Tuesday, December 5, 2006

Kelas Pekerja dan World Market System

Upah rendah, pengganguran, dan PHK yang kian meningkat di Indonesia saat ini pada dasarnya bukan disebabkan oleh sempitnya lapangan kerja atau pertambahan jumlah populasi dari usia produktif, namun karena perubahan kebijakan politik welfare state (Negara Kesejahteraan) menjadi kebijakan politik ekonomi neoliberal sejak dekade 1990an khsususnya. Bentuk-bentuk kebijakan neoliberal ini adalah liberalisasi sektor-sektor publik sehingga menyebabkan PHK massal, pencabutan subsidi, eliminasi pajak dan tariff perdagangan sebagai manifestasi politik ekonomi liberal. Sejak dekade itu sampai saat ini, perjanjian-perjanjian multirateral-bilateral dalam perdagangan bebas terus berlangsung dalam mempercepat proses kebijakan neoliberalisme menurut kebijakan politik dari lembaga-lembaga sentral kapital dunia.

Konsekwensi lanjutan dari neoliberalisme yang berkembang dalam ekonomi nasional adalah disintegrasi pasar-pasar nasional, industri dalam negeri yang tak mampu lagi bersaing dan tak mungkin lagi menekan upah buruh karena sempitnya ruang bertahan hidup industri nasional dalam persaingan produksi dunia. Sebaliknya, integrasi pasar global (world market system) ini telah menyebabkan tidak hanya penekanan upah minimum buruh (upah murah), namun penutupan pabrik-pabrik atau secara bertahap penjualan asset-aset industri nasional (daya-daya produksi) dalam aliran modal internasional.

Sebab akibat ini sebenarnya sudah umum diketahui dan kian disadari kelas pekerja Indonesia. Inilah takdir sejarah kelas pekerja dan masyarakat Indonesia secara umum saat ini karena kontradiksi antara daya-daya produksi (productive forces) dengan relasi-relasi produksi yang baru. Dengan demikian, perkembangan dan kemunduran masyarakat Indonesia sepenuhnya tergantung pada cara mengatasi kontradiksi ini. Apakah dengan perebutan kembali daya-daya produksi yang diliberalisasikan (dijual kepada modal internasional) serta kemandekan beberapa produksi sektor-sektor publik yang tak mampu lagi bertahan dalam kebijakan neoliberal dan menasionalisasikannya, atau menerima dan melaksanakan secepatnya atau secara gradual (reformasi) proses kebijakan politik ekonomi neoliberal?

Saya akan menguraikan sikap dan tindakan yang dilakukan dalam menghadapi situasi ini.

Pertama adalah analisis beberapa kelompok sosialis, yang dimulai dengan menjawab apa basis material pilihan tindakan pertama. Basis material gerakan nasionalisasi itu adalah kelas pekerja dengan upah minimum yang sangat tak sebanding tidak hanya dengan ukuran minimum standar hidup nasional-lokal, namun tidak sebanding dengan upah kelas pekerja di wilayah nasional lain terutama Asia Selatan, serta unsur kelas tambahan yakni kelas menengah progresif, kaum tani dan kelas penggangguran penuh atau musimam. Kelas menengah progresif itu sebenarnya adalah kelas menengah yang terancam posisi ekonominya dalam kebijakan politik ekonomi neoliberal, sementara kaum tani terus mengalami kemerosotan ekonomi yang tajam karena masalah alat-alat produksi tradisional sebab belum ada industrialisasi pertanian nasional sehingga terus disisihkan dalam politik ekonomi neoliberal dan landreform yang terus diabaikan karena tidak sejalan dengan politik ekonomi neoliberal atas pemilikan tanah. Namun bagaimana langkah selanjutnya? Bagaimana membentuk relasi-relasi produksi baru dalam daya-daya produksi lama dengan relasi-relasi produksi internasional yang baru pula? Inilah masalah-masalah yang perlu dijawab selanjutnya.

Kedua adalah analisis dan tindakan kelompok sosialis lain, yang meyakini bahwa situasi ini adalah takdir sejarah kapitalisme global yang mengarah pada world market system (neoliberalisme) sehingga perlu membangun suatu world organized workers secara independen untuk menuju sosialisme internasional. Tindakan ini tentu saja membiarkan proses liberalisasi produksi dan distribusi menuju pasar global karena memang takdir sejarah kapitalisme demikian adanya. Akhirnya kalangan sosialis ini meyakini hanya kelas buruh independen-internasional (bukan lokal-internasional) yang bisa melakukan perlawanan permanen atas imperialisme politik ekonomi ini.

Sementara di pihak yang berlawanan, kebijakan politik ekonomi neoliberal ini telah dilaksanakan pemerintahan nasional di Indonesia yang relatif lebih mampu dari segi material dengan segala syaratnya dalam upaya membangun relasi-relasi produksi baru sesuai dengan tuntutan world market system, dan tentu saja berdasar syarat utama yakni kekuasaan politik ekonomi itu sendiri. Namun kebijakan ini tentu saja menimbulkan banyak benturan dengan rakyat (terutama kelas pekerja, kaum tani, kelas menengah dan dalam beberapa situasi, kaum gelandangan-pengangguran). Perlahan namun pasti pemerintahan nasional telah membawa rakyat Indonesia dalam kebijakan politik ekonomi neoliberal di saat rakyat tak mempunyai syarat yang cukup untuk hidup di dalamnya. Mobilisasi pekerja migran yang sudah terjadi sejak dekade 1970an, tak akan mampu menambal dampak-dampak kausalitas atau sebab akibat dari kebijakan neoliberalisme yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Selain itu, banyak terjadi illegalisasi kaum pekerja migran ini dalam upaya mengeksploitasi tenaga kerja secara semena-mena dan konspiratif dalam hubungan bilateral. Bagaimana pun minornya statistik pekerja migran, namun tetap sebagai unsur kelas pekerja yang penting.

Bagaimana kemudian kelas pekerja menghadapi neoliberalisme ini? Jalan yang sudah, sedang dan akan ditempuh tergantung pada: (i) anasir kelas yang paling dieksploitasi dan tak mempunyai ruang material lain bagi hidupnya kecuali menjual tenaganya dalam world market system, jadi kelas pekerja itu sendiri; (ii) solidaritas terorganisasi di dalam kelas ini sendiri dan kelas-kelas tertindas lainnya dalam lingkup nasional dan internasional; (iii) syarat material dari solidaritas terorganisir ini dalam kondisi sejarahnya sekarang, yakni kuantitas dan tingkat distribusi kesejahteraan dalam world market system yang timpang dan eksploitatif serta semakin tajam dan meluasnya kelas-kelas tertindas lainnya.

Anasir determinan dan relatif ini adalah pemahaman historis bagi jalan kelas pekerja Indonesia dalam menghadapi takdir sejarahnya, atau dalam bahasa revolusioner Prancis, jalan pembebasan dari eksploitasi manusia atas manusia. Jalan ini mungkin sudah cukup dikenal di kalangan sosialis. Tulisan ini hanyalah kontribusi untuk mengingatkan bahwa kelas pekerja adalah inti jalan pembebasan dalam menentang eksploitasi dari suatu kelas, namun kelas pekerja berdiri disini bukan sebagai suatu kelas indenpenden (atau sebagai kelas partikuler yang tak berhubungan dengan kelas tertindas lainnya) sebagaimana diyakini sebagian kelompok sosialis dalam penjelasan diatas. Kelas pekerja musti berdiri di depan dan bersama dengan kelas tertindas lainnya sebagai representasi dari semua kelas tertindas karena kuantitas dan kualitasnya dalam jalan pembebasan itu.

Formula Islam Kiri Hassan Hanafi

Hassan Hanafi merupakan seorang pemikir Islam yang sangat kontroversial. Ini kerana pandangan dan ide-idenya sering bertentangan dengan pandangan umum masyarakat Islam.Walaupun begitu, beliau mengakui bahawa apa yang dilakukannya adalah untuk melihat Islam maju dan berkembang dengan pesat. Oleh sebab itu, buku-buku yang ditulisnya merupakan reaksi terhadap fenomena yang berlaku dalam masyarakat terutama masyarakat di Mesir.

Beliau juga terdidik dalam kumpulan Ikhwan Muslimun dan menyanjungi ide-ide Sayyid Qutb, Hassan al-Banna dan Abd Qadir Audah pada usia mudanya. Menurutnya, beliau amat terkesan dengan buku Sayyid Qutb yang bertajuk Keadilan Sosial (al-‘Adalah al- ‘Ijtima’iyyah) dan Pertembungan Islam dan Kapatalis (Ma’rakah al-Islam wa al-Ra’samaliyyah).

Sejak tahun 1952 hingga tahun 1956, Hanafi belajar di Universiti Kaherah untuk mendalami bidang falsafah. Pada period ini beliau merasakan situasi yang paling buruk berlaku di Mesir. Misalnya, pada tahun 1954 terjadi pertentangan hebat antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. Peristiwa-peristiwa ini menyebabkan beliau mula berfikir mengapa umat Islam sering dikalahkan dan konflik dalaman terus terjadi.

Beliau merasa kecewa dan segera menyedari bahawa di Mesir saat itu telah terjadi masalah perpecahan dan kesatuan.Pada tahun 1956 hingga tahun 1966, Hanafi belajar di Universiti Sorborne. Di sinilah beliau mendapat pendedahan yang meluas mengenai masalah-masalah yang melanda umat Islam dan cara mengatasinya. Beliau belajar dari reformis Katolik Jean Gitton, Paul Ricouer dan Profesor Masnion tentang pembaharuan Usul Fiqh.

Sejak tahun 1967, beliau menjadi pensyarah di Universiti Kaherah dan mula menulis tentang aliran-aliran pemikiran Islam dan Barat. Beliau juga pernah menjadi pensyarah pelawat di Perancis pada tahun 1969 dan Universiti Temple, Amerika Syarikat pada tahun 1971-1975. Pada waktu ini, beliau mengarang buku yang berjudul Min al-Aqidah ila Thawrat dan mendalami falsafah-falsafah Yahudi dan Inggeris.

Sementara itu, dari tahun 1981 hingga tahun 1983, Hanafi menjadi profesor tamu di Universiti Tokyo dan tahun 1985 di Emirat Arab Bersatu. Pengalamannya ini dan pertemuan dengan pemikir Islam seluruh dunia telah menambahkan wawasannya dalam memahami persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat Islam.

Hassan Hanafi terkenal sebagai seorang pelopor kepada Turath wa Tajdid ( Tradisi dan Pembaharuan). Oleh itu, dalam kegiatan ini beliau menjelaskan 3 peringkat iaitu;

Pertama pendirian tentang Tradisi Islam yang lama dan membina semula bersesuaian dengan keadaan masa kini. Dalam konteks ini, beliau telah mengarang buku seperti Manahij al-Ta’wil fi Ilmi Usul Fiqh (Method Takwil dalam Ilmu Usul Fiqh) dalam membina semula ilmu Usul Fiqh, Min Aqidah ila Thawrat (Dari Akidah kepada Revolusi) dalam membina ilmu Usuluddin, Min al-Fana ila al-Baqa’ (Dari alam Fana ke alam Baqa) dalam membina semula ilmu tasauf, Min al-Naqli ila al-Aql (dari Naqal kepada Akal) dalam membina semula ilmu-ilmu naqal.

Kedua pendirian tentang Tradisi Silam Barat. Dalam hal ini, Hassan mula mengarang buku-buku yang berbentuk falsafah barat dan menterjemahkan karya-karya klasik barat ke bahasa Arab. Sebagai contohnya buku yang berjudul al-Qadhaya Mu’asarat fi al-Fikr al-Gharb ( Isu-Isu Semasa dalam pemikiran Barat) yang membicarakan pemikiran para sarjana Barat dalam memahami realiti masyarakatnya.

Ketiga pendirian dari realiti masa kini dengan melihat secara terus penyakit-penyakit yang melanda masyarakat kini. Dalam aspek ini, beliau mula membina pemikiran Islam yang baru yang diperlukan oleh umat Islam. Menurutnya, kegiatan Turast wa Tajdid ini bermaksud meletakkan pemikiran Islam dalam realiti semasa dan dalam perjalanan sejarah sehingga ia dapat bergerak membentuk sesuatu yang baru. Beliau menafikan bahawa kegiatan Turath wa Tajdid merupakan agenda orientalis malah beliau mengaku masih berpegang kepada Islam serta bertanggungjawab sepenuhnya terhadap hukum-hukumnya.

Menurut Hassan, Turath wa Tajdid ini mengabungkan aliran yang telah dibina oleh Muhammad Abduh , Rashid Rida, Sayyid Qutb, Muhamamd Baqir Sadir, Shawkani, Ilal al-Fasi dari golongan pengislah Islam dengan golongan Liberal Islam seperti Tahtawi, Taha Husein, Aqqad, Qassim Amin, Ali Abd Raziq dan golongan kapitalis seperti Salamah Musa dan Farah Anton.

Oleh yang demikian, kegiatan ini mengabungkan kesemuanya dalam satu bentuk yang baru yang berteraskan kepada asas-asas pokok dan mengeluarkan ijtihad dalam bidang-bidang yang dibolehkan untuk kemajuan umat Islam. Ia merupakan teori-teori yang memuatkan dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya.

Pada tahun 1970an, Hanafi juga menganalisa sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok di Mesir terutama antara puak Islam dengan pemerintah. Pada masa yang sama keadaan politik Mesir mengalami keadaan yang tidak stabil akibat sikap Anwar Sadat yang pro-Barat. Keadaan itu membawa Hanafi pada pemikiran bahawa seorang ilmuan juga mempunyai tanggungjawab politik terhadap nasib bangsanya. Untuk itulah beliau mengarang al-Din wa Thawrat fi Misr 1952-1981. Karya ini mempunyai lapan jilid yang merupakan himpunan artikel yang ditulis antara tahun 1976 hingga tahun 1981 dan diterbitkan pada tahun 1987. Dalam pengamatannya, beliau mengatakan antara sebab utama konflik berpanjangan yang berlaku di Mesir adalah pertembungan dan tarik menarik antara ideologi Islam dan Barat dan ideologi sosialisme. Natijahnya munculnya golongan radikal Islam.

Hassan juga menulis buku yang menjadi kontroversial iaitu al-Yassar al-Islami (Islam Kiri) pada dekad 90an. Menurutnya, Islam kiri menekankan pada perbedaan dalam suatu komuniti Islam antara si kaya dan si miskin, yang kuat dan yang lemah, para penindas dan yang tertindas. Islam kiri membela majoriti yang tertindas di dalam masyarakat muslim, membantu yang lemah melawan yang kuat, memandang semua orang sama seperti gigi sisir, kerana tidak ada perbedaan antara Arab dan Parsi kecuali dalam kesalehan dan pelaksanaan amal kebaikan.

Inilah kandungan misi yang diperjuangkan oleh Hassan dalam masyarakat muslim sekarang terutama di Mesir.

Pengaruh pemikirannya ini begitu berkembang di Indonesia melalui Abdul Rahman Wahid (Gus Dur). Semasa beliau menjadi Presiden Indonesia, beliau telah menjemput Hassan ke Indonesia. Walaupun begitu, Daud Rasyid, seorang pensyarah di IAIN Syarif Hidayatullah menyangkal dakwaan tersebut. Menurutnya, pemikiran Hasasn Hanafi tidak mendapat tempat di Mesir, kenapakah rakyat di sebelah sini mahukan pemikirannya yang tidak jelas matlamatnya. Malahan di Mesir beliau dituduh membawa aliran Marxisme.Prof. Ali Jummah, Prof. Tariq al-Basyri dan Muhammad Imarah pernah mengkritik aliran pemikirannya. Jabhah Ulamak al-Azhar pernah menghukumnya terkeluar dari agama Islam kerana pemikiran dan pengkagum kepada Karl Marx. Sdr Astora yang menghadiri pertemuan dengan para sarjana dan ulamak di Jordan baru-baru ini menyebutkan bahawa para sarjana Timur Tengah mengatakan Hassan Hanafi telah kembali ke pangkal jalan dan bertaubat.