Tahun 2006 ini Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun apakah Indonesia sudah berhasil menegakkan hak asasi manusia di dalam negerinya sendiri? Berikut catatan HAM bidang sipil dan politik selama 2006 yang dihimpun VHR.
Tahun 2006 masih diwarnai kekerasan oleh polisi. Dari bulan Januari hingga Maret, tiga orang tertembak saat demonstrasi menuntut penutupan tambang emas PT Freeport. Pelakunya adalah Brigade Mobil dari Polda Papua. Polisi juga menangkap 73 orang secara sewenang-wenang. Bahkan, hingga kini 200 mahasiswa masih bersembunyi di hutan-hutan karena takut atas kebrutalan polisi.
Di Poso, kekerasan masih berlangsung. Bom, pembunuhan, dan tindak kekerasan masih mewarnai kota yang dilanda konflik selama delapan tahun itu. Sekretaris Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Irianto Kongkoli, tewas ditembak orang tidak dikenal. Mantan Ketua GKS Rinaldy Damanik menyatakan kekerasan berlangsung karena tidak ada penegakan hukum terhadap provokator aksi kekerasan di Poso.
“Ya, pemerintah dan aparat keamanan ragu-ragu untuk menerapkan hukum secara tegas. Bagi kami yang penting sebenarnya adalah penegakan hukum yang benar-benar menyentuh rasa keadilan masyarakat, yang transparan, terbuka. Yang pasti. Begitu,” kata Rinaldy kepada VHR.
Pemisahan polisi dari Tentara Nasional Indonesia ternyata belum berhasil menciptakan polisi sipil. Polisi masih memiliki tradisi kekerasan yang militeristik. Padahal, menurut juru bicara Mabes Polri Anton Bachrul Alam, sekarang polisi mendapat pendidikan HAM.
“Itu mutlak ya! Wajib anggota Polri dalam menjalankan pelayanan kepada anggota masyarakat mengerti tentang hak asasi manusia. Jadi, pelajaran itu wajib! Mutlak ya!” kata Anton.
Setelah sembilan tahun reformasi, kebebasan berekspresi belum sepenuhnya dijamin. Pemidanaan terdahap penghina presiden masih berlangsung. Selama pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono saja tercatat lima orang diseret ke meja hijau dengan tuduhan menghina presiden. Mereka adalah Wayan Gendho Suardhana, Bay Harkat Firdaus, Fahrul Rohman, Eggy Sudjana, dan Pandapotan Lubis.
Menurut Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Indonesia, Rudi Satriyo, kritik di negara demokrasi tak perlu dipidana. Pasal penghinaan presiden merupakan jerat hukum bagi orang-orang kritis.
“Dengan syarat-syarat hanya bicara soal dilarang digunakan untuk persoalan kritik, tapi tidak ada masalah untuk persoalan yang berhubungan dengan menyamakan dengan binatang atau menghina,” kata Rudi Satriyo.
Ketua Komisi Hukum Nasional Jacob Elfinus Sahetapy bahkan menilai pasal penghinaan terhadap persiden tidak relevan. “Saya pikir penghinaan dan kritik harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Juga bagaimana memajukan reformasi dan demokrasi. Pasal-pasal ini sudah kehilangan relevansinya dan tidak dapat dipertahankan lagi,” kata pakar hukum dari Universitas Airlangga ini.
Untunglah pada 6 Desember lalu sebuah kado demokrasi diberikan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah ini mengabulkan gugatan uji materiil oleh Eggi Sudjana untuk mencabut delik penghinaan presiden. Kini tak seorang pun perlu takut mengkritik presiden.
Otonomi daerah ternyata juga berdampak pada kebebasan sipil. Banyak daerah mengeluarkan peraturan yang diskriminatif.
Sepanjang tahun 2006, Komnas HAM menerima 41 laporan peraturan daerah yang diskriminatif di beberapa daerah. Kebanyakan peraturan itu menganaktirikan perempuan.
Lilis Lindawaty, ibu rumah tangga, ditangkap petugas ketenteraman dan ketertiban Tangerang karena berjalan sendirian pada malam hari. Ia dituduh melanggar perda antiprostitusi.
“Kita prihatin karena salah tangkap. Kawan-kawan buruh banyak juga yang jadi korbannya,” kata Lilis.
Perlindungan hak asasi manusi juga masih merupakan persoalan besar di negeri ini. Sampai saat ini polisi belum mengumumkan pembunuh Munir, aktivis HAM. Pollycarpus Budihari Priyanto yang dihukum 14 tahun karena terlibat pembunuhan Munir belakangan dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Pejabat intelijen yang diduga mendalangi pembunuhan itu belum juga diadili. Pengacara terkenal Todung Mulya Lubis menilai Mahkamah Agung tidak mendukung penegakan HAM.
“Mahkamah Agung jangan hanya baca berkas. Harusnya Mahkamah Agung membuat sidang terbuka, bukan hanya terbuka pada saat pembacaan putusan. Karena itu, keputusan kasasi Mahkamah Agung akan semakin memperjelas posisi Mahkamah Agung dalam penegakan hak asasi manusia,” kata pengacara yang sudah malang-melintang di dunia HAM ini.
Di tengah-tengah kegelapan penegakan HAM, secercah harapan datang dari Jalan Latuharhary Jakarta, kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Setelah melakukan penyidikaan, komisi ini menyimpulkan terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1997. Komnas HAM merekomendasikan agar Wiranto dan Prabowo Subiakto diadili di pengadilan HAM.
“Mereka yang menerima, menderita kejahatan terhadap kemanusiaan yang ada penculikan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, dan penganiayaan,” kata Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komnas HAM, menyampaikan laporan penyidikan mengenai penghilangan paksa.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, kekerasan masih merupakan masalah HAM yang menonjol di negeri ini. “Kekerasan negara sangat menonjol dalam tahun 2006. kedua, belum ada perubahan sikap, cara pandang yang berubah di dalam melihat tuntutan-tuntutan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa lalu,” kata Usman Hamid, Koordinator Kontras.
Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, toh belum ada upaya nyata untuk mewujudkan hak-hak itu. Menurut aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Taufik Basari, tahun 2006 adalah masa yang kritis bagi penegakan HAM.
“Wajah penegakan HAM di tahun 2006 ini saya katakan hampir lumpuh. Artinya, kalau dibiarkan ia akan lumpuh. Jadi, bisa kita katakan ini adalah masa-masa kritis bagi negara,” ujar alumnus Universitas Northewestern, Amerika Serikat, ini.
Menjelang akhir tahun Mahkamah Konstitusi kembali membuat gebrakan: mencabut UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini adalah pedang bermata dua. Pertama, produk hukum yang mengesahkan impunitas itu dibatalkan. Namun, hal ini juga menjadi masalah, karena upaya mengungkap kasus-kasus kejahatan HAM di masa lampau akan menemui jalan buntu. Sebab, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertugas mengungkap kejahatan HAM di masa lalu, memberikan ganti rugi bagi para korban, di samping membangun rekonsiliasi bangsa.
Kini tahun 2006 sudah mendekati ujung. Banyak masalah di bidang sipil dan politik yang harus diperbaiki di tahun 2007. Penghapusan hukuman mati, pengadilan kasus-kasus kejahatan HAM, perlindungan kebebasan sipil, reformasi keamanan dan pertahanan, serta lain-lain belum juga berhasil.
Thursday, December 14, 2006
Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, Perlukah?
RENCANA pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir makin terang benderang. Apalagi setelah Australia mengungkapkan minatnya untuk membantu. Empat unit pembangkit berkapasitas 1.000 megawatt electrik (MWe) mulai ditenderkan tahun depan. Pembangunan akan dimulai tahun 2010. Diharapkan tahun 2016 pembangkit pertama sudah beroperasi dan mampu memenuhi 10% dari kebutuhan listrik Jawa-Bali.
PLTN konon merupakan jawaban atas krisis energi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik bagi industri dan rumah tangga. Menurut Menteri Riset dan Teknologi Koesmayanto Kardiman, saat ini sumber pembangkit listrik Indonesia bergantung pada minyak dan gas alam. Oleh karena itu, tenaga nuklir merupakan sumber energi yang semakin penting. Pembangkit yang menggunakan bahan bakar uranium ini mampu menghasilkan daya yang banyak, sehingga sudah menjadi sumber listrik utama di negara-negara maju.
“Dalam kebijakan energi nasional 2016, kita akan punya PLTN pertama. Dan sekarang kita sudah persiapkan itu. Tugas saya memberikan masukan kepada Presiden melalui kajian teknologi seberapa layak dia, dilihat dari faktor keamanan, faktor lingkungan, kemudian kajian tekhnologi, dan kajian ekonomis. Karena (nuklir) adalah barang dagangan saya, pasti saya bilang bagus, dong...” kata Koesmayanto Kardiman kepada VHR.
Setelah unit pertama sukses, unit-unit selanjutnya akan terus dibangun. Menurut rencananya, pada tahun 2025 keempat unit pembangkit itu sudah beroperasi dan menghasilkan daya sebesar 4.000 MWe.
Penelitian mengenai kemungkinan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir sudah dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sejak sepuluh tahun lalu. Tempat yang paling ideal untuk pembangunan itu adalah tiga buah titik di Semenanjung Muria, Jawa Tengah.
Biaya untuk membangun pembangkit tersebut tidak tanggung-tanggung. Menurut kepala hubungan masyarakat BATAN, Ferhat Aziz, setiap pembangkit berkekuatan 1.000 MWe membutuhkan dana US$ 1,7 miliar. Namun, investasi sebear itu akan mampu menghasilkan energi listrik yang murah. Sedangkan harga jual daya listrik mencapai US$ 3,5 sampai US$ 4,2 sen per kilowatt. Harga tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan harga jual listrik dengan tenaga uap bumi, yakni US$ 6 sen per kilowatt. Sedangkan listrik dengan pembangkit batu bara dijual US$ 4,2 sen per kilowatt. Sedangkan harga jual daya listrik yang diproduksi Paiton mencapai US$ 8,2 sen per kilowatt.
“Investasi nuklir memang mahal, sekitar US.700 sampai US$ 2.000 per kilowatt listrik. Jadi, kalau kita perlu 1.000 megawatt listrik, maka kita perlu kalikan itu dengan 1 juta. Jadi, perlu US$ 1.700 juta. Jadi, memang agak mahal,” katanya.
Masih menurut Ferhat, saat ini banyak investor asing yang berminat membangun pembangkit listrik tersebut. Negara-negara yang sudah berpengalaman membangun pembangkit listrik tenaga nuklir seperti Jepang, Amerika Serikat, Prancis, dan Korea sudah siap bekerja sama membangun pembangkit itu.
“Untuk pembangkit listrik, kita nanti terbuka saja. Siapa yang menawarkan ranium paling murah, kita ambil, walaupun kita sendiri punya cadangannya. Kita menerima mana yang paling ekonomis dan paling menguntungkan,” ujarnya.
Ferhat menambahkan, untuk permulaan pembangkit tersebut akan dikelola pihak asing yang memang sudah memiliki pengalaman dalam pembangunan dan pengelolaan PLTN. Namun, pelan-pelan akan dikelola oleh orang Indonesia.
“Awalnya memang sulit. Karena itu, rencananya untuk membeli PLTN, kita terima beres. Nanti setelah itu kita buat satu per satu. Itu yang namanya technology transfer. Jadi, ketergantungan teknologi ada benarnya, pada awalnya,” katanya.
Seperti di tempat-tempat lain, aktivis lingkungan hidup selalu menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sebab, walaupun tenaga nuklir sangat efisien, tetap saja membahayakan lingkungan dan keselamatan manusia karena mengadung zat radioaktif. Kandungan radioaktif nuklir tidak dapat hilang sampai ratusan tahun. Padahal, zat radioaktif dapat menyebabkan kerusakan genetik manusia, bisa membuat ibu hamil melahirkan anak cacat.
Menurut Dian Abraham, Sekretaris Masyarakat Anti-Nuklir Indonesia (Manusia), pembangkit tenaga nuklir akan menyebabkan ketergantungan energi dalam bentuk lain. Bahan bakar nuklir, uranium, merupakan bahan tambang yang juga tidak dapat diperbarui sebagaimana bahan minyak dan gas.
“Kalau pilih nuklir, kita justru jatuh ke perangkap lain. Kita mau membebaskan diri dari perangkap fosil fuel, termasuk karena climate change. Kita perlu keluar dari energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Tapi kita jangan jatuh ke perangkap lain! Nah, Indonesia lebih terperangkap lagi, karena sumber daya kita akan sangat tergantung pada tenaga asing, termasuk bahan bakunya, uranium,” kata Dian.
Jika pembangkit nuklir mengalami kecelakaan, akibatnya sangat mengerikan. Apalagi sampai saat ini belum ada pembangkit nuklir yang aman seratus persen. Apalagi jika pembangkit itu ditempatkan di daerah rawan bencana, di Jawa Tengah. Padahal, Jawa merupakan pulau padat penduduk dan tanahnya rawan gempa bumi karena berada di wilayah cincin api Pasifik. Karena itu, Nurhidayati, juru kampanye Greenpeace Indonesia, mengingatkan agar pembangunan PLTN Muria dibatalkan saja.
“Reaktor nuklir, PLTN, secara inheren berbahaya. Di mana pun di seluruh dunia, industri nuklir selalui diwarnai oleh kecelakaan, kesalahan teknis, insiden. Itu setiap hari selalu terjadi. Ketika reaktor semacam ini diletakkan dalam kondisi yang berbahaya, yaitu daerah yang rawan bencana, risikonya akan berlipat-lipat, yang akan menimbulkan dampak jangka panjang: radiasi hingga ribuan tahun!” jelas Nurhidayati.
Masalah lain yang mungkin bisa menyebabkan bencana nuklir adalah kesalahan manusiawi para pengelola pembangkit nuklir. Jika ini terjadi, maka bencana mengerikan akan terus menghantui. Menurut doktor bidang nuklir Iwan Kurniawan, orang-orang Indonesia umumnya kurang displin. Padahal, mengelola pembangkit nuklir butuh kedisiplinan yang luar biasa. Dan jika teledor sedikit, maka bencana bisa datang sewaktu-waktu.
“Saya masih khawatir terhadap kemampuan bangsa ini dari segala sisi. Karena banyak sekali yang kita belum siap. Misalnya dari segi disiplin. Kalau PLTN ini dikorupsi, risikonya sangat besar. SDM yang tidak disiplin, kerja dalam PLTN kan tidak sembarangan! Orangnya tidak siap. Lumpur aja (maksudnya lumpur panas di Porong-Red) meledak. Modalnya tergantung dari luar negeri. Yang lebih hebat lagi ini akan menciptakan ketergantungan energi, baik bahan baku maupun teknologi, yang nanti dampaknya ketergantungan secara politis,” kata Iwan Kurniawan.
Pada tahun 1980 sebuah pembangkit nuklir di Chernobyl, Rusia, meletus. Ribuan orang terbunuh, jutaan orang terkena radiasi dan mengalami cacat seumur hidup. Radiasi itu juga menyebabkan para perempuan melahirkan bayi cacat. Limbah radiasi Chernobyl terus merusak lingkungan hidup sampai ratusan tahun. Mengerikan!
Siapa dapat menjamin peristiwa Chernobyl tidak terjadi di tempat lain?
PLTN konon merupakan jawaban atas krisis energi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik bagi industri dan rumah tangga. Menurut Menteri Riset dan Teknologi Koesmayanto Kardiman, saat ini sumber pembangkit listrik Indonesia bergantung pada minyak dan gas alam. Oleh karena itu, tenaga nuklir merupakan sumber energi yang semakin penting. Pembangkit yang menggunakan bahan bakar uranium ini mampu menghasilkan daya yang banyak, sehingga sudah menjadi sumber listrik utama di negara-negara maju.
“Dalam kebijakan energi nasional 2016, kita akan punya PLTN pertama. Dan sekarang kita sudah persiapkan itu. Tugas saya memberikan masukan kepada Presiden melalui kajian teknologi seberapa layak dia, dilihat dari faktor keamanan, faktor lingkungan, kemudian kajian tekhnologi, dan kajian ekonomis. Karena (nuklir) adalah barang dagangan saya, pasti saya bilang bagus, dong...” kata Koesmayanto Kardiman kepada VHR.
Setelah unit pertama sukses, unit-unit selanjutnya akan terus dibangun. Menurut rencananya, pada tahun 2025 keempat unit pembangkit itu sudah beroperasi dan menghasilkan daya sebesar 4.000 MWe.
Penelitian mengenai kemungkinan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir sudah dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sejak sepuluh tahun lalu. Tempat yang paling ideal untuk pembangunan itu adalah tiga buah titik di Semenanjung Muria, Jawa Tengah.
Biaya untuk membangun pembangkit tersebut tidak tanggung-tanggung. Menurut kepala hubungan masyarakat BATAN, Ferhat Aziz, setiap pembangkit berkekuatan 1.000 MWe membutuhkan dana US$ 1,7 miliar. Namun, investasi sebear itu akan mampu menghasilkan energi listrik yang murah. Sedangkan harga jual daya listrik mencapai US$ 3,5 sampai US$ 4,2 sen per kilowatt. Harga tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan harga jual listrik dengan tenaga uap bumi, yakni US$ 6 sen per kilowatt. Sedangkan listrik dengan pembangkit batu bara dijual US$ 4,2 sen per kilowatt. Sedangkan harga jual daya listrik yang diproduksi Paiton mencapai US$ 8,2 sen per kilowatt.
“Investasi nuklir memang mahal, sekitar US.700 sampai US$ 2.000 per kilowatt listrik. Jadi, kalau kita perlu 1.000 megawatt listrik, maka kita perlu kalikan itu dengan 1 juta. Jadi, perlu US$ 1.700 juta. Jadi, memang agak mahal,” katanya.
Masih menurut Ferhat, saat ini banyak investor asing yang berminat membangun pembangkit listrik tersebut. Negara-negara yang sudah berpengalaman membangun pembangkit listrik tenaga nuklir seperti Jepang, Amerika Serikat, Prancis, dan Korea sudah siap bekerja sama membangun pembangkit itu.
“Untuk pembangkit listrik, kita nanti terbuka saja. Siapa yang menawarkan ranium paling murah, kita ambil, walaupun kita sendiri punya cadangannya. Kita menerima mana yang paling ekonomis dan paling menguntungkan,” ujarnya.
Ferhat menambahkan, untuk permulaan pembangkit tersebut akan dikelola pihak asing yang memang sudah memiliki pengalaman dalam pembangunan dan pengelolaan PLTN. Namun, pelan-pelan akan dikelola oleh orang Indonesia.
“Awalnya memang sulit. Karena itu, rencananya untuk membeli PLTN, kita terima beres. Nanti setelah itu kita buat satu per satu. Itu yang namanya technology transfer. Jadi, ketergantungan teknologi ada benarnya, pada awalnya,” katanya.
Seperti di tempat-tempat lain, aktivis lingkungan hidup selalu menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sebab, walaupun tenaga nuklir sangat efisien, tetap saja membahayakan lingkungan dan keselamatan manusia karena mengadung zat radioaktif. Kandungan radioaktif nuklir tidak dapat hilang sampai ratusan tahun. Padahal, zat radioaktif dapat menyebabkan kerusakan genetik manusia, bisa membuat ibu hamil melahirkan anak cacat.
Menurut Dian Abraham, Sekretaris Masyarakat Anti-Nuklir Indonesia (Manusia), pembangkit tenaga nuklir akan menyebabkan ketergantungan energi dalam bentuk lain. Bahan bakar nuklir, uranium, merupakan bahan tambang yang juga tidak dapat diperbarui sebagaimana bahan minyak dan gas.
“Kalau pilih nuklir, kita justru jatuh ke perangkap lain. Kita mau membebaskan diri dari perangkap fosil fuel, termasuk karena climate change. Kita perlu keluar dari energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Tapi kita jangan jatuh ke perangkap lain! Nah, Indonesia lebih terperangkap lagi, karena sumber daya kita akan sangat tergantung pada tenaga asing, termasuk bahan bakunya, uranium,” kata Dian.
Jika pembangkit nuklir mengalami kecelakaan, akibatnya sangat mengerikan. Apalagi sampai saat ini belum ada pembangkit nuklir yang aman seratus persen. Apalagi jika pembangkit itu ditempatkan di daerah rawan bencana, di Jawa Tengah. Padahal, Jawa merupakan pulau padat penduduk dan tanahnya rawan gempa bumi karena berada di wilayah cincin api Pasifik. Karena itu, Nurhidayati, juru kampanye Greenpeace Indonesia, mengingatkan agar pembangunan PLTN Muria dibatalkan saja.
“Reaktor nuklir, PLTN, secara inheren berbahaya. Di mana pun di seluruh dunia, industri nuklir selalui diwarnai oleh kecelakaan, kesalahan teknis, insiden. Itu setiap hari selalu terjadi. Ketika reaktor semacam ini diletakkan dalam kondisi yang berbahaya, yaitu daerah yang rawan bencana, risikonya akan berlipat-lipat, yang akan menimbulkan dampak jangka panjang: radiasi hingga ribuan tahun!” jelas Nurhidayati.
Masalah lain yang mungkin bisa menyebabkan bencana nuklir adalah kesalahan manusiawi para pengelola pembangkit nuklir. Jika ini terjadi, maka bencana mengerikan akan terus menghantui. Menurut doktor bidang nuklir Iwan Kurniawan, orang-orang Indonesia umumnya kurang displin. Padahal, mengelola pembangkit nuklir butuh kedisiplinan yang luar biasa. Dan jika teledor sedikit, maka bencana bisa datang sewaktu-waktu.
“Saya masih khawatir terhadap kemampuan bangsa ini dari segala sisi. Karena banyak sekali yang kita belum siap. Misalnya dari segi disiplin. Kalau PLTN ini dikorupsi, risikonya sangat besar. SDM yang tidak disiplin, kerja dalam PLTN kan tidak sembarangan! Orangnya tidak siap. Lumpur aja (maksudnya lumpur panas di Porong-Red) meledak. Modalnya tergantung dari luar negeri. Yang lebih hebat lagi ini akan menciptakan ketergantungan energi, baik bahan baku maupun teknologi, yang nanti dampaknya ketergantungan secara politis,” kata Iwan Kurniawan.
Pada tahun 1980 sebuah pembangkit nuklir di Chernobyl, Rusia, meletus. Ribuan orang terbunuh, jutaan orang terkena radiasi dan mengalami cacat seumur hidup. Radiasi itu juga menyebabkan para perempuan melahirkan bayi cacat. Limbah radiasi Chernobyl terus merusak lingkungan hidup sampai ratusan tahun. Mengerikan!
Siapa dapat menjamin peristiwa Chernobyl tidak terjadi di tempat lain?
Wartawan Indonesia: Besar di Luar, Kecil di Dalam Perusahaan Sendiri
Seperti dikatakan oleh seorang redaktur perempuan di Medan yang dikutip dalam buku Potret Jurnalis Indonesia—Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota[1], ”Wartawan Indonesia itu besar di luar, tetapi kecil di dalam perusahaan sendiri.”
Pemeo ini bukan hanya berlaku sekarang, tetapi sudah menjadi cermin kehidupan para wartawan atau jurnalis kita sejak puluhan tahun yang lampau. Setidaknya sejak saya baru mulai menjadi wartawan pada tahun 1950-an, para wartawan biasa berkelakar bahwa mereka memiliki dua posisi yang satu-sama-lain jauh berbeda, tetapi antara keduanya hanya dipisahkan oleh satu langkah.
Posisi pertama adalah sebagai “orang penting dan terhormat” ketika sedang naik pesawat terbang kepresidenan untuk meliput acara kenegaraan. Posisi kedua adalah ketika pulang ke rumah yang sederhana dengan berjalan kaki atau naik becak melalui jalan sempit yang becek. (Dulu, jumlah wartawan yang mempunyai sepeda motor masih dapat dihitung dengan jari, apalagi yang memiliki mobil sangat langka).
Sekarang, bayangan saya tentang kehidupan wartawan kita sudah tidak lagi seperti keadaan setengah abad yang lalu. Ada banyak wartawan di Jakarta dan di berbagai ibu kota provinsi yang dapat hidup sejahtera bersama keluarga mereka. Akan tetapi, siapa pun pastilah akan terhenyak ketika mengamati hasil survei Aliansi Jurnalis Independen mengenai keadaan media pers dan kehidupan para wartawannya di 17 kota besar yang hampir seluruhnya ibu kota provinsi.
Wartawan, dan perusahaan pers, pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung. Sejumlah 29,1 persen wartawan yang berpendidikan S1 masih bergaji di bawah Rp 1 juta sebulan, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik, pekerja berpendidikan S1 pada tahun 2003 memperoleh gaji rata-rata Rp 1,48 juta. Tenaga profesional, menurut BPS, rata-rata bergaji Rp 1,1 juta sebulan, sedangkan 34 persen wartawan bergaji di bawah Rp 1 juta.
Yang lebih mengenaskan, masih ada wartawan yang gajinya kurang dari Rp 200.000 sebulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvei. Jauh lebih banyak lagi wartawan yang gajinya kurang dari rata-rata upah minimum setempat, yaitu 11,5 persen. Sedangkan wartawan yang memperoleh gaji kurang dari Rp 1.800.000, suatu jumlah yang tetap tidak akan cukup untuk dapat menghidupi seluruh keluarga secara memadai, berjumlah 64,3 persen dari yang disurvei.
Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvei harus memiliki pekerjaan sampingan—di antaranya, ada yang dapat menimbulkan ”konflik kepentingan (conflict of interest)” dengan profesinya sebagai wartawan. Malahan, 61,3 persen menganggap pemberian ”amplop” (umumnya berupa uang) oleh narasumber atau subjek berita kepada wartawan dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka bersama keluarganya.
Batasan ”amplop” yang dapat diterima dan tidak dapat diterima sungguh ruwet. Contohnya, seperti diutarakan oleh seorang redaktur perempuan di Denpasar dalam survei ini: ”Ada narasumber yang akhirnya menelepon saya.... [Ia mem]protes, sudah memberi Rp 1 juta kok [beritanya yang dimuat] cuma satu kolom. [Wartawan yang menerima ’amplop’ itu] pasti akan saya tindak. [Bila ’amplop’ yang diterima wartawan hanya] ... sampai senilai Rp 200 ribu saya maafkan.... Kecuali[, jika] selepas gajian masih menerima [’amplop’], ya saya tegur.”[3]
Jadi, tidak ada kepastian tentang secara bagaimana ”amplop” boleh diterima oleh wartawan. Dalam pandangannya, ”amplop” dapat diterima bila nilainya hanya ratusan ribu rupiah. Tetapi, boleh juga diterima ”amplop” yang bernilai jutaan rupiah, asalkan diimbali dengan pemuatan berita yang panjang judulnya lebih dari satu kolom. Benarkah? Tidak juga. Sebab, wartawan tetap tidak boleh mengambil ”amplop” dari subjek berita bila baru saja menerima gaji di kantornya.
Mengapa redaktur Denpasar itu, kelihatannya, begitu bingung dalam menentukan kebijakan tentang ”amplop”? Karena, bagaimanapun, kebiasaan menerima ”amplop” memang tetap mengusik hati nurani para wartawan.
Misalnya, ada reporter di Palembang yang agaknya ragu untuk percaya bahwa menerima ”amplop” sebagai imbalan bagi banyak kegiatan jurnalistik sebetulnya melanggar etika pers, walaupun sebagian hanya dianggap sebagai pelanggaran yang ringan. Keraguannya menyebabkan ia merasa perlu berkonsultasi dengan seorang kiai.
”Saya sudah tanya ke kiai, katanya boleh saja [menerima ”amplop”]. Asalkan, apa yang kita lakukan itu tidak ada janji di belakang hari,” kata wartawan Palembang itu. ”Saya tidak munafik. Saya terima amplop. Tapi dengan konteks, tidak ada hubungan dengan pemberitaan dan media tempat saya bekerja. Jika pemberian itu tanpa syarat maka halal. Tapi jika dengan syarat, maka haram.”[4]
Para wartawan yang ingin mencari pembenaran bagi penerimaan ”amplop” tampaknya enggan menggunakan panduan yang sudah ada dari Dewan Pers. Butir ke-8 pernyataan Dewan Pers pada 11 Oktober 2001 tentang ”Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan” menjelaskan: ”Masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai “uang amplop”) kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.... Dengan tidak memberikan “amplop” (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.”
Akan tetapi, pada pokoknya, penerimaan ”amplop” rupanya dipandang sebagai hal yang wajar oleh sebagian besar wartawan yang disurvei oleh AJI. Mereka agaknya tidak menganggap pemberian narasumber atau subjek berita itu sebagai, setidaknya, embrio penyuapan atau penyogokan untuk jangka panjang. Seolah-olah tidak ada kaitan antara kebiasaan menerima ”amplop”, atau ”budaya amplop”, dan kemungkinan kemandekan dalam pengembangan standar jurnalistik profesional.
Memang, tidak semua ”amplop”—dalam bentuk uang ataupun barang dan fasilitas—dapat dikategorikan sebagai suap atau sogok, kecuali jika nilainya sangat besar atau secara rutin menjadi semacam ikatan antara wartawan dan narasumber atau subjek berita. Akan tetapi, ”amplop” bernilai kecil pun, bila dianggap sebagai kewajaran dalam pekerjaan pers, tetap akan mengganggu integritas wartawan dan dapat menghambat kemajuan profesionalisme jurnalistik mereka.
Selama beberapa bulan belakangan saya membaca banyak karya jurnalistik, baik berita lempang (straight news) maupun feature, yang dijumpai pada surat-surat kabar mulai dari Medan, Padang, Jambi, dan Batam sampai ke Pontianak, Kupang, Manokwari, dan Jayapura. Dalam tulisan pers itu saya masih menemukan banyak kelemahan dalam pemenuhan persyaratan karya jurnalistik, seperti akurasi, keberimbangan, fairness, tidak bias, dan tidak diskriminatif. Malahan ada berita yang mengandung tuduhan sangat keras—seperti ”unjuk rasa anarkis yang brutal” atau ”menipu, menyesatkan, memecah belah umat Islam, dan menghancurkan kemurnian Islam”—tanpa diimbangi dengan klarifikasi atau pernyataan dari pihak yang dituduh atau dikecam.
Saya mencoba mencari sebab-musabab kelemahan standar jurnalistik di balik gaya penyajian tulisan pers kita, terutama di surat-surat kabar yang terbit di daerah. Dua di antara sejumlah pengamatan saya tentang penyebab kelemahan ini adalah masalah ”budaya amplop” yang sudah merasuk ke segala penjuru di negeri kita dan rendahnya imbalan bagi wartawan dan koresponden, baik gaji maupun fasilitas kerja. Sejauh itu, berikut adalah beberapa kesimpulan saya mengenai kemungkinan penyebab kelemahan, atau ketidakberimbangan, atau ketidaklengkapan karya jurnalistik dalam pers kita:
1. Penyusun berita kurang memahami permasalahan yang dibahas narasumber karena tidak lebih dulu mempelajari materi latar belakang (background information) seperti dari kliping, arsip, atau pustaka lainnya.
2. Kurang gencar melakukan wawancara dengan sebanyak mungkin narasumber yang relevan.
3. Kurang bernalar kritis dalam mengikuti permasalahan atau pernyataan yang hendak diberitakan sehingga ”kurang berminat” untuk bertanya secara gencar kepada narasumber.
4. Tidak mempunyai cukup waktu, antara lain karena terlalu banyak berita yang harus ia ”kejar”.
5. Hubungannya dengan narasumber terlalu dekat sehingga tidak ada jarak antara wartawan tersebut dan narasumber. ”Hubungan sebagai sahabat” seperti ini dapat mengakibatkan pemberitaan wartawan tersebut tidak objektif dan tidak komprehensif. Hubungan seperti ini dapat diakibatkan antara lain oleh penyediaan ”amplop” secara reguler oleh narasumber.
6. Menganggap narasumber yang berposisi ”kuat” dan ”berpengaruh” secara politis dan sosial ”pasti paling kredibel” dan pandangannya ”pasti benar”. Bila mereka melancarkan tuduhan atau kecaman, pihak yang dituduh atau dikecam dianggap tidak penting untuk dimintai klarifikasi atau reaksinya.
7. Gaji serta fasilitas kerja wartawan dan honorarium koresponden tidak memadai.
*****
* Artikel ini merupakan bahan diskusi pada peluncuran buku Potret Jurnalis Indonesia – Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota, Jakarta, 5 September 2006.
Pemeo ini bukan hanya berlaku sekarang, tetapi sudah menjadi cermin kehidupan para wartawan atau jurnalis kita sejak puluhan tahun yang lampau. Setidaknya sejak saya baru mulai menjadi wartawan pada tahun 1950-an, para wartawan biasa berkelakar bahwa mereka memiliki dua posisi yang satu-sama-lain jauh berbeda, tetapi antara keduanya hanya dipisahkan oleh satu langkah.
Posisi pertama adalah sebagai “orang penting dan terhormat” ketika sedang naik pesawat terbang kepresidenan untuk meliput acara kenegaraan. Posisi kedua adalah ketika pulang ke rumah yang sederhana dengan berjalan kaki atau naik becak melalui jalan sempit yang becek. (Dulu, jumlah wartawan yang mempunyai sepeda motor masih dapat dihitung dengan jari, apalagi yang memiliki mobil sangat langka).
Sekarang, bayangan saya tentang kehidupan wartawan kita sudah tidak lagi seperti keadaan setengah abad yang lalu. Ada banyak wartawan di Jakarta dan di berbagai ibu kota provinsi yang dapat hidup sejahtera bersama keluarga mereka. Akan tetapi, siapa pun pastilah akan terhenyak ketika mengamati hasil survei Aliansi Jurnalis Independen mengenai keadaan media pers dan kehidupan para wartawannya di 17 kota besar yang hampir seluruhnya ibu kota provinsi.
Wartawan, dan perusahaan pers, pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung. Sejumlah 29,1 persen wartawan yang berpendidikan S1 masih bergaji di bawah Rp 1 juta sebulan, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik, pekerja berpendidikan S1 pada tahun 2003 memperoleh gaji rata-rata Rp 1,48 juta. Tenaga profesional, menurut BPS, rata-rata bergaji Rp 1,1 juta sebulan, sedangkan 34 persen wartawan bergaji di bawah Rp 1 juta.
Yang lebih mengenaskan, masih ada wartawan yang gajinya kurang dari Rp 200.000 sebulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvei. Jauh lebih banyak lagi wartawan yang gajinya kurang dari rata-rata upah minimum setempat, yaitu 11,5 persen. Sedangkan wartawan yang memperoleh gaji kurang dari Rp 1.800.000, suatu jumlah yang tetap tidak akan cukup untuk dapat menghidupi seluruh keluarga secara memadai, berjumlah 64,3 persen dari yang disurvei.
Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvei harus memiliki pekerjaan sampingan—di antaranya, ada yang dapat menimbulkan ”konflik kepentingan (conflict of interest)” dengan profesinya sebagai wartawan. Malahan, 61,3 persen menganggap pemberian ”amplop” (umumnya berupa uang) oleh narasumber atau subjek berita kepada wartawan dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka bersama keluarganya.
Batasan ”amplop” yang dapat diterima dan tidak dapat diterima sungguh ruwet. Contohnya, seperti diutarakan oleh seorang redaktur perempuan di Denpasar dalam survei ini: ”Ada narasumber yang akhirnya menelepon saya.... [Ia mem]protes, sudah memberi Rp 1 juta kok [beritanya yang dimuat] cuma satu kolom. [Wartawan yang menerima ’amplop’ itu] pasti akan saya tindak. [Bila ’amplop’ yang diterima wartawan hanya] ... sampai senilai Rp 200 ribu saya maafkan.... Kecuali[, jika] selepas gajian masih menerima [’amplop’], ya saya tegur.”[3]
Jadi, tidak ada kepastian tentang secara bagaimana ”amplop” boleh diterima oleh wartawan. Dalam pandangannya, ”amplop” dapat diterima bila nilainya hanya ratusan ribu rupiah. Tetapi, boleh juga diterima ”amplop” yang bernilai jutaan rupiah, asalkan diimbali dengan pemuatan berita yang panjang judulnya lebih dari satu kolom. Benarkah? Tidak juga. Sebab, wartawan tetap tidak boleh mengambil ”amplop” dari subjek berita bila baru saja menerima gaji di kantornya.
Mengapa redaktur Denpasar itu, kelihatannya, begitu bingung dalam menentukan kebijakan tentang ”amplop”? Karena, bagaimanapun, kebiasaan menerima ”amplop” memang tetap mengusik hati nurani para wartawan.
Misalnya, ada reporter di Palembang yang agaknya ragu untuk percaya bahwa menerima ”amplop” sebagai imbalan bagi banyak kegiatan jurnalistik sebetulnya melanggar etika pers, walaupun sebagian hanya dianggap sebagai pelanggaran yang ringan. Keraguannya menyebabkan ia merasa perlu berkonsultasi dengan seorang kiai.
”Saya sudah tanya ke kiai, katanya boleh saja [menerima ”amplop”]. Asalkan, apa yang kita lakukan itu tidak ada janji di belakang hari,” kata wartawan Palembang itu. ”Saya tidak munafik. Saya terima amplop. Tapi dengan konteks, tidak ada hubungan dengan pemberitaan dan media tempat saya bekerja. Jika pemberian itu tanpa syarat maka halal. Tapi jika dengan syarat, maka haram.”[4]
Para wartawan yang ingin mencari pembenaran bagi penerimaan ”amplop” tampaknya enggan menggunakan panduan yang sudah ada dari Dewan Pers. Butir ke-8 pernyataan Dewan Pers pada 11 Oktober 2001 tentang ”Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan” menjelaskan: ”Masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai “uang amplop”) kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.... Dengan tidak memberikan “amplop” (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.”
Akan tetapi, pada pokoknya, penerimaan ”amplop” rupanya dipandang sebagai hal yang wajar oleh sebagian besar wartawan yang disurvei oleh AJI. Mereka agaknya tidak menganggap pemberian narasumber atau subjek berita itu sebagai, setidaknya, embrio penyuapan atau penyogokan untuk jangka panjang. Seolah-olah tidak ada kaitan antara kebiasaan menerima ”amplop”, atau ”budaya amplop”, dan kemungkinan kemandekan dalam pengembangan standar jurnalistik profesional.
Memang, tidak semua ”amplop”—dalam bentuk uang ataupun barang dan fasilitas—dapat dikategorikan sebagai suap atau sogok, kecuali jika nilainya sangat besar atau secara rutin menjadi semacam ikatan antara wartawan dan narasumber atau subjek berita. Akan tetapi, ”amplop” bernilai kecil pun, bila dianggap sebagai kewajaran dalam pekerjaan pers, tetap akan mengganggu integritas wartawan dan dapat menghambat kemajuan profesionalisme jurnalistik mereka.
Selama beberapa bulan belakangan saya membaca banyak karya jurnalistik, baik berita lempang (straight news) maupun feature, yang dijumpai pada surat-surat kabar mulai dari Medan, Padang, Jambi, dan Batam sampai ke Pontianak, Kupang, Manokwari, dan Jayapura. Dalam tulisan pers itu saya masih menemukan banyak kelemahan dalam pemenuhan persyaratan karya jurnalistik, seperti akurasi, keberimbangan, fairness, tidak bias, dan tidak diskriminatif. Malahan ada berita yang mengandung tuduhan sangat keras—seperti ”unjuk rasa anarkis yang brutal” atau ”menipu, menyesatkan, memecah belah umat Islam, dan menghancurkan kemurnian Islam”—tanpa diimbangi dengan klarifikasi atau pernyataan dari pihak yang dituduh atau dikecam.
Saya mencoba mencari sebab-musabab kelemahan standar jurnalistik di balik gaya penyajian tulisan pers kita, terutama di surat-surat kabar yang terbit di daerah. Dua di antara sejumlah pengamatan saya tentang penyebab kelemahan ini adalah masalah ”budaya amplop” yang sudah merasuk ke segala penjuru di negeri kita dan rendahnya imbalan bagi wartawan dan koresponden, baik gaji maupun fasilitas kerja. Sejauh itu, berikut adalah beberapa kesimpulan saya mengenai kemungkinan penyebab kelemahan, atau ketidakberimbangan, atau ketidaklengkapan karya jurnalistik dalam pers kita:
1. Penyusun berita kurang memahami permasalahan yang dibahas narasumber karena tidak lebih dulu mempelajari materi latar belakang (background information) seperti dari kliping, arsip, atau pustaka lainnya.
2. Kurang gencar melakukan wawancara dengan sebanyak mungkin narasumber yang relevan.
3. Kurang bernalar kritis dalam mengikuti permasalahan atau pernyataan yang hendak diberitakan sehingga ”kurang berminat” untuk bertanya secara gencar kepada narasumber.
4. Tidak mempunyai cukup waktu, antara lain karena terlalu banyak berita yang harus ia ”kejar”.
5. Hubungannya dengan narasumber terlalu dekat sehingga tidak ada jarak antara wartawan tersebut dan narasumber. ”Hubungan sebagai sahabat” seperti ini dapat mengakibatkan pemberitaan wartawan tersebut tidak objektif dan tidak komprehensif. Hubungan seperti ini dapat diakibatkan antara lain oleh penyediaan ”amplop” secara reguler oleh narasumber.
6. Menganggap narasumber yang berposisi ”kuat” dan ”berpengaruh” secara politis dan sosial ”pasti paling kredibel” dan pandangannya ”pasti benar”. Bila mereka melancarkan tuduhan atau kecaman, pihak yang dituduh atau dikecam dianggap tidak penting untuk dimintai klarifikasi atau reaksinya.
7. Gaji serta fasilitas kerja wartawan dan honorarium koresponden tidak memadai.
*****
* Artikel ini merupakan bahan diskusi pada peluncuran buku Potret Jurnalis Indonesia – Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota, Jakarta, 5 September 2006.
Subscribe to:
Posts (Atom)