Friday, June 20, 2008

Kubu Liberal Versus Islam, Pasca Monas

Tanggal 9 Juni 2008 Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Kejaksaan Agung yang ditunggu sejak pertengahan April lalu akhirnya keluar. Namun, “Tidak ada pembubaran atau pembekuan (Ahmadiyah, red.). Bila melanggar SKB, baru dibekukan, ” ujar Jaksa Agung Suparman Supandji (10/6/08).

Hal senada disampaikan Menteri Agama Maftuh Basuni. Keputusan dalam SKB itu di antaranya berbunyi: Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad saw.

Tanggapan Terhadap SKB

Pertama: kelompok Ahmadiyah dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) memandang SKB tidak adil. Karenanya, mereka akan mengajukan judicial review (uji materi) ke Mahkamah Konstitusi. Juru Bicara Ahmadiyah, Syamsir Ali, menyayangkan keluarnya SKB. Dalam wawancara di TV One dia menuduh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai ‘tidak ahli’, ‘musuh kami’, dan ‘fatwa MUI merupakan biang dari kisruh terkait Ahmadiyah.’ (TV One, 10/6/2008).

Kedua: pihak yang menerima isi SKB dengan catatan harus dilaksanakan secara konsisten. Ketua MUI Amidhan (9/6/200 8) menyatakan, “Saya mengimbau kepada umat untuk menerima SKB. Namun, pelaksanaannya harus konsisten.” Untuk itu, lanjutnya, negara harus: (1) Mengontrol jamaah Ahmadiyah, termasuk pengurusnya, supaya tidak menyebarkan ajaran sesat Ahmadiyah; (2) Menarik buku-buku yang dikeluarkan Ahmadiyah dari peredaran; minimal ada 46 buku yang telah diteliti MUI dan ternyata menyimpang dari Islam; (3) Menghentikan program relay TV Ahmadiyah yang merupakan sarana penyebaran ajarannya; (4) Menghentikan pengiriman dai yang dilakukan Ahmadiyah ke daerah-daerah untuk mendakwahkan ajaran Ahmadiyah.

Ketiga: pihak yang menghargai keluarnya SKB, namun tetap pada tuntutan pembubaran Ahmadiyah. Pihak ini merupakan mayoritas umat Islam yang sejak awal menuntut pembubaran Ahmadiyah. Pasalnya, SKB tersebut belum menyentuh substansi persoalan, yaitu penodaan/penistaan agama Islam oleh Ahmadiyah¡½yang menetapkan ada nabi setelah Nabi Muhammad saw. dan pengacak-acakan al-Quran. Keyakinan demikian tidak dapat dipisahkan dari Ahmadiyah. Karenanya, Ahmadiyah harus dibubarkan dan pengikutnya diminta bertobat dan kembali ke ajaran Islam yang benar.

Ahmadiyah Harus Dibubarkan

Apakah SKB tersebut akan menyelesaikan masalah? Semoga saja begitu. Namun, pihak Ahmadiyah dan AKKBB merasa tidak puas dengan SKB dan akan meneruskan jalur hukum. Bahkan ketika Juru Bicara Ahmadiyah Syamsir Ali ditanya, apakah akan menjalankan apa yang tercantum dalam SKB, dia menjawab, “Kita lihat nanti.” (TV One, 10/6/2008). Ahmadiyah Jawa Tengah menyatakan akan mematuhi sebagian isi SKB (RCTI, 10/6/2008). Tidak jelas bagian mana yang akan dipatuhi dan mana yang tidak.

Umat Islam sesungguhnya tetap pada tuntutannya semula, yakni menuntut pembubaran Ahmadiyah. Sekretaris Jenderal DPP PPP, Irgan Chairul Mahfiz, menyatakan, “SKB perintah penghentian (kegiatan) saja tidak memenuhi tuntutan umat Islam yang menganggap ajaran tersebut telah berada di luar akidah Islam, ” ujarnya (Republika, 10/6/2008).

Eggi Sudjana dari Aliansi Damai Anti Penistaan Islam (ADA API) mengatakan, “SKB merupakan bom waktu yang dibuat oleh Pemerintah.” (9/6/2008).

Amir Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba’asyir menyatakan, “SKB 3 Menteri mengambang. Mestinya Ahmadiyah dibubarkan.” (RCTI, 10/6/2008).

Adapun Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia menegaskan, “Sebagai sebuah proses, SKB penting diapresiasi. Namun, SKB tidak menyentuh masalah subtansial, yakni pelarangan atas penistaan dan penodaan Islam.” (TV One, 9/6/2008).

Terkait masalah ini, penting direnungkan pernyataan Ketua MUI KH Ma’ruf Amin, “MUI dan ormas Islam akan mengevaluasi efektivitas SKB tersebut. Kalau SKB itu tidak efektif menghentikan kegiatan keagamaan yang menyimpang, Ahmadiyah harus dilarang dan dibubarkan.” (Republika, 10/6/2008).

Pertarungan Islam vs Sekularisme Sekuler

Insiden Monas sesungguhnya adalah percikan dari benturan antara arus sekuler dan Islam. Isu Ahmadiyah hanyalah case (kasus) yang mendorong kelompok sekular liberal untuk bergerak memberikan reaksi. Sebelumnya sudah ada beberapa kejadian terkait hal ini.

Pertama: pertentangan dalam isu Rancangan Undang-Undang Pornografi Pornoaksi (RUU APP). Ketika umat Islam mendukung disahkannya RUU APP menjadi undang-undang, kaum liberal justru menentangnya. Hingga kini tidak jelas bagaimana nasib RUU APP tersebut.

Kedua: terkait liberalisasi dalam ekonomi. Pada tahun 2005 beberapa tokoh utama AKKBB masuk dalam daftar nama-nama yang mendukung kenaikan bahan bakar minyak (BBM) lebih dari 100 persen itu. Di tengah rakyat bersama organisasi-organisasi Islam menentang kenaikan BBM dan liberalisasi Minyak dan gas, mereka justru mendukungnya.

Ketiga: ketika MUI dalam Musyawarah Nasional-nya mengharamkan sekularisme, pluralisme dan liberalisme, ormas-ormas Islam mendukung fatwa tersebut. Sebaliknya, kaum sekular menentangnya.

Keempat: Pada saat mayoritas umat Islam menuntut pembubaran Ahmadiyah karena menyimpang dari Islam, kaum sekular, dengan menggerakkan AKKBB, justru mendukung keberadaannya. Sekalipun telah jelas bahwa masalah Ahmadiyah adalah masalah penodaan dan penistaan agama Islam, tetap saja isu yang diusung adalah kebebasan beragama.

Setelah terjadinya Insiden Monas, dengan memanfaatkan media massa cetak dan elektronik, mereka melakukan penyesatan opini bahwa telah terjadi penyerangan terhadap massa AKKBB oleh massa FPI dan telah timbul korban di antaranya anak-anak, perempuan, orang cacat dan kyai. Padahal faktanya tidak terjadi sama sekali penyerangan terhadap anak-anak, perempuan dan orang cacat itu.

Bahkan isu beralih seakan menjadi pertentangan antara FPI dengan kaum Nahdliyin (NU). Untungnya, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi segera menyatakan bahwa NU tidak terlibat dalam Insiden Monas itu sehingga pertentangan tidak berlanjut.

Anehnya, Insiden Monas telah mengundang reaksi internasional. PBB sampai harus mengirim surat khusus untuk mempertanyakan insiden tersebut. Kedutaan AS juga memberikan reaksi khusus dengan mengunjungi korban dan membuat konferensi pers khusus. Hal semacam ini tampaknya memang dikehendaki oleh kelompok liberal. Bahkan boleh jadi, sebagaimana disinyalir beberapa kalangan, Insiden Monas memang direkayasa pihak asing dengan memanfaat kelompok tersebut.

Jadi, apa yang tengah terjadi adalah pertarungan antara Islam dengan sekularisme. Waspadai Arus Sekularisasi dan Liberalisasi! Terbitnya SKB sendiri terkesan merupakan ‘kompromi’ akibat pertarungan kaum sekular-liberal dengan umat Islam.

Di satu sisi, umat Islam dengan serangkaian demontrasinya begitu lantang menyerukan pembubaran Ahmadiyah. Di sisi lain, kaum sekular-liberal¡½dengan dukungan media sekular dan asing¡½terus-menerus memprovokasi umat Islam dan menekan Pemerintah untuk tidak membubarkan Ahmadiyah.

Kerasnya kelompok sekular-liberal dan semakin beraninya mereka menyuarakan liberalisasinya di Indonesia seharusnya semakin menyadarkan umat Islam betapa semakin lama mereka bisa semakin kuat jika dibiarkan. Pasalnya, mereka didukung penuh Barat. Bahkan mereka sesungguhnya hanyalah alat Barat. Sebabnya, setelah Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan khusus terhadap Islam. Islam dipandang musuh Barat berikutnya setelah runtuhnya Komunisme.

Karena itulah, berbagai upaya dilakukan Barat untuk ‘menjinakkan’ dan melemahkan Islam. Salah satu adalah dengan melakukan liberalisasi Islam besar-besaran di Indonesia dan Dunia Islam lainnya. David E. Kaplan menulis, AS telah menggelontorkan dana puluhan juta dolar dalam rangka kampanye untuk mengubah masyarakat Muslim sekaligus mengubah Islam itu sendiri.

Menurut Kaplan, Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia, yang untuk pertama kalinya AS memiliki kepentingan nasional untuk mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Sekurangnya di 24 negara Muslim, AS secara diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursus-kursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat (versi AS). (Terjemahan dari David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-25-2005).

Sejumlah LSM juga dijadikan alat Barat untuk menikam Islam dan kaum Muslim. Salah satu lembaga asing yang sangat aktif dalam menyebarkan paham liberalisme dan pluralisme agama di Indonesia adalah The Asia Foundation (TAF). The Asia Foundation saat ini mendukung sekaligus mendanani lebih dari 30 LSM yang mempromosikan nilai-nilai Islam ‘liberal’, di antaranya:

1. Yayasan Desantara,

2. Fahmina Institute,

3. International Center for Islam Pluralism (ICIP),

4. Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP),

5. Institut Arus Informasi (ISAI),

6. Jaringan Islam Liberal (JIL),

7. Paramadina,

8. Pusat Studi Wanita-UIN,

9. Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS), dan

10. Wahid Institute. (Husaini, 2007)

Lebih dari itu, kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam juga pernah diungkapkan oleh Menhan AS, Donald Rumsfeld. “AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat (Republika, 3/12/2005).

Umat Harus Bersatu

Menghadapi menguatnya arus liberalisasi di Indonesia akhir-akhir ini, yang puncaknya adalah pembelaan mati-matian kelompok sekular-liberal terhadap Ahmadiyah hingga kemudian memicu Insiden Monas, dalam sebuah wawancaranya, Juru Bicara Hizbut Tahrir.

Indonesia Ustadz Ismail Yusanto mengingatkan adanya pihak-pihak tertentu yang berusaha memecah-belah umat Islam dengan memanfaatkan Insiden Monas ini. “Nah, umat Islam, ormas Islam dan tokoh-tokohnya harus bersatu-padu, dan tidak boleh bercerai-berai, ” ujar Ustadz Ismail. (Hizbut-tahrir.or.id, 9/6/2008).

Persatuan umat Islam, selain jelas diperlukan, juga diwajibkan oleh syariah. Allah SWT berfirman: “Berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai” (QS Ali Imran: 103).

Umat Islam tidak hanya dituntut bersatu memegang teguh agama Allah, tetapi juga bersatu dalam menghadapi musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Mereka adalah orang-orang kafir yang saat ini gencar melakukan liberalisasi di tengah-tengah kaum Muslim di segala bidang: agama, ekonomi, politik, pendidikan, sosial, kebudayaan dll. Karena itu, umat Islam harus selalu waspada, karena Allah SWT telah memperingatkan: “Kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Muhammad) hingga kamu mengikuti agama/jalan hidup mereka” (QS al-Baqarah: 120).

Saturday, March 1, 2008

Upah Relatif dan Jam Kerja Relatif

Di bawah kondisi kapitalisme yang sudah mulai hancur, rakyat tetap hidup dalam kondisi kekurangan, dan sekarang lebih terancam bahaya terlempar ke dalam jurang kemiskinan. Mereka harus mempertahankan sesuap nasi mereka, bila mereka tidak dapat meningkatkan atau memperbaiki kondisi mereka. Tidak perlu dan tidak ada kesempatan untuk menyebutkan satu persatu tuntutan-tuntutan parsial dan terpisah tersebut, yang kerap lahir dari kondisi konkrit nasional, lokal, serikat buruh. Tetapi, dua masalah ekonomi yang utama, dimana mereka merupakan ringkasan meningkatnya absurditas sistem kapitalisme, adalah pengganguran dan harga yang melambung. Masalah-masalah ini membutuhkan slogan-slogan dan metode-metode perjuangan yang umum.

Internasional Keempat menyatakan perang tanpa kompromi melawan politiknya kaum kapitalis, yang mirip dengan politiknya kaum reformis yang merupakan agen kapitalis. Yakni sebuah politik yang bertujuan untuk meletakkan ke punggung rakyat pekerja semua beban militerisme, krisis, disorganisasi sistem finansial, dan keburukan lainnya yang merupakan akibat dari kehancuran kapitalisme. Internasional Keempat menuntut lapangan kerja dan kondisi hidup layak untuk semua orang.

Slogan inflasi finansial dan stabilisasi finansial tidaklah boleh menjadi slogan kaum proletar karena kedua hal tersebut adalah sama saja. Untuk melawan melambungnya harga-harga barang, yang akan menjadi semakin parah dengan mendekatnya perang, kita hanya bisa berjuang di bawah slogan upah relatif. Ini berarti bahwa perjanjian kolektif harus menjamin kenaikan upah yang otomatis seiring dengan naiknya harga barang-barang konsumen.

Di bawah ancaman hancurnya kapitalisme, kaum proletar tidak boleh mengijinkan rakyat pekerja untuk menjadi pengangguran miskin yang kronik, yang hidup di tempat-tempat kumuh di dalam masyarakat yang hancur. Hak untuk mendapat pekerjaan adalah satu-satunya hak penting yang tersisa bagi kaum pekerja di masyarakat yang berdasarkan eksploitasi. Hak tersebut adalah hak yang tersisa bagi kaum pekerja di masyarakat yang berdasarkan eksploitasi. Hak ini sekarang dirobek dari dia dalam setiap langkah. Dalam melawan penggangguran, secara “struktural” maupun “conjunktural”, waktu sudahlah matang untuk maju dengan slogan kerja publik, dengan slogan jam kerja relatif. Serikat-serikat buruh dan organisasi-organisasi massa harus mengikat kaum pekerja dan kaum penganggur di dalam solidaritas untuk tanggungjawab bersama. Berdasarkan ini, semua pekerjaan akan dibagi di antara semua pekerja sesuai dengan bagaimana jam kerja mingguan ditentukan. Upah rata-rata setiap pekerja tetap sama seperti halnya di bawah jam kerja mingguan yang lama. Upah-upah, berdasarkan upah minimum yang dijamin dengan ketat, akan mengikuti harga-harga barang. Dalam periode bencana sekarang ini, adalah tidak mungkin untuk menerima program yang lain.

Pemilik-pemilik properti dan pengacara-pengacara mereka akan membuktikan “tidak mungkin tercapainya” tuntutan-tuntutan ini. Kapitalis kecil, terutama kapitalis yang sudah hancur, akan merujuk pada pembukuan mereka. Kaum pekerja menolak mentah-mentah kesimpulan-kesimpulan dan informasi-informasi tersebut. Masalahnya bukanlah sebuah pertentangan “normal” antara dua kepentingan material yang berlawanan. Masalahnya adalah untuk menjaga kaum proletar dari kehancuran, demoralisasi, dan keruntuhan. Masalahnya adalah masalah hidup atau mati satu-satunya kelas yang kreatif dan progresif, dan karena kekreatifan dan keprogresifannya kelas tersebut adalah masa depan umat manusia. Bila kapitalisme tidak mampu memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut yang secara tidak terelakkan lahir dari bencana yang disebabkan oleh dirinya sendiri, maka biarlah kapitalisme hancur. Dalam kondisi sekarang ini, “kemungkinan dicapainya” atau “ketidakmungkinan dicapainya” tuntutan-tuntutan tersebut adalah sebuah masalah hubungan kekuatan-kekuatan sosial, yang hanya bisa ditentukan dengan perjuangan. Dengan jalan perjuangan ini, apapun keberhasilan praktis dan segera dari perjuangan tersebut, rakyat pekerja akan mengerti dengan sangat baik bahwa perbudakan kapitalisme harus dilikuidasi.

Kelas Proletariat dan Kepemimpinannya

Ekonomi, negara, dan politik kelas borjuis dan hubungan internasionalnya terjangkiti oleh sebuah krisis sosial, yang merupakan karakter sebuah masyarakat dalam kondisi pra-revolusioner. Halangan utama untuk merubah kondisi pra-revolusioner ini ke kondisi revolusioner adalah karakter oportunis dari kepemimpinan proletariat: ketakutan borjuis kecilnya terhadap borjuis besar dan kolusinya dengan borjuis besar bahkan di waktu kematiannya.

Di semua negara, kelas proletar digoyangi oleh sebuah kekhawatiran yang mendalam. Berjuta-juta massa, lagi dan lagi, memasuki jalan revolusi. Tetapi setiap kali mereka memasuki jalan revolusi ini, mereka dihalangi oleh organisasi mereka sendiri yang birokratik dan konservatif.

Kaum proletar Spanyol sudah melakukan serangkai usaha-usaha yang heroik semenjak bulan April 1931 untuk mengambil kekuasaan ke dalam tangannya dan menuntun nasib masyarakat. Akan tetapi, partai-partai mereka sendiri (Sosial Demokrat, Stalinis, Anarkis, POUM [3]) – masing-masing dengan caranya sendiri beraksi sebagai sebuah rem dan menyiapkan kemenangan Franco.

Di Prancis, gelombang mogok kerja “okupasi”, terutama selama bulan Juni 1936, menunjukkan kesiapan sepenuh hati kelas proletar untuk menumbangkan sistem kapitalis. Akan tetapi, organisasi-organisasi yang memimpin (kaum Sosialis, Stalinis, Sindikalis) di bawah label Front Popular berhasil membelokkan dan memblok arus revolusioner ini, setidaknya untuk sementara.

Gelombang mogok kerja okupasi yang tidak pernah terlihat sebelumnya dan perkembangan serikat buruh industri yang sangat pesat di Amerika Serikat (CIO [4]) adalah sebuah ekspresi yang tidak dapat dibantah dari naluri perjuangan kaum buruh Amerika untuk memenuhi tugas-tugas mereka yang dibebankan oleh sejarah. Tetapi disini, juga, organisasi politik yang memimpin, termasuk CIO yang baru saja terbentuk, melakukan apa saja yang mungkin untuk menghalangi dan melumpuhi tekanan revolusioner dari massa.

Keberpihakan Komintern [5] ke sisi borjuis, peran konter-revolusioner Komintern di seluruh dunia, terutama di Spanyol, Prancis, Amerika, dan negara “demokratik” lainnya, menciptakan kesulitan-kesulitan tambahan yang teramat besar untuk kelas proletar sedunia. Di bawah bendera Revolusi Oktober, politik damai yang dijalankan oleh “Front Rakyat” tersebut membuat kelas buruh menjadi impoten dan membuka jalan untuk fasisme.

“Front Rakyat” di satu pihak – fasisme di pihak yang lain; ini adalah jalan keluar politik kaum imperialis yang terakhir di dalam perjuangannya melawan revolusi proletariat. Akan tetapi, dari sudut pandang sejarah, kedua jalan keluar tersebut bersifat sementara. Kemerosotan kapitalisme tetap berlanjut di bawah simbol topi Phyrgian[6] di Prancis ataupun di bawah simbol swastika di Jerman. Tidak akan ada jalan keluar tanpa penggulingan kaum borjuis.

Orientasi massa pertama-tama ditentukan oleh kondisi objektif dari kemerosotan kapitalisme, dan kedua, oleh politik pengkhianatan organisasi-organisasi buruh yang lama. Dari faktor-faktor ini, faktor yang pertama tentu saja adalah faktor yang menentukan: hukum sejarah adalah lebih kuat daripada aparatus birokratik. Bagaimanapun berbedanya metode-metode dari pengkhianat-pengkhianat ini – dari undang-undang “sosial”-nya Blum [7] sampai ke pengadilan fitnahnya Stalin – mereka tidak akan pernah berhasil mematahkan semangat revolusioner kaum proletar. Seiring berjalannya waktu, usaha-usaha nekat mereka untuk menghentikan roda sejarah akan mendemonstrasikan secara jelas kepada massa bahwa krisis kepemimpinan proletariat, yang telah menjadi krisis peradaban umat manusia, hanya bisa diselesaikan oleh Internasional Keempat.