Beberapa waktu belakangan ini, minyak tanah menghilang dari pasar. Di ibukota saja, tempat di mana semua infrastuktur distribusi terbangun dengan baik, antrian minyak tanah berlangsung di mana-mana. Semua sektor masyarakat terganggu karena persoalan ini.
Namun, dengan entengnya, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, mengatakan: “Kalau tidak mau ada kelangkaan, harusnya tidak ada disparitas harga.” Artinya: kelangkaan adalah hal yang wajar karena minyak tanah disubsidi. Padahal, yang terjadi adalah pemotongan kuota minyak tanah untuk wilayah Jakarta oleh Pertamina. Purnomo Yusgiantoro beranggapan wajar saja Pertamina mengalihkan penjualan minyaknya agar jangan sampai terjual sebagai “minyak tanah bersubsidi”. Ini demi menggelembungkan keuntungan Pertamina, tentu saja.
Dalam kasus ini, jelas kelihatan bahwa Keuntungan Perusahaan Minyak ditempatkan dalam prioritas yang lebih tinggi daripada Kepentingan Rakyat. Tidak apa-apa rakyat susah, itu wajar, asalkan perusahaan minyak tetap meraup untung besar. Yang tidak wajar, begitu kata Hukum Pasar, adalah jika Perusahaan harus berkorban untungnya mengecil hanya demi rakyat. Bagi Hukum Pasar, rakyat memang sasaran pemerasan dan penghisapan. Rakyat dihisap tenaganya ketika bekerja di pabrik-pabrik atau di sawah-sawah. Rakyat diperas lagi penghasilannya ketika harga barang dinaikkan. Maka, yang justru mengherankan adalah jika Hukum Pasar berpihak pada rakyat. Tidak pernah ada ceritanya dalam sejarah di mana Hukum Pasar berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Kenyataan bahwa Pertamina adalah milik pemerintah bukan berarti bahwa keuntungan yang diraupnya dapat digunakan untuk kepentingan rakyat. Kita semua sudah tahu bahwa Pertamina adalah sarang korupsi. Sekalipun belum ada pejabat Pertamina yang dihukum karena korup, ini hanya persoalan politik.
Pertamina juga sarang pelanggaran hak-hak buruh. Sistem kerja kontrak diterapkan secara semena-mena di hampir semua unit usaha Pertamina – bahkan dengan terang-terangan melanggar Undang-undang Tenaga Kerja no 13/2000. Para pejabat Pertamina di unit-unit usaha selalu beralasan bahwa mereka berada di bawah Departemen Energi dan Sumberdaya, jadi tidak perlu tunduk pada UU yang menaungi Departemen Tenaga Kerja.
Sejak Indonesia menerapkan Hukum Pasar berkedok Reformasi, kesengsaraan demi kesengsaraan terus mendera rakyat pekerja Indonesia. Kelangkaan minyak tanah ini hanyalah satu bukti tambahan, betapa jahatnya Hukum Pasar.
Berkaitan dengan ini:
1. Pemerintah harus bertanggung jawab atas kelangkaan minyak tanah ini. Haram hukumnya bagi pemerintah untuk lepas tangan dengan alasan “Hukum Pasar”. Jika Pasar merugikan Rakyat, Pasar harus dihukum!
2. Pemerintah harus mengubah status Pertamina sehingga kembali berada di bawah kontrol rakyat. Kebijakan bisnis Pertamina harus transparan bagi rakyat. Pertamina tidak boleh berlindung di balik “rahasia perusahaan” untuk keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat banyak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment