatan-kekuatan lain. Kelompok-kelompok Islamis, dipimpin oleh Khomeini, ingin menerapkan negara Islam. Tetapi ada juga alternatif kiri, yang seharusnya menarik dukungan massa rakyat, tertuma kelas buruh. Karena buruh dan rakyat telah membangun organ-organ independen. Selain itu ada sejumlah minoritas non-Muslim yang tertindas.

Ketiga kelompok kiri utama adalah Partai Tudeh (pro-Soviet) serta dua kelompok gerilyawan: kaum Mojahedin (pecahan dari golongan nasionalis) dan kaum Fedayin (pecahan dari Partai Tudeh). Ketiga-tiganya berpendapat bahwa revolusi di Iran waktu itu bukan revolusi sosialis melainkan harus melalui tahap "revolusi demokrasi" dulu. Partai Tudeh seperti semua Partai Komunis "resmi" sudah bukan revolusioner lagi dan sering berkoalisi dengan kaum nasionalis. Kedua kelompok gerilyawan benar-benar merupakan organisasi revolusioner dan berani sekali, sayangnya akibat strategi perang gerilya mereka terisolasi dari massa buruh di kota-kota sehingga massa rakyat di perkotaan lebih dipengaruhi oleh para ulama.

Di antara para ulama memang ada unsur-unsur yang sangat progresif, misalnya Ali Shariati yang tampil sebagai penganut teologi pembebasan. Setelah wafatnya Ali Shariati, sejumlah pemimpin Islam lain terutama Ayatollah Khomeini pura-pura mendukung tujuan yang sama. Namun pada dasarnya mereka mewakili kelas menengah tradisional di pasaran, yang agak reaksioner.

Pada tanggal 1 Mei 1979 kaum buruh mengadakan demonstrasi massa dengan satu setengah juta peserta di jalanan ibukota Tehran. Mereka mennaikkan tuntuntan seperti "Nasionalisasi seluruh industri!", "Ganyang imperialisme!", dan "Persamaan hak untuk perempuan dan laki-laki!" Demonstrasi itu amat mengesankan, tetapi di beberapa tempat para peserta diserang oleh kelompok-kelompok ekstrim kanan. Golongan reaksioner sudah mulai mengerahkan tenaganya. Di saat yang sama, Partai Republik Islam menyelenggarkan sebuah rally terpisah dengan slogan anti-komunis dan himbauan agar kaum buruh bekerja lebih keras.

Tragisnya kaum Mojehadin tidak ikut demonstrasi buruh karena tidak mau dituduh "anti-Islam". Mereka mengambil sikap yang mendua dengan berteriak "Dukung dewan-dewan buruh!" sekaligus berteriak "Dukung Khomeini!".

Kejadian tanggal 1 Mei ini menunjukkan potensi revolusioner gerakan buruh, tetapi di saat yang sama menunjukkan ancaman dari sayap kanan dan kebingungan kelompok Mojahedin.

Sudah sebelum bulan Mei rezim Khomeini mulai menyerang gerakan-gerakan progresif. Semua perempuan disuruh memakai kerudung. Ketika kaum perempuan merayakan Hari Internasional Perempuan (International Women’s Day) mereka dipukul bahkan ditembaki oleh garda Muslim "Pasdaran". Kelompok reaksioner itu menyerbu toko buku pula dan membakar buku-buku, sedangkan markas-markas kelompok kiri digerebeg. Kemudian rezim mengadakan sebuah referendum yang diwarnai intimidasi dan kecurangan untuk menerapkan negara Islam.

Meskipun demikian, kelas buruh dan gerakan-gerakan radikal dan progresif tetap cukup kuat. Banyak tempat kerja yang masih dikuasai kaum buruh. Kaum tani mengambil alih tanah, sedangkan kaum perempuan dan tunakarya berdemo di jalanan. Rezim Khomeini mulai mencari akal untuk melemahkan perjuangan-perjuangan itu.

****

Pada tanggal 4 November 1979 sekelompok mahasiswa dengan dukungan Khomeini menduduki kedubes Amerika Serikat di Tehran. Semua kelompok kiri menyambut siasat Khomeini itu dengan antusias. AS memang telah mendukung Syah dan berperan reaksioner di Timur Tengah pada umumnya, dan imperialisme AS patut ditentang. Tetapi gerakan kiri revolusioner harus selalu menjaga independensinya dari rezim-rezim borjuis. Hal ini terlupakan oleh orang-orang kiri waktu itu. Kenapa itu bisa terjadi? Karena Partai Tudeh adalah sebuah partai Stalinis. Sedangkan kelompok Mojahedin dan kelompok Fedayin, yang betul-betul revolusioner, tidak punya hubungan organik denga kelas buruh. Selain itu, ketiga-tiganya mempunyai teori bahwa revolusi di Iran masih sedang melalui tahap "revolusi demokrasi" dan belum menjadi revolusi sosialis. Makanya mereka semua mencari aliansi dengan unsur-unsur borjuis yang dianggap demokratik atau anti-imperialis, sehingga mereka bisa tersedot ke dalam suasana nasionalis-religius dan fanatik yang dipicu oleh Khomeini.

Berdasarkan konsensus nasionalis-religius ini Khomeini berhasil memapankan lembaga-lembaga negara Islam yang semakin konservatif. Dewan-dewan di pabrik-pabrik dibubarkan. Kaum perempuan kehilangan sebagian besar dari hak mereka. Kelompok-kelompok kiri terpecah-belah.

Dalam revolusi di Iran kita meyaksikan potensi kelas buruh untuk menumbangkan seorang tiran, mengambil alih tempat-tempat kerja dan mengambil langkah di arah sosialisme. Tetapi di saat yang sama, kita melihat akibat tragis dari tidak adanya partai buruh Marxis revolusioner berbasis massa yang 100 persen independen dari semua kekuatan borjuis.


3. Fidel Castro dan revolusi Kuba

DI MASA pra-revolusi, penyair radikal Carlos Puebla menulis sebuah lagu:

Los caminos de mi Cuba
Nunca van a donde deben.

Jalan-jalan Kubaku
Tak pernah menuju ke arah yang benar.

Sebagian besar jutaan rakyat Kuba dan para simpatisan Castro di seluruh dunia pasti merasa begitu, melihat krisis yang dihadapi pulau tropis ini sejak runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Kuba mendapati diri terkepung, rakyatnya harus hidup melarat, dan ekonominya terpaksa membuka diri terhadap pasaran internasional yang sebelumnya mau ditentang oleh pemimpin utamanya, Fidel Castro.

Biang keladi semua kesulitan ini adalah imperialisme Amerika Serikat, yang penasaran melihat sebuah negeri kecil menantang dominasinya. Sejak tahun 1959, sembilan presiden AS telah berusaha meremukkan rezim Castro. Setelah gagalnya invasi di Teluk Babi yang disponsori CIA pada tahun 1961, AS menjalankan boikot ekonomi. Kuba bisa bertahan dengan bantuan Soviet sampai negara Soviet itu ambruk di zaman Gorbachev. Tetapi di dasawarsa 1990-an keadaan Kuba menjadi cukup parah.

Kewajiban utama kaum kiri adalah solidaritas dengan Kuba melawan imperialisme. Namun kita bisa membela Kuba secara lebih efektif, jika kita mempelajari pengalaman revolusi di negeri ini dengan saksama dan kritis.

Fidel Castro, Che Guevara dan para gerilyawan bisa merebut kekuasaan pada tahun 1959 karena kediktatoran Batista ambruk secara kurang-lebih spontan, sehingga terjadi sebuah kevakuuman politik. "Kaum berewok" (barbudos) mengambil alih kekuasaan dengan menyangkal bahwa mereka orang kiri atau komunis. "Revolusi kita bukan berwarna merah melainkan hijau buah zaitun," kata Castro merujuk ke rona seragam para gerilyawan, dan dia mengutuk "komunisme dengan konsep-konsepnya yang totalitarian". Dalam sebuah pidato di universitas Princeton di AS Castro menegaskan bahwa "Bertentangan dengan pola Revolusi Rusia dan model Marxis, revolusi di Kuba tidak berdasarkan perjuangan kelas … revolusi ini juga tidak berniat meniadakan kepemilikan swasta."

Castro memang telah bercanda, "Coba aku Stalin, aku mau jadi komunis", namun karya-karyanya sebelum tahun 1960an tidak memuat argumentasi atau kosa kata Marxis. Waktu mereka merebut kekuasaan, para "brewok" memang hanya sekelompok aktivis demokratik. Tetapi reform liberal-demokratik tidak gampang di hadapan kekuataan Amerika.

Ketika Castro menjalankan beberapa reform agraria yang agak moderat pada tahun 1969, bantuan finansial Amerika segera dihentikan. Setahun kemudian, ketika Uni Soviet menawarkan minyak mentah, perusahaan minyak barat seperti Texaco, Shell dan Esso menolak membersihkannya. Castro menasionalisi fasilitas mereka. AS melarang impor gula dari Kuba, Kuba membalas dengan mengambil alih lebih banyak perusahaan AS, kemudian AS menjalankan boikot total terhadap perdagangan Kuba termasuk makanan dan obat-obatan, dan juga berusaha menumbangkan Kastro dengan invasi di Teluk Babi.

Kuba harus menghadapi sebuah pilihan yang dihadapi oleh setiap revolusi. Apakah kaum revolusioner akan berusaha meluaskan revolusi ke negeri-negeri lain, supaya kaum imperialis bisa dikalahkan, atau kaum revolusioner akan berupaya untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan politik dalam perbatasan satu negeri saja.

Mula-mula Castro dan terutama Che Guevara tampaknya condong ke alternatif yang pertama, tetapi akibat-akibat orientasi internasionalis ini tidak pernah dipahami mereka dengan akurat. Panggilan Che untuk menciptakan "banyak Vietnam" melupakan hal yang paling utama: hanya kelas buruh sedunia mampu untuk membangun dan mempertahankan sebuah gerakan internasional revolusioner (contohnya Internasional Komunis muda tahun 1919-23). Che berorientasi ke pedesaan dan aksi-aksi gerilya, namum gerakan-gerakan tani belum pernah dalam sejarah mencapai tingkat internasional. Che sendiri gugur secara tragis dalam upaya ini.

Kaum pimpinan Kuba lainnya tidak pernah berusaha secara serius untuk membangun sebuah gerakan internasional, melainkan cukup awal sudah memilih alternatif yang nampaknya lebih aman, yaitu membangun "sosialisme dalam satu negeri" dengan bantuan Soviet.

****

Kita sudah melihat: tekanan imperialis yang mendorong Castro untuk menasionalisasi industri-industri, dan tekanan imperialis pula yang menyebabkan dia mencari sekutu dalam blok Soviet. Sebenarnya Kuba diperlakukan tidak adil dalam blok tersebut. Carlos Tablada, seorang penasihat Castro, mengakui pada tahun 1991 bahwa dalam jaringan ekonomi blok Soviet, "kami tidak diizinkan mengembangkan sebuah industri otomotif karena peranan ini diberikan kepada Cekoslovakia."

Prestasi ekonomi Kuba sebelum tahun 1990 harus disimak dalam konteks ini. Prestasi itu sangat tidak merata. Laju pertumbuhan yang 3% kurang pada tahun 1960an meningkat menjadi 7.5% antara 1970 and 1975 karena dibantu dengan suntikan modal Soviet. Kemudian merosot menjadi kira-kira 4% antara 1975 dan 1980. Ekonomi bergejolak secara tajam antara 1980 dan 1985 karena fluktuasi harga ekspor, kemudian agak mandeg: angka penghasilan nasional pada tahun 1989 tetap dibawah angka yang tercapai pada tahun 1985.

Kebijakan sosial menghasilkan buah yang cukup baik. Sistem kesehatan unggulan, seluruh masyarakat melek huruf, dan hubungan antar-ras agak baik juga. Distribusi kekayaan jauh lebih merata dibandingkan dengan, misalnya, negara tetangga Amerika Serikat.

Banyak pengamat kiri yang menyimak prestasi Kuba ini -- pertumbuhan ekonomi yang lumayan, dinas-dinas sosial yang bagus, hubungan antar-ras yang tidak serasis banyak negeri lain -- dan menarik kesimpulan bahwa revolusi Kuba sudah membangun sebuah masyarakat sosialis yang bagus. Bukankah Kuba sebelum revolusi itu merupakan negeri melarat?

Sebenarnya bukan. Kuba sebelum revolusi penghasilan ekonominya (per capita) kira-kira sederajat dengan Argentina, salah satu negeri yang paling maju di Amerika Selatan. Dinas kesehatan cukup bagus, 80% dari penduduk sudah melek huruf, dan rasisme (menurut Castro sendiri) tidak begitu berarti. Artinya: Kuba bukan neraka seperti digambarkan oleh golongan reaksioner di AS, tetapi juga bukan surga seperti yang dibayangkan banyak golongan kiri, melainkan prestasinya selama 30 tahun sedang saja.

Selain itu, "sosialisme" di Kuba kekurangan satu sifat yang terutama penting: demokrasi. Soeharto memerintah Indonesia selama 23 tahun tanpa harus menghadapi capres alternatif, dan itu kita anggap sebuah kediktatoran. Castro sudah berkuasa sejak tahun 1959 dan belum juga muncul capres alternatif. Soeharto membantah para pengkritiknya dengan menunjuk ke "demokrasi pancasila" yang dianggapnya lebih unggul dari demokrasi liberal ala barat, tapi kita tahu itu hanya akal-akalan saja. Castro dan para pendukungnya (termasuk banyak kaum kiri di barat) mengajukan argumentasi yang mirip: bahwa Kuba punya demokrasi khusus berdasarkan poder popular (kekuasaan kerakyatan).

Kenyataannya? Rezim Castro memang lebih toleran daripada bekas rezim Eropa Timur. Dan pada awalnya dia berkuasa melalui semacam "demokrasi langsung" dengan rally-rally besar-besaran. Tapi lama-lama dia membutuhkan sebuah sistem pemerintahan yang lebih formal. Untuk itu, kelompok gerilyawan terlalu kecil.

Mereka tidak memobilisasi kaum buruh dan rakyat pekerja lainnya untuk mengambil alih pemerintahan sendiri, melainkan mengundang Partai Komunis untuk bersatu dengan mereka. Partai Komunis itu sudah lama tidak revolusioner lagi, dan tidak begitu antusias dengan pemberontakan yang dijalankan si Castro. Tetapi mereka memang bermanfaat untuk menjadi sebuah birokrasi seperti di Rusia.

Proses politik di Kuba dikontrol secara ketat oleh rezim. Partai Komunis selalu memiliki mayoritas tunggal dalam semua lembaga politik. Mass media disensor. Para pengkritik dibredel bahkan dipenjarakan. Pengkritik ini memang banyak yang dari sayap kanan dan kontra-revolusioner, tapi tidak semua. Ahli sejarah sosialis Ariel Hidalgo telah menulis sebuah analisis Marxis yang membuktikan bahwa Cuba masih sebuah masyarakat berkelas. Dia berseru agar kelas buruh bangkit lagi untuk melakukan revolusi baru yang betul-betul sosialis. Kemudian Ariel Hidalgo dijebloskan di penjara.

Di kampung-kampung, masyarakat diawasi oleh para "Komite Pembela Revolusi" yang berperan seperti RW/RT di Indonesia. Keadaan kaum perempuan juga jauh dari memuaskan. Misalnya kepemimpinan Partai Komunis hampir semua laki-laki.

Walau rezim Castro mengaku sosialis, kaum buruh tidak menguasai proses produksi dan tidak boleh mogok kerja Serikat-serikat buruh peranannya mirip dengan SPSI. Pada tahun 1970 hal ini diakui oleh Mennaker:

"Secara teoretis, para pengelola mewakili kepentingan rakyat. Itu memang benar dan baik. Nah, boleh jadi si pengelola melukan kesalahan demi kesalahan … kaum buruh melihat itu dan merasa harus menerima nasib mereka saja. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa."

Kenapa situasi ini bisa terjadi, mengingat motivasi-motivasi progresif yang telah mengilhami kaum "berewok" yang merebut kekuasaan pada tahun 1959? Penindasan dan penghisapan terhadap kelas buruh merupakan akibat logis dari upaya membangun "sosialisme dalam satu negeri". Rezim mau mengembangkan ekonomi tanpa dibantu oleh revolusi-revolusi buruh di negeri-negeri lain. Untuk itu, harus mengeruk laba sebesar-besarnya buat di-investasi lagi dalam produksi. Artinya, rezim harus mengakumulasi kapital dari jerih payah kaum buruh. Para buruh diajak berkorban demi tujuan-tujuan revolusi, dan mula-mula mereka bersedia berkorban. Tetapi dalam jangka panjang, eksploitasi in hanya bisa berjalan terus dengan timbulnya struktur-struktur dominasi. Alhasil logika kapitalis muncul juga, walau tidak ada kelas pemilik modal swasta. Sebagai pengganti muncullah sebuah lapisan birokratis yang menjadi kelas penguasa baru. Lapisan ini semakin korup -- dan korupsi itu sulit diberantas karena tidak ada demokrasi.

Dalam krisis tahun 1990an, kecenderungan kapitalis ini menjadi lebih parah lagi. Setelah kehilangan tunjangan dari Uni Soviet dan Eropa Timur, Kuba harus membuka ekonominya dan ekonomi itu di- "dolarkan" dengan cepat. Jurang pemisah antara yang punya dolar dan yang tidak punya menjadi semakin besar.

Tentu saja kita tetap mesti membela Kuba melawan ancaman-ancaman imperialis. Boikot perdagangan Amerika Serikat terhadap Kuba harus kita lawan. Rakyat Kuba berhak menentukan nasib mereka sendiri, tanpa campur tangan dari luar. Namun rezim Castro tidak boleh diagungkan atau dijadikan sebuah model untuk revolusi di negeri-negeri lain.


4. Beberapa kesimpulan

MESKIPUN ketiga revolusi ini agak beraneka ragam, akan tetapi menonjolkan pula beberapa persamaan. Para revolusioner (bahkan yang mengaku Marxis) selalu menjalankan strategi nasionalis; tetapi masalah-masalah sosial yang mendasar dewasa ini tidak bisa diselesaikan tanpa orientasi internasional. Mereka sering mengandalkan pendekatan "strategi tahapan" (revolusi demokratik dulu) yang kerap mengakibatkan kekalahan atau distorsi. Dan mereka tidak berorientasi untuk membangun sebuah partai revolusioner, dan sebuah negara revolusioner, yang berdasarkan pada kekuasaan langsung dan demokratik kaum buruh sendiri. Di Iran dan Cina (1927) mereka kalah secara tragis. Di Cina (1949) dan Kuba mereka menang, tetapi tatanan masyarakat yang mereka bangun belum juga membebaskan kaum buruh dan rakyat

Kesalahan-kesalahan itu sebagian besar berasal dari fenomena Stalinisme, yang menjungkirbalikkan teori dan praktek Marxis. Negeri-negeri dunia ketiga hanya bisa lepas dari penindasan kapitalis jika kaum revolusioner mengkaji kembali masalah-masalah tersebut. Itu sebabnya Suara Sosialis berupaya untuk menyediakan sebanyak mungkin bahan tentang Marxisme.

Masalah Kekerasan dalam Revolusi Sosialis

Kata "revolusi" tidak jarang menimbulkan bayangan atau kekhawatiran yang mengerikan, jangan-jangan pemberontakan rakyat, atau kelas buruh, akan menyebabkan pertumpahan darah secara besar-besaran.

Kekhawatiran ini tentu saja dimanipulasi oleh kaum yang sedang berkuasa untuk menakut-nakuti rakyat agar kita tidak menentang penindasan dan pemerasan. Penguasa tersebut adalah orang munafik yang memang bersedia menggunakan kekerasan untuk menindas rakyatnya sendiri.

Contohnya banyak, termasuk pembantaian buruh di Chile tahun 1974, penyembelihan mahasiswa di Cina tahun 1989, atau peristiwa tahun 1965 di Indonesia. Di Barat, dimana lembaga-lembaga sosial bersifat lebih stabil, kebiadaban serupa lebih jarang terjadi, namun rezim-rezim di barat tak ragu-ragu untuk menyokong pembantaian serupa. Dan di negeri-negeri barat sendiri, kekerasan kadang-kadang juga dipakai tatkala pemerintah kehilangan kontrol atas rakyat.

Namun masalah kekerasan dilontarkan pula oleh banyak aktivis politik, yang betul-betul menginginkan perubahan sosial, tapi yang lebih mementingakan jalan damai. Dialog dengan aktivis ini kami anggap sangatlah penting.

Sistem kapitalis sebenarnya lebih keras daripada revolusi manapun yang dapat kita bayangkan. Setiap hari sebagian besar umat manusia mengalami kelaparan, walaupun ada sumber pangan yang memadai untuk memberi makan semua orang di dunia. Saban hari kapitalisme membunuh kira-kira 50.000 orang. Mereka mati karena kelaparan, atau kecelakaan di tempat kerja, atau karena pelayanan kesehatan yang kurang memadai. Bahkan di Amerika Serikat, penyakit tbc sedang mewabah di New York, dimana banyak penduduk kulit hitam harapan hidupnya lebih pendek daripada penduduk di beberapa pelosok dunia ketiga.

Kaum sosialis ingin merubah sistem sosial yang penuh dengan kekerasan ini. Itu tidak mungkin terjadi tanpa pemberontakan bersenjata, karena kita sudah tahu dari pengalaman historis bahwa kaum pemilik modal tidak akan bersedia untuk menyerahkan kekayaan dan kekuasaan mereka kepada kelas buruh tanpa perlawanan.

Meski demikian, revolusi sosialis adalah cara yang terbaik untuk menghindari pertumpahan darah secar besar-besaran.

Nota bene, yang dimaksudkan tentu bukanlah revolusi ala Mao Tse-tung atau Pol Pot! Revolusi di Cina dan Kamboja itu sering digembar-geborkan sebagai revolusi "komunis", tapi seperti sudah kami jelaskan dalam kolom-kolom terdahulu, bahwa rezim "komunis" ini sebenarnya adalah bentuk dari kapitalisme negara. Revolusi tersebut berdasarkan perang gerilya yang sangat panjang dan berdarah. Perang gerilya sering didukung oleh kaum sosialis, seperti perjuangan nasional Indonesia tahun 1940-an yang tentu saja patut disokong oleh semua kaum progresif. Namun perang gerilya seperti ini bukanlah strategi Marxis.

Revolusi yang dijalankan oleh kelas buruh selalu berlangsung jauh lebih damai. Misalnya Kumune Paris tahun 1871, Petrograd (Rusia) tahun 1917, Barcelona (Spanyol) tahun 1936, Hongaria tahun 1956, dan Portugal tahun 1974. Di semua kasus ini kematian manusia sangatlah sedikit, sebelum kaum kapitalis melakukan kontra revolusi, ialah serangan balik untuk merebut kekuasaan dari kaum buruh. Kesediaan kelas buruh untuk membela diri memang menyebabkan peperangan yang cukup berdarah. Tapi bukankah kita boleh membela diri? Dan kontrarevolusi bisa juga terjadi setelah perubahan demokratis yang dilaksanakan dengan cara apapun.

Mengapa revolusi buruh berlangsung relatif damai? Kelas buruh memiliki kekuasaan sosial-ekonomi yang luar biasa, karena mereka hidup dan berjuang di jantung proses produksi. Oleh karenanya, kaum buruh mampu untuk membangun organisasi yang kuat, dan secara langsung mampu merebut alat produksi dari tangan kaum kapitalis.

Bahkan angkatan bersenjata susah untuk mengontrol gerakan buruh yang sadar dan militan, karena basis tentara sendiri sebenarnya juga terdiri dan berasal dari masyarakat kecil. Pemberontakan tersebut bukan saja hanya terjadi di jalanan namun juga di tempat kerja yang bisa direbut dan dipakai sebagai pangkalan. Di tempat kerja itu pula kaum buruh dapat mengkonstruksi lembaga demokratis baru untuk menggantikan aparatus negara sebelumnya. Untuk itu kaum buruh harus memiliki senjata untuk membela diri. Namun jika organisasi mereka cukup kuat, bisa jadi kekerasan tidak dibutuhkan sama sekali.

Dalam tulisannya tentang revolusi di Rusia, Trotsky membahas akan fenomena ini secara sangat terperinci:

"Setindak demi setindak kami telah telusuri perkembangan pemberontakan di Oktober 1917: ketidakpuasan massa buruh, kemarahan tentara tingkat bawah terhadap pemerintah, perjuangan kaum tani melawan tuan tanah, serta kepanikan golongan penguasa semakin meningkat ... Sesudah semua itu, adegan final revolusi ini mungkin terasa agak tawar... Boleh jadi pembaca merasa kecewa. Dimana huru haranya?... Kelas borjuis menanti lautan api, perampasan massal, pertumpahan darah dimana-mana. Padahal, yang bercokol adalah suatu kesunyian yang lebih seram buat kaum borjuis daripada segala teror alam ini. Dasar sosial di masyarakat bergeser tanpa bunyi, membawa rakyat ke depan, dan menghanyut serta menghapuskan kaum penguasa lama."

Masalah kekerasan ini penting untuk para aktivis di Indonesia. Dari satu sisi, mereka sering menyangsikan kemungkinan perubahan politik secara damai, lantaran sistem politik Orba begitu represif. Namun dari sisi lainnya, mana bisa mereka melupakan trauma tahun 1965, dengan hancurnya PKI dan pembunuhan massal di mana-mana di Nusantara? Sehingga mereka mencari jalan damai yang sekaligus tidak betul-betul berharap bahwa perubahan damai itu bisa dicapai.

Tetapi PKI itu sebenarnya bukanlah partai marxis (melainkan stalinis), dan strateginya pada tahun 1960-an jauh dari skenario revolusi marxis. Perbedaanya banyak, sehingga tidak bisa dibicarakan secara terperinci di kolom ini. Di sini kami lebih memusatkan perhatian pada masalah strategi pemberontakan saja. Massa Bolshevik waktu itu bersenjata, dan mereka bukanlah pasifis serta tidak menempuh jalan "konstitusional" atau parlementer. Tapi fokus Lenin dan Trotsky juga tidak pada masalah "militer", propaganda mereka tidak menggembar-gemborkan "perjuangan bersenjata" melainkan dengan mengemukakan peranan akan pentingnya mobilisasi massa buruh di tempat-tempat kerja. Ini bukan jalan damai yang mutlak dan sekaligus bukanlah jalan untuk menggunakan kekerasan, melainkan jalan revolusi sosial. Hasilnya, kaum Bolshevik mampu merebut kekuasan secara cukup damai.

PKI bagaimana? Menurut guru besar tentang Indonesia dari Cornell University, Ben Anderson, "PKI bertidak kontradiktif dalam menjalankan strateginya untuk memenangkan pertarungan politik. PKI sangat agresif dalam slogan-slogan ... Namun partai yang mengaku Marxis-Leninist ini, sebetulnya tidak menyiapkan diri untuk menghadapi konflik. Mudahnya, PKI tak menyiapkan kekuatan bersenjata untuk menandingi AD. Semboyannya konflik, tapi persiapannya untuk mengambil alih kekuasaan dilakukan secara damai, lewat parlemen." (dikutip dari "Suara Independen", September 1997, hal 11.)

Dan konsekwensinya sudah kita tahu, bahwa jalan "damai" akibatnya pembantaian massal. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengalaman yang mengerikan pada tahun 1965 ini adalah justru betapa relevannya pendekatan marxis saat ini.

Apakah Orang Akan Bekerja Tanpa Insentif ?

"Mengambil dari setiap manusia sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya."

Ini prinsip masyarakat komunis yang Karl Marx bayangkan. Dan sejak ia mengembangkan teori-teori sosialisnya, selalu ada saja para teoritisi sosial dari sayap kanan yang menganggap hal ini sebagai sebuah khayalan belaka. Menurut para teoritisi itu, insentif materiil adalah motivasi pokok setiap orang.

Banyak orang yang menerima pendapat ini. Jika kita melihat disekeliling, setiap orang tampaknya termotivasi karena uang. Siapa yang akan bekerja jika kalau tidak karena uang?

Namun tata laku masyarakat saat ini merupakan hasil dari perkembangan sejarah yang bersifat khusus.

Dalam sejarah manusia, tidak terdapat cukup kekayaan untuk menyediakan setiap orang agar hidup layak. Sehingga kehidupan yang bersifat barbar, dimana yang kuat memakan yang lemah, tidak bisa dihindarkan. Sedangkan orang yang paling kejam hanya memperhatikan diri sendiri, mengangkat diri sendiri diatas masayarakat kebanyakan, dan menjadi kelas yang berkuasa.

Hal ini tidak hanya tak bisa terhindarkan, melainkan ini juga sebuah proses yang penting. Hanya melalui timbulnya kelas yang berkuasa, sedikit surplus kekayaan dapat dikumpulkan ke dalam sejumlah tangan. Kelas yang berkuasa tidak hanya menggunakan surplus ini untuk konsumsi pribadi, tapi juga untuk mengembangkan produksi.

Kapitalisme adalah bentuk masyarakat berkelas yang tertinggi, karena kapitalisme adalah bentuk yang paling efisien untuk mengumpulkan surplus ekonomi ke beberapa tangan, dan kemudian memprosesnya kembali ke dalam bentuk pengembangan produksi.

Proses ini bersifat brutal dan opresif. Meskipun demikian kapitalisme dapat menimbulkan industri moderen yang dahsyat. Akibatnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, di tingkat global alat-alat industri yang ada mampu untuk menciptakan kekayaan yang cukup untuk memberi setiap orang kehidupan yang layak.

Kapitalisme tentunya tidak menggunakan kekuatan produksinya untuk itu. Penguasa-penguasa kita menggunakan kekuatan produksi tersebut untuk menghasilkan persenjataan atom, sementara jutaan manusia dilanda kelaparan. Itulah sebabnya revolusi sosial diperlukan.

Dalam masyarakat berkelas, kebanyakan masyarakat harus berjuang untuk hidup. Kebanyakan pekerjaan tidaklah nyaman, dan seringkali menghebohkan, selama revolusi industri saat anak-anak bekerja sampai 16 jam sehari. Hal ini juga terjadi di Indonesia moderen, misalnya banyak anak yang dipekerjakan di pabrik-pabrik melebihi jam kerja yang semestinya. Misalnya di pabrik Nike di Tangerang, kenyataan serupa masih bisa dijumpai.

Dibawah kapitalisme, kita tidak memiliki kontrol terhadap produksi yang berasal dari tenaga kita. Kita hanya memperkaya orang lain. Apakah mengherankan jika masyarakat bersikap sinis terhadap pekerjaan? Apakah mengherankan jika kita hanya melakukan pekerjaan jika seseorang menawarkan penghargaan materi yang cukup? Tetapi dunia kapitalis ini penuh dengan contoh-contoh yang menunjukkan bahwa jika diberi separo kesempatan, orang akan bertindak berbeda.

Umpamanya para sukarelawan yang bekerja tanpa upah untuk yayasan sosial, atau aktivist-aktivis LSM yang memberikan waktu luang mereka secara cuma-cuma, dan bekerja secara tekun untuk perubahan-perubahan sosial atau politik.

Potensi ini termanifestasikan dalam jumlah yang besar diantara kelas buruh di waktu revolusi. Di Russia, di bawah Lenin, para buruh sering bekerja secara sukarela tanpa mendapatkan upah agar menjaga ekonomi tetap berjalan selama blokade dari negara-negera imperialis. Hal serupa juga terjadi di Indonesia selama Revolusi, misalnya para pejuang tanpa pamrih memobilisasi massa untuk memerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Gerakan-gerakan revolusi juga menciptakan sebuah antusias baru untuk mentransformasikan teknik-teknik produksi. Contohnya perlawanan di Spanyol saat dimulainya perang sipil tahun 30-an. Meningkatnya fasisme telah menghancurkan industri lokal di Catalonia sebelum kemenangan pekerja merebut kekuasaan ke tangan mereka. Para buruh ini mendirikan kontrol industri mereka.

Mereka kemudian membangun kembali ekonomi yang telah hancur itu. Kondisi yang sulit seperti ini, berarti mereka hanya di tawari sedikit penghargaan. Namun mereka termotivasi, karena merekalah yang mengontrol produksi. Salah seorang pengamat mengatakan:

"Para ahli sangat terkejut terhadap keahlian para buruh dalam membangun mesin baru. Dalam waktu yang singkat, 200 hidraulik penekan yang berbeda dengan tekanan sampai 250 ton, 178 mesin bubut berputar, beratus-ratus mesin penggilingan dan beberapa mesin yang membosankan dibangun."

Kejadian yang sama juga terjadi di Nikaragua tahun 80-an. Amerika Serikat memblokade alat-alat industri Nikaragua yang sebetulnya sangat tergantung dari alat-alat buatan AS itu. Para pekerja meresponnya dengan gerakan-gerakan yang bersifat inovatif. Mereka memikirkan cara-cara untuk mengganti alat-alat itu, contohnya peralatan kedokteran. Para pekerja itu telah menunjukkan kepandaian yang luar biasa, dan tentunya mereka bekerja bukan semata-mata kerena uang. Karena kondisi ekonomi yang sulit saat itu, nilai upah di industri Nikaragua jatuh. Orang bisa mendapatkan uang berlebih dengan berjualan di pasar gelap. Motivasi mereka adalah politik: mempertahankan revolusi Sandinista.

Dibawah kapitalisme, hal seperti ini merupakan pengecualian.

Tetapi kalau manusia diberi ekonomi yang bersifat kolektif sehingga mereka tidak kuwatir secara terus menerus tentang masa depan dan masa depan anak-anak mereka, kalau mereka sendiri menjadi pengontrol proses produksi, maka semua kehidupan di tempat kerja bisa ditransformasikan.

Ini adalah inti dari perspektif sosialis. Ketika para pekerja memiliki hubungan baru dengan produksi -- industri berada dibawah kontrol mereka, bukan hanya sebagai penggeraknya -- kreatifitas mereka juga akan muncul.

Produksi kekayaan akan melonjak. Jam kerja akan dikurangi dan dikurangi lagi, dan tempat-tempat kerja akan layak untuk manusia. Training akan diperbaiki dan pekerjaan menjadi jauh lebih bervariasi dan merangsang.

Gerakan Mahasiswa 98: Perlu Sebuah Parameter

Gerakan Mahasiswa 98: Perlu Sebuah Parameter

"Situasi krisislah yang menarik orang turun ke jalan."

Pada akhir tahun 80-an/awal tahun 90-an begitu sulitnya mengajak mahasiswa untuk berdemonstrasi. Ini bisa dipahami karena setelah Peristiwa Malari dan Gerakan Mahasiswa 1978, mahasiswa dibungkam. Menteri P dan K saat itu, Daoed Josoef, mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Dengan kebijakan itu, dewan mahasiswa dibubarkan, dan yang tersisa hanyalah unit kegiatan mahasiswa dan senat fakultas, serta himpunan mahasiswa jurusan.

Dalam konsep NKK/BKK, kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat ilmiah. Dan, lebih dari itu, aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan kemahasiswaan "dipagari" pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif sehingga selama beberapa tahun kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas demonstrasi. Juga ketika kebijakan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) diterapkan oleh Menteri Fuad Hassan.

Sesungguhnya dalam konsep SMPT tidak banyak yang berubah dari NKK/BKK. Esensinya: "kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa..." masih digunakan dalam konsep SMPT. Dan, "pengembangan diri mahasiswa" dalam praktiknya diartikan sebagai kegiatan olahraga, kesenian, seminar, diskusi, pers mahasiswa; bukan sikap kritis terhadap kondisi masyarakat.

Hal yang penting untuk dicatat pada saat itu adalah munculnya kelompok-kelompok studi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Para mantan aktivis Malari menyebar, ada yang membentuk kelompok studi, LSM, dan ke media massa. Pada akhirnya aktivis kelompok studi tidak puas sekadar berdiskusi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat. Demikian juga dengan LSM, tidak puas hanya melakukan pendampingan masyarakat marginal. Ketika terjadi penggusuran-penggusuran penduduk, mereka terpanggil untuk melakukan aksi. Pembangunan Waduk Kedungombo mengakibatkan penduduk digusur dengan ganti rugi yang sangat tidak memadai.

Atas kasus inilah sebagian kecil mahasiswa, terutama aktivis pers dan kelompok studi, turun ke jalan, mengadakan demonstrasi. Aksi-aksi serupa juga terjadi atas kasus Kacapiring, Badega, dan lain-lain. Di kampus, mahasiswa mengadakan mimbar bebas untuk menyatakan solidaritas terhadap nasib masyarakat yang terkena penggusuran. Aksi-aksi tersebut diikuti oleh sebagian kecil mahasiswa. Juga ketika kebijakan SMPT mulai dikumandangkan, mahasiswa yang mengadakan protes relatif sedikit. Bahkan, dari kasus itu mahasiswa terpecah menjadi dua, ada yang pro dan ada yang kontra. Yang menentang SMPT, di UGM misalnya, sampai mengadakan aksi mogok makan--saya salah seorang pelakukanya--yang didemo oleh mereka yang mendukung SMPT. Kesadaran Baru: Organisasi Buruh melakukan mogok kerja menuntut upah yang layak. Petani berbondong-bondong ke DPR lantaran tanahnya digusur. Sopir mogok karena harga suku cadang melambung. Artinya, masyarakat melakukan protes karena kebijakan yang ada merugikan hak-haknya; menyangkut kepentingannya. Lalu, bagaimana dengan mahasiswa? Gerakan mahasiswa '90 awal ditandai salah satunya oleh protes- protes terhadap mahalnya uang SPP, minimnya fasilitas pendidikan, pungutan uang Potma (Persatuan Orang Tua Mahasiswa) atau sejenisnya. Protes-protes semacam ini tidak begitu menarik mahasiswa, walaupun itu menyangkut kepentingan mahasiswa. Mengapa demikian? Karena, hanya sebagian kecil mahasiswa yang merasakan beratnya beban tersebut. Meskipun SPP mahal, mereka masih bisa membayarnya; meskipun fasilitas pendidikan minim (perpustakaan yang miskin koleksi, ketiadaan klinik untuk mahasiswa, dan lain- lain), mahasiswa tidak begitu peduli. Aksi-aksi mahasiswa yang menyatakan solidaritas terhadap petani yang digusur atau buruh yang upahnya minim itu didorong oleh rasa simpati. Mahasiswa tergerak karena melihat ada ketidakadilan dalam kasus-kasus tersebut. Ini pun hanya menarik bagi sebagian kecil mahasiswa. Berbeda dengan protes terhadap sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB) dan Undang-Undang Lalu Lintas. Puluhan ribu mahasiswa dan kalangan masyarakat yang lain turun ke jalan. Bagaimanapun gerakan mahasiswa 90-an telah menciptakan kesadaran baru: pentingnya sebuah organisasi sebagai alat perjuangan. Aksi mahasiswa '98 mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sebelumnya. Dari segi jumlah boleh dikatakan mencengangkan. Puluhan ribu bahkan ratusan ribu mahasiswa berdemo. Dan, hampir terjadi di seluruh kampus di Tanah Air, dari kampus yang besar sampai kampus yang paling "manis". Dari segi isu yang diangkat sangat politis: menuntut turunnya Presiden Soeharto. Dan, dari segi militansi bisa dikatakan luar biasa. Mahasiswa berani bentrok dengan aparat keamanan, hingga jatuh korban luka-luka dan meninggal. Dan, dilihat dari segi hasil sungguh "ajaib": Presiden turun! Situasi krisislah yang menarik orang turun ke jalan. Krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat: melambungnya harga-harga, bangkrutnya sejumlah perusahaan, merebaknya pemutusan hubungan kerja. Karena krisis pula, mahasiswa juga terkena dampaknya. Harga kertas yang kian mahal tentu menyulitkan mahasiswa dalam menulis skripsi, tugas-tugas kuliah, dan fotokopi materi kuliah. Selain itu, mahasiswa kesulitan membayar indekos, membayar SPP, membeli buku, dan lain-lain. Selain itu, krisis yang menyebabkan kesengsaraan rakyat ini telah "mengetuk" hati nurani mahasiswa. Anggota masyarakat yang bernama mahasiswa memang unik. Dibanding pemuda yang lain (usia antara 18-26 tahun), mereka hanya dibedakan oleh status mahasiswa. Tetapi, pemuda dalam kelompok mahasiswa ini memiliki peluang untuk belajar tentang masyarakat, memperoleh informasi tentang kondisi masyarakat. Mereka juga punya peluang lebih besar untuk mengetahui ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Tentu, wawasan saja tidak cukup. Informasi saja tidak cukup. Faktor lain adalah idealisme. Mahasiswa terketuk hatinya untuk menyuarakan protes terhadap ketidakadilan dan penyelewengan yang dilakukan pemerintah. ......

Gerakan mahasiswa 66 adalah gerakan mahasiswa tanpa ideologi. Gerakan tersebut muncul karena dorongan untuk mengoreksi kebijakan pemerintah yang berlanjut pada menumbangkan pemerintah yang berkuasa saat itu. Lepas dari persoalan bahwa gerakan tersebut ditunggangi oleh tentara, yang jelas gerakan mahasiswa 66 timbul karena krisis. Pada masa Orde Lama (penamaan ini oleh pemerintah berikutnya yang menyatakan diri sebagai Orde Baru) dianggap banyak terjadi penyelewengan konstitusi (UUD 45), gejolak politik dengan sering bergantinya kabinet dan pertentangan antarpartai-partai yang membawa ideologi yang berbeda, serta kondisi ekonomi yang buruk dengan ditandai oleh melambungnya harga-harga. Personifikasi dari krisis tersebut adalah Presiden Soekarno. GM 66 memprotes itu semua hingga Soekarno jatuh. Gerakan Mahasiswa 66 sesungguhnya tidak memiliki konsep yang detail tentang arah perubahan yang diinginkan. Secara garis besar yang dituntut adalah turunnya harga, bersihkan kabinet, dan bubarkan PKI yang dikenal dengan Tri Tura. Setelah Soekarno jatuh dan Tri Tura terpenuhi tokoh-tokoh mahasiswa beramai-ramai menduduki lembaga pemerintahan. Benar, Orde Baru membawa banyak perubahan. Partai-partai politik dirampingkan menjadi tiga partai: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PKI dibubarkan yang disertai dengan pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI. Orde Baru bertekad melaksanakan UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Lalu, dimulailah pembangunan yang dititikberatkan pada pembangunan di bidang ekonomi secara bertahan (Pelita). Semua itu berlangsung berdasarkan proses yang dimotori oleh Presiden Soeharto.

Mahasiswa tidak pernah membayangkan sebelumnya tentang konsep pembangunan dan tatanan masyarakat Orde Baru. Bagi mereka yang penting adalah Soekarno jatuh, harga-harga stabil, PKI bubar, dan selanjutnya mereka dapat porsi duduk di pemerintahan--menjadi menteri atau duduk di kursi DPR. Bagaimanakah dengan gerakan mahasiswa 98? GM 98 timbul karena situasi krisis. Krisis moneter dimulai sejak Juli 1997 secara cepat meningkat menjadi krisis ekonomi dan selanjutnya disusul dengan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pemerintah Orde Baru memang patut untuk tidak dipercayai. Karena, kebijakan- kebijakannya mengkibatkan krisis ini. Di bidang politik, penerapan paket lima Undang-Undang Politik telah mengebiri potensi masyarakat untuk melakukan kontrol. Padahal, kontrol masyarakat terhadap pemerintah sangat penting untuk mencegah terjadinya segala bentuk penyelewengan. Sentralisasi kekuasaan pada lembaga eksekutif juga memperlemah kekuatan lembaga legislatif untuk melakukan kontrol terhadap eksekutif. Ketiadaan kontrol itu memberi peluang bagi tindak penyelewenangan: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di bidang kebudayaan, kebijakan-kebijakan yang dibuat Orde Baru telah membelenggu kreativitas seniman. Pelarangan sejumlah buku sastra dan pelarangan pertunjukan seni adalah contoh bentuk pembelengguan kreativitas. Dunia perfilman terpuruk pada selera "Ranjang Siang Ranjang Malam"; terjadi monopoli distribusi film impor oleh pengusaha yang dekat dengan birokrasi (kolusi). Di bidang hukum, produk hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman tetap diberlakukan; produk hukum yang membelenggu masyarakat, contohnya pasal-pasal karet (hatzaiartikelen), UU Subversi. Juga kerap terjadi mafia peradilan, peradilan sesat, dan lain-lain. Pendirian pengadilan tata usaha negara (PTUN) tidak mengatasi persoalan, karena pada praktiknya masyarakat selalu terkalahkan. Di bidang pers, masih sering terjadi pembredelan surat kabar ataupun majalah. Dan ini jelas sebagai bentuk intimidasi terhadap fungsi kontrol sosial dari pers.

Dan, di bidang ekonomi, kebijakan ekonomi tidak berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, tetapi berpihak kepada segelintir orang yang dekat dengan birokrasi (pemerintah). Terjadinya monopoli oleh anak-anak Soeharto, misalnya, mengakibatkan terampoknya uang rakyat untuk kepentingan keluarga Cendana dan lebih jauh mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Suap, uang pelicin, uang "keamanan" berakibat pada ekonomi biaya tinggi. Maka, tidak heran jika GM 98 tidak sekadar menuntut Presiden Soeharto turun, tetapi lebih mendasar lagi adalah reformasi total. Reformasi total berarti merombak tatanan lama dan menciptakan tatanan baru yang mengoptimalkan potensi masyarakat dalam berbagai bidang. Sebuah tatanan yang bebas dari tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tatanan yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah sehingga mempersempit peluang tindak penyelewengan. Sebuah tatanan yang memungkinkan masyarakat bebas dari rasa takut, bebas berekspresi. Tatanan yang memperhatikan hak asasi manusia. Tatanan baru yang berorientasi pada kesejahteraan, keadilan, dan kemuliaan. GM 98 belum berakhir. Turunnya Soeharto barulah sebagai awal dari kemenangan awal; awal sebuah reformasi total. Karena benteng angkuh Orde Baru yang penuh dengan penyelewengan sudah tumbang. Reformasi di segala bidang pun harus segera dimulai. Untuk mengukur keberhasilan, haruslah ada parameter. Tugas mahasiswa dan kelompok masyarakat yang pro-reformasi adalah membuat parameter, mengontrol, dan terus berjuang.