Friday, December 22, 2006

Comment Lénine conduit à Staline : BAGAIMANA LENIN MENGGIRING PADA MUNCULNYA STALIN

BAGI kaum kiri-jauh Leninis, ambruknya Republik Sosialis Uni Soviet telah melontarkan lebih banyak pertanyaan ketimbang yang terjawab. Kalau Uni Soviet benar-benar merupakan sebuah ’negara pekerja’, mengapa para pekerja tidak mau membelanya? Mengapa pada kenyataannya mereka menyambut hangat datangnya perubahan?

Apa yang terjadi pada "revolusi politik ataukah kontra-revolusi berdarah" -nya Trotsky? Organisasi-organisasi Leninis yang tak lagi memandang Uni Soviet sebagai negara pekerja juga belum bisa lepas dari kontradiksi-kontradiksi tersebut. Kalau memang Stalin merupakan sumber permasalahan, mengapa ada begitu banyak pekerja Rusia yang menyalahkan Lenin serta pemimpin-pemimpin Bolshevik lainnya?

Mitologi "Lenin, sang pencipta dan penopang revolusi Rusia" kini sekarat. Demikian pula yang akan terjadi pada semua kelompok Leninis karena, seiring arsip-arsip Soviet makin dibuka, akan semakin sulit untuk mempertahankan warisan Lenin. Sampai saat ini, kaum kiri di Barat telah menghindari dan memalsukan perdebatan tentang Lenin selama 60 tahun. Bagaimanapun, sekarang ini marak bermunculan artikel-artikel dan pertemuan-pertemuan oleh berbagai kelompok Trotskyis yang berusaha meyakinkan para pekerja bahwa Lenin tidak menggiring pada munculnya Stalin. Sayangnya, banyak dari perdebatan ini masih didasarkan atas fitnah dan pemalsuan-pemalsuan sejarah yang telah menjadi gejala Bolshevisme sejak 1918. Pertanyaan-pertanyaan kunci mengenai unsur-unsur apa yang membentuk Stalinisme, dan kapan "Stalinisme" pertama kali muncul dalam prakteknya, dihindari demi mempertahankan retorika dan kepalsuan sejarah.

Stalinisme didefinisikan oleh banyak ciri, dan sesungguhnya beberapa dari ciri-ciri ini sangat sulit ketimbang sebagian ciri lainnya untuk ditempatkan di kaki Lenin. Poin-poin panduan kebijakan luar negeri Stalin, misalnya, adalah ide tentang ko-eksistensi damai dengan Barat sembari membangun sosialisme di Republik Sosialis Uni Soviet ("sosialisme di satu negeri"). Lenin sering dipresentasikan sebagai lawan ekstrem terhadap Stalinisme seperti itu, Lenin dipresentasikan sebagai orang yang mau menempuh risiko apapun demi terwujudnya revolusi internasional. Akan tetapi, cerita ini, sebagaimana juga banyak cerita lainnya, tidaklah sepenuhnya seperti apa yang terlihat.

Poin-poin lain yang akan dianggap oleh banyak orang sebagai ciri Stalinisme mencakuppembentukan sebuah negara satu partai, tidak ada kontrol terhadap perekonomian oleh kelas pekerja, kekuasaan diktatorial individu-individu terhadap massa masyarakat, pelibasan secara brutal terhadap aksi-aksi pekerja, dan penggunaan fitnah serta penyelewengan sejarah
Sosialisme di Satu Negeri

Perjanjian Brest-Livtosk tahun 1918, yang menarik Rusia keluar dari Perang Dunia I, juga menyerahkan sebagian sangat besar wilayah Ukraina kepada bangsa Austro-Hungaria.

Jelaslah, ketika itu tidak ada potensi untuk meneruskan sebuah perang konvensional (khususnya setelah kaum Bolshevik menggunakan slogan «kedamaian, roti, tanah » untuk memenangkan dukungan massa). Namun demikian, hadirnya gerakan Makhnovis di Ukraina jelas menunjukkan sebuah potensi revolusioner yang sangat besar di kalangan petani dan pekerja Ukraina. Tidak ada upaya yang dilakukan guna mendukung atau menopang kekuatan-kekuatan yang memang berusaha untuk melakukan sebuah perang revolusioner melawan bangsa Austro-Hungaria. Mereka dikorbankan demi mendapatkan sebuah interval untuk membangun «sosialisme» di Rusia.

Poin kedua yang penting mengenai internasionalisme Lenin adalah penekanannya sejak tahun 1918 bahwa, yang menjadi tugas adalah membangun «kapitalisme negara", misalnya dengan pernyataan «kalau kita mengintrodusir kapitalisme negara dalam masa kira-kira 6 bulan, maka kita akan mencapai keberhasilan yang besar…". [1] Lenin juga diketahui pernah mengatakan «Sosialisme tak lain adalah monopoli-kapitalis negara yang dilakukan demi kemanfaatan seluruh rakyat". [2] Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai konsep Lenin tentang sosialisme.
Negara Satu Partai

Satu ciri pokok lainnya yang oleh banyak orang biasanya diasosiasikan dengan Stalinisme adalah pembentukan sebuah negara satu partai, dan pembungkaman semua arus oposisi di dalam partai. Banyak kaum Trotskyis masih akan mengatakan kepada kamu bahwa kaum Bolshevik menyemangati kaum pekerja untuk bangkit dan memperdebatkan poin-poin di masa itu, baik di dalam maupun di luar partai. Kenyataannya sangatlah berbeda, karena kaum Bolshevik segera mengawasi secara keras kekuatan-kekuatan revolusioner di luar partai, dan kemudian mengawasi ketat orang-orang di dalam partai yang gagal mengikuti garis partai.

Pada April 1918, polisi rahasia Bolshevik (Cheka) menggerebek 26 pusat Anarkis di Moskow. Empat puluh orang Anarkis dibunuh atau terluka dan lebih dari 500 orang dipenjara. [3] Pada bulan Mei, terbitan-terbitan Anarkis yang terkemuka dibredel. [4] Kedua peristiwa ini terjadi sebelum alasan meletusnya Perang Sipil bisa digunakan ( ? terhadap kelompok-kelompok kiri lainnya.?) sebagai suatu ’pembenaran’. Penggerebekan-penggerebekan ini terjadi karena kaum Bolshevik mulai kalah dalam perdebatan-perdebatan mengenai pengelolaan industri Rusia.

Di tahun 1918 itu juga, sebuah faksi di partai Bolshevik yang kritis terhadap kebijakan partai yang mengintrodusir ’Taylorisme’ (penggunaan kajian-kajian tentang keping kerja, waktu dan gerak untuk mengukur hasil masing-masing pekerja, yang pada esensinya adalah ilmu tentang ekstraksi tenaga habis-habisan) di jurnal Kommunist dipaksa keluar dari Leningrad ketika mayoritas peserta konferensi partai di Leningrad mendukung tuntutan Lenin «agar para penggiat Kommunist menghentikan eksistensi organisasional mereka yang terpisah-pisah". [5]

Jurnal ini terbit terakhir kali pada bulan Mei, dibungkam «Bukan dengan diskusi, bujukan ataupun kompromi, melainkan dengan suatu kampanye bertekanan tinggi di dalam organisasi-organisasi partai, yang didukung oleh serangan caci-maki kasar di pers partai…". [6] Dahsyatnya kalau dikatakan mendorong perdebatan!! Satu contoh lebih jauh tentang ’mendorong perdebatan’ ala Bolshevik terlihat dalam perlakuan mereka terhadap Makhnovis di Ukraina. Tentara partisan yang berperang melawan baik kaum nasionalis Ukraina maupun para jenderal Putih pada satu masa membebaskan lebih dari 7 juta orang. Ini dipimpin oleh seorang anarkis, Nestor Mhakno, dan anarkisme memainkan peran besar dalam ideologi gerakan ini. Zona yang dibebaskan ini dikelola oleh sebuah soviet demokratik pekerja dan petani, dan banyak kolektif didirikan.
Gema Spanyol

Kaum Makhnovis masuk ke dalam perjanjian dengan kaum Bolshevik tiga kali agar bisa mempertahankan sebuah front yang kuat untuk melawan kaum Putih dan kaum nasionalis. Kendati demikian, mereka juga tiga kali dikhianati oleh kaum Bolshevik, dan pada kali ketiga mereka pun dihancurkan setelah kaum Bolshevik menangkap dan mengeksekusi semua delegasi yang dikirim ke sebuah dewan militer bersama. Penangkapan dan pembunuhan ini dilakukan atas instruksi Trotsky!

Uraian Daniel Guerin tentang sepak-terjang Trotsky terhadap kaum Makhnovis adalah instruktif «Trotsky menolak untuk memberikan senjata kepada para partisan Makhno, mengabaikan tugasnya untuk membantu mereka, dan kemudian menuduh mereka berkhianat serta sengaja membiarkan diri mereka dipukul oleh pasukan putih. Prosedur yang sama 18 tahun kemudian diikuti oleh kaum Stalinis Spanyol terhadap brigade-brigade anarkis". [7]

Sumbat final diterapkan pada kehidupan politik di luar ataupun di dalam partai pada tahun 1921. Kongres partai pada 1921 melarang semua faksi di dalam partai komunis itu sendiri. Trotsky berpidato mengecam salah satu faksi tersebut, yakni Oposisi Pekerja, dengan mengatakan bahwa mereka telah «menempatkan hak pekerja untuk memilih wakil-wakil di atas partai. Seolah partai tidak berhak untuk menegaskan kediktatorannya meskipun kediktatoran itu untuk sementara waktu berbenturan dengan semangat demokrasi pekerja yang sedang berlangsung". [8] Tak lama setelah itu, pemberontakan Kronstadt digunakan untuk membuang, memenjarakan dan mengeksekusi kaum anarkis yang tersisa. Lama sebelum matinya Lenin, warisan politik yang kini dibebankan kesalahannya pada Stalin telah tersempurnakan. Perbedaan pendapat telah dibungkam di dalam dan di luar partai. Negara satu partai berdiri pada tahun 1921. Stalin mungkin memang merupakan tokoh pertama yang mengeksekusi anggota-anggota partai dalam skala sangat besar, namun dengan adanya eksekusi orang-orang revolusioner di luar partai serta pembungkaman perdebatan di dalam partai sejak tahun 1918, maka logika untuk pembersihan-pembersihan ini jelas sudah tertanam sebelumnya.
Kelas Pekerja Di Bawah Kekuasaan Lenin

Satu wilayah kunci lainnya adalah posisi kelas pekerja dalam masyarakat Stalinis. Tidak ada kaum Trotskyis yang akan menyangkal bahwa di bawah kekuasaan Stalin, kaum pekerja tidak punya hak suara dalam pengelolaan tempat kerja mereka dan mengalami kondisi-kondisi yang kejam di bawah ancaman tangan besi negara. Namun demikian, sekali lagi, kondisi-kondisi ini mulai muncul di bawah kekuasaan Lenin, dan bukan Stalin. Segera setelah revolusi, kaum pekerja Rusia berusaha mem-federasi-kan komite-komite pabrik agar bisa memaksimalkan distribusi sumberdaya. Ini dihambat oleh serikat-serikat buruh dengan ’arahan’ dari Bolshevik.

Di awal 1918, basis kontrol oleh pekerja yang terbatas, yang ditawarkan oleh kaum Bolshevik (pada kenyataannya lebih sedikit lagi ketimbang yang diperhitungkan), menjadi jelas ketika semua keputusan harus disetujui oleh sebuah badan tinggi yang mana tak lebih dari 50% keanggotaannya bisa diisi oleh pekerja. Daniel Guerin menguraikan bagaimana kontrol Bolshevik terhadap proses pemilihan di pabrik-pabrik: "pemilihan-pemilihan untuk memilih komite-komite pabrik terus berlangsung, tetapi satu anggota sel Komunis membacakan daftar kandidat yang telah ditentukan sebelumnya, dan pemungutan suara dilakukan dengan cara mengacungkan tangan di tengah kehadiran garda-garda ’Komunis’ bersenjata. Siapapun yang menyatakan oposisinya terhadap kandidat-kandidat yang diajukan, akan terkena pemotongan upah, dll." [9]

Pada 26 Maret 1918, kontrol oleh pekerja di proyek-proyek pembangunan jalan kereta api dihapuskan dengan sebuah dekrit yang penuh dengan frasa-frasa menjengkelkan yang menekankan «disiplin kerja besi» dan manajemen individu. Sekurangnya, kata para pengikut Trotsky, jalan-jalan kereta api bisa beroperasi tepat pada waktunya. Di bulan April Lenin menerbitkan sebuah artikel di Isvestiya yang mencantumkan pengenalan sebuah sistem kartu untuk mengukur produktivitas masing-masing pekerja. Dia mengatakan «… di Rusia kita harus mengorganisir pengkajian dan pengajaran sistem Talyor." "Kepatuhan total terhadap suatu kehendak tunggal mutlak diperlukan untuk keberhasilan proses kerja...revolusi menuntut, demi kepentingan sosialisme, bahwa massa tanpa mempertanyakan lagi mematuhi kehendak tunggal para pemimpin proses kerja itu," [10] demikian dinyatakan Lenin pada 1918. Ini terjadi sebelum meletusnya Perang Sipil, hal mana membuat klaim-klaim yang menyatakan bahwa, kaum Bolshevik pada waktu itu berusaha memaksimalkan kontrol oleh pekerja sebelum Perang Sipil menghambat usaha itu, menjadi sekadar omong kosong.

Dengan meletusnya Perang Sipil, kondisi menjadi jauh lebih buruk. Di akhir bulan Mei, dikeluarkan dekrit bahwa tak lebih dari 1/3 personalia manajemen di perusahaan-perusahaan industri yang perlu dipilih. [11] Beberapa «puncak momentum» di tahun-tahun berikutnya cukup penting untuk dikemukakan. Pada kongres ke-9 partai di bulan April 1920, Trotsky mengeluarkan komentarnya yang buruk tentang militerisasi kerja : "kelas pekerja... harus dilemparkan kesana-kemari, ditunjuk, diperintah persis seperti serdadu. Para disertir dari kerja harus ditempa di dalam batalyon-batalyon penghukuman atau dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi." [12] kongres itu sendiri mendeklarasikan: «tidak ada kelompok serikat buruh yang perlu secara langsung campur tangan dalam manajemen industri." [13]
Manajemen Satu Orang

Pada kongres serikat buruh di bulan April itu, Lenin membual betapa pada tahun 1918 dia telah " menjelaskan perlunya mengakui otoritas diktatorial individu-individu tunggal demi tujuan melaksanakan ide soviet." [14] Trotsky menyatakan bahwa «kerja... wajib bagi seluruh pelosok negeri, kewajiban bagi setiap pekerja adalah basis sosialisme " [15] dan bahwa militerisasi kerja bukanlah langkah darurat. [16]

Dalam buku Perang, Komunisme dan Terorisme yang diterbitkan oleh Trotsky pada tahun itu, dia mengatakan, «Serikat -serikat hendaknya mendisiplinkan para pekerja dan mengajari mereka untuk menempatkan kepentingan-kepentingan produksi di atas kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan-tuntutan mereka sendiri."

Dengan demikian, mustahillah untuk membedakan antara kebijakan-kebijakan ini dengan kebijakan-kebijakan kerja di masa kekuasaan Stalin.
Pemberontakan Pekerja

Barangkali kecaman yang paling pedas terhadap rezim-rezim Stalinis muncul setelah mereka melakukan pelibasan terhadap pemberontakan-pemberontakan pekerja, baik yang diketahui secara luas seperti di Berlin Timur pada 1953, di Hungaria pada 1956 dan di Cekoslovakia pada 1968 maupun yang skalanya lebih kecil, pemberontakan-pemberontakan yang kurang dikenal. Pemberontakan besar yang pertama seperti itu terjadi di masa kekuasaan Lenin dikarenakan adanya intimidasi berskala besar pada tahun 1921 di Kronstadt, sebuah pangkalan angkatan laut dan kota kecil dekat Petrograd.

Pemberontakan ini secara esensial terjadi ketika Kronstadt berupaya untuk secara demokratis memilih sebuah soviet, dan mengeluarkan serangkaian pernyataan yang menyerukan untuk kembali ke soviet-soviet yang demokratis serta kebebasan pers dan kebebasan bicara bagi partai-partai sosialis kiri." [17]

Upaya ini memenangkan dukungan bukan hanya dari massa pekerja dan pelaut di pangkalan itu, melainkan juga dari sebagian jajaran di partai Bolshevik. Respon kaum Leninis ketika itu brutal. Pangkalan Kronstadt digempur, dan banyak dari para pemberontak yang gagal melarikan diri dieksekusi. Kronstadt telah menjadi kekuatan penggerak untuk revolusi tahun 1917, dan pada 1921 revolusi mati bersama matinya Kronstadt.

Ada ciri-ciri lain yang lazim diterima sebagai karakter Stalinisme. Satu lagi yang cukup penting untuk diperhatikan adalah cara fitnah yang telah digunakan oleh organisasi-organisasi Stalinis sebagai senjata untuk melawan kelompok-kelompok kiri lainnya. Satu lagi yang lain adalah cara Stalin menulis ulang sejarah. Namun demikian, sekali lagi ini adalah turunan mendalam dari Leninisme. Mhakno, misalnya, diubah dari semula dielu-elukan oleh koran-koran Bolshevik sebagai «Sang Pembalas Kaum Putih " [18], kemudian digambarkan sebagai seorang Kulak dan bandit.
Fitnah

Kaum Trotskyis di masa modern sekarang senang sekali mengulangi bentuk fitnah ini dengan disertai penggambaran Mhakno sebagai seorang yang anti-Semit. Namun demikian, sejarawan Yahudi, M. Tchernikover, mengatakan: «Tak bisa dipungkiri bahwa, di antara semua tentara, termasuk Tentara Merah, kaum Makhnovis-lah yang berlaku paling baik terhadap penduduk sipil pada umumnya, dan penduduk Yahudi pada khususnya. " [19]

Kepemimpinan kaum Makhnovis berisikan orang-orang Yahudi, dan bagi mereka yang ingin berorganisasi dengan cara ini, ada detasemen-detasemen yang khusus untuk orang Yahudi. Peran yang dimainkan oleh kaum Makhnovis dalam menaklukkan kaum putih telah dihapuskan dari sejarah oleh setiap sejarawan Troskyis, tetapi beberapa sejarawan lain menganggap bahwa kaum Makhnovis memainkan peran yang jauh lebih menentukan ketimbang Tentara Merah dalam mengalahkan Wrangel. [20]

Kronstadt memberikan satu contoh lagi mengenai bagaimana Lenin dan Trotsky menggunakan fitnah untuk menghadapi musuh-musuh politiknya. Keduanya berupaya menggambarkan pemberontakan tersebut sebagai diorganisir dan dipimpin oleh kaum putih. Pravda edisi 3 Maret 1921 menggambarkan pemberontakan Kronstadt sebagai «Sebuah skenario baru kaum Putih.... yang diperkirakan-dan tak ragu lagi memang disiapkan-oleh kaum kontra-revolusi Perancis. " Lenin, dalam laporannya kepada Kongres ke-10 Partai pada tanggal 8 Maret, mengatakan, «Para jendral Putih, kalian semua tahu, memainkan peran besar dalam hal ini. Ini sepenuhnya terbukti. " [21]

Namun demikian, bahkan Isaac Deutscher, penulis biografi Trotsky, mengatakan dalam The Prophet Armed: «Kaum Bolshevik menuduh orang-orang Kronstadt sebagai para pendurhaka kontra-revolusioner yang dipimpin oleh seorang jendral Putih. Tuduhan ini nampak tak berdasar. " [22]
Menulis Ulang Sejarah

Beberapa orang Trotskyis di era modern ini mengulangi cara-cara memfitnah orang lain, misalnya Brian Pearce (sejarawan Liga Buruh Sosialis di Inggris) yang berusaha menyangkal bahwa hal seperti itu pernah terjadi: «Tidak ada pretensi yang dibuat dalam pernyataan bahwa para pendurhaka Kronstadt adalah Garda Putih. " [23] Fakta sesungguhnya menunjukkan bahwa, satu-satunya jendral Tsaris yang ada di kubu pertahanan ditempatkan di sana sebagai komandan oleh Trotsky beberapa bulan sebelumnya! Biarlah kita serahkan kata-kata terakhir tentang hal ini kepada para pekerja Kronstadt: «Kawan-kawan, jangan biarkan dirimu disesatkan. Di Kronstadt, kekuasaan ada di tangan para pelaut, serdadu merah dan para pekerja revolusioner. " [24]

Ada ironi dalam fakta bahwa taktik-taktik fitnah dan menulis ulang sejarah, sebagaimana yang dilakukan secara sempurna oleh kaum Bolshevik di bawah kepemimpinan Lenin, kemudian digunakan dengan efek serupa terhadap kaum Trotskyis. Trotsky dan para pengikutnya dituduh sebagai «Fasis» dan agen imperialisme internasional. Mereka hendak dicoret dari sejarah revolusi. Kendati demikian, sekarang ini para pengikut Trotsky, yakni kaum Leninis terakhir yang tersisa, menggunakan taktik-taktik yang sama dalam menghadapi lawan-lawan politiknya.

Maksud dari artikel ini adalah untuk memancing banyak perdebatan yang diperlukan di kalangan kiri Irlandia tentang watak Leninisme dan bagaimana revolusia berjalan ke arah yang buruk. Konteks ambruknya Eropa Timur membuat semakin mendesak saja bagi perdebatan ini untuk bergerak melampaui kebohongan-kebohongan lama yang itu-itu juga. Kalau Leninisme terletak di jantung Stalinisme, maka organisasi-organisasi yang menganut ajaran Lenin berdiri untuk kembali membuat kesalahan-kesalahan yang sama. Siapapun dalam sebuah organisasi Leninis yang tidak menanggapi hal ini secara serius berarti persis sama buta dan tersesatnya dengan semua anggota partai komunis yang menganggap bahwa Uni Soviet merupakan sebuah negeri sosialis sampai hari kejatuhannya.

Affinitas #1

CATATAN KAKI:

[1] 1. V.I. Lenin «Left wing childishness and petty –bourgeois mentality", h

[2] 2. V.I. Lenin «The threatening catastrophe and how to fight it", u

[3] 3. M. Brinton «The Bolsheviks and workers control» page 38,r

[4] 4. M. Brinton page 38

[5] , 5. Brinton, page 39,s

[6] 6. Brinton, page 40,t

[7] 7. D. Guerin «Anarchism", page 101, r

[8] 8. Brinton, page 78,i

[9] 9. Guerin,kpage 91,es

[10] 10. Brinton, page 41

[11] 11. Brinton, page 43

[12] 12. Brinton, page 61, o

[13] 13. Brinton, page 63, f

[14] 14. Brinton, page 65

[15] 15.1981 for politic a,

[16] 16. I. Deutscher, «The Prophet Armed» pages 500-07

[17] 17. Ida Mett,"The Kronstadt Uprising", page 38

[18] 18. A. Berkman, «Nestor Makhno", page 25

[19] 19. quoted by Voline «The Unknown Revolution", page 572

[20] 20. P. Berland, « Makhno », Le Temps, 28 Aug, 1934

[21] 21. Lenin, Selected Works, vol IX, p. 98

[22] 22. Deutscher, The Prophet Armed, page 511

[23] 23. Labour Review, vol V, No. 3

[24] 24. I. Mett, page 51

Buruh: Eksploitasi Dan Perlawanan

Labor terdefinisi dalam kedudukan bahasa Latin dengan makna kerja keras, bekerja berat, bersusah payah dan membanting tulang. Labor diterjemahkan sebagai kata yang mengandung arti penderitaan, perusakan, menyusahkan, menghadapi kesulitan, kelelahan dan sakit yang berat. Bersamaan turunan kata, labor dikaitkan dengan hasil pekerjaan perladangan dan perkebunan.

Secara umum, labor identik kaum buruh, pekerja dan karyawan swasta yang membentuk kesatuan dalam kesamaan pandangan, keyakinan politik, argumentasi orang tertindas dan himpunan orang-orang yang mengalami kekerasan struktural oleh negara ataupun perusahaan. Dengan menempatkan pengertian terbatas, maka jauh dari harapan sesungguhnya bahwa pekerja - buruh, jongos, bedinde, pembokat, ataupun koeli, tetap memberikan konotasi terendah, paling hina dalam stempel struktur bahasa dan kelazimannya.

Eksploitatif dan Perlawanan

Sesungguhnya, pengertian buruh tidak harus ditempatkan dalam struktur ekonomi yang vis a vis dengan majikan, juragan, pengusaha atau negara dalam artian politis. Dengan pengertian yang dangkal ini, buruh mengalami degradasi rational-animale sebagai kaum terbuang, terisolasi dan termarginalkan. Perasaan dan pikiran eksploitatif ini terbentuk sejak lama sehingga melahirkan kebangkitan dan perlawanan.
Perlawanan buruh terbesar terjadi di Amerika Serikat pada 4 Mei 1886. Ketika itu belasan polisi dan buruh tewas dalam kerusuhan berdarah di pusat bisnis Haymarket, Chichago, Illinois. Para pemimpin buruh ditangkap dan sebagian dihukum mati. Kerusuhan itu adalah puncak dari demonstrasi nasional 400 ribu buruh Amerika sejak 1 Mei 1886. Tuntutannya adalah pengurangan jam kerja menjadi 8 jam kerja sehari.
Dengan peristiwa yang terjadi di berbagai penjuru dunia tentang perlawanan kaum buruh, Kongres Sosialis Dunia di Paris menetapkan pada 1 Mei sebagai hari Buruh Sedunia. Ikon dan konteks buruh di Indonesia sesungguhnya adalah keseluruhan kebijakan politik sejak pemerintahan Hindia Belanda. Eksploitasi alam disertai tenaga manusia terekam dalam karya Multatuli yang menggugat pemerintah Belanda dengan memaksa rakyat Hindia-Belanda untuk membangun jalan-jalan, perkebunan kopi, cengkih, pala (rempah-rempah) dan tanam paksa (culturstelsell system).

Ingatan kolektif bangsa ini sangat mempengaruhi perilaku akibat kerja rodi dan romusha jaman penjajahan. Akan tetapi, di awal 80-an, konteks perlawanan buruh di Indonesia mengalami perubahan. Tekanan rezim pemerintah, memaksa serikat buruh dan dagang bergerak di bawah tanah. Partai pengusung sosialis dan kaum buruh dilemahkan. Buruh tidak tampil dalam ikatan serikat pekerja tapi lewat ikon pribadi yang tertindas seperti Marsinah dan Lisa Bonet, sebagai potret tertindas, teraniaya dan menderita. Barulah pasca reformasi, eskalasi pertumbuhan partai dan organisasi serikat buruh merebak bagaikan jamur di musim hujan.

Longmarch Pemikiran Marx

Penderitaan kaum buruh adalah longmarch pemikiran Marx dalam argumentasi perhitungan infrastruktur dan suprastruktur lembaga-lembaga negara terhadap aktifitas rakyat. Dalam hal ini, sosialis yang dimaksudkan Marx adalah kebersamaan/communio diatur oleh negara dan meniadakan kepemilikan pribadi (versted right). Marx menghendaki adanya keseimbangan dan kesempatan yang sama dalam bernegara dan mendapatkan hak-hak sama-rasa dan sama-rata. Negara adalah pembagi adil dan poros kekuasaan yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat seutuhnya.

Bertentangan dengan pemikiran tersebut, para pendiri negara (the founding fathers) mengartikulasikan negara menjamin hak hidup dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimana negara memberikan hak-hak keberdayaan terhadap warga negara di bidang pendidikan, agama, berserikat, mengeluarkan pendapat dan pekerjaan dan kehidupan yang layak.


Pengejahwantahan/implementasi hak dan kebebasan buruh yang diberikan negara masih terbatas. Hak-hak buruh justru mengalami perubahan dari akomodasi politis menjadi perluasan ekonomis bagi para pengusaha dalam hal ini intervensi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Undang-Undang dijadikan pertautan psikologis antara kebutuhan mencari dan mendapatkan pekerjaan dengan nilai usaha atau keuntungan bagi pihak majikan atau pengusaha.

Pertemuan kepentingan antara poros ekonomi (pengusaha, investor asing) dan politik (pemerintah; DPR, Presiden) dalam pengambilan kebijakan, akan sangat merugikan kaum buruh dan melemahkan usaha-usaha kooperatif yang dibangun selama proses reformasi. Pertentangan buruh–majikan sesungguhnya berada dalam bidang regulasi dan kehendak aspiratif legislatif serta eksekutif. Jika demikian, manakah jalan-jalan advokasi yang harus dilakukan buruh? Menggelar aksi demo, unjuk rasa dan drama kaotik buruh tidaklah cukup menghadapi perselingkuhan aktor ekonomi dan politik untuk mengubah nasib buruh.

Posisi Buruh

Perjuangan hak-hak kaum buruh atas kewajiban majikan harus lebih cerdas, terarah dan sesuai legitimasi hukum serta memenuhi unsur-unsur berkeadilan. Negara sebagai aktor intervensi regulatif harus mampu memainkan fungsi pemerintah yang mengemban kedaulatan rakyat. Posisi buruh harus ditempatkan sebagai bagian dari aspirasi rakyat yang menuntut keadilan. Apabila pemerintah tidak dapat memberikan kepastian dan kelayakan hidup serta pekerjaan terhadap rakyatnya, maka pemerintah gagal menjalankan fungsi dan tugasnya untuk kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, kedudukan buruh terhadap majikan atau pengusaha juga ditempatkan pada proporsinya. Terminologi buruh terhadap majikan adalah orang yang bekerja dan mendapatkan gaji atau upah bekerja. Akan tetapi, dilema dan kesulitan menempatkan posisi buruh terjadi pada saat majikan melakukan ekspansi usaha dan tuntutan “pungli” berlebihan oleh pemerintah. Begitu banyak retribusi, pajak tak bertuan, sumbangan keamanan lingkungan, sumbangan perayaan hari-hari besar yang harus dikeluarkan oleh pihak majikan/pengusaha. Alhasil, keuntungan perusahaan diperas oleh unnormally circumstances yang membuat neraca laba perusahaan morat-marit dan mencari kompensasi (equibilirium) keseimbangan.

Kompensasi kondisi di atas, memberikan implikasi pemberian upah yang sangat minim dan pengerusan tenaga kerja yang berlebihan. Inilah posisi dilematis yang dialami buruh. Situasi tersebut terjadi berlarut-larut tanpa ada upaya konkrit baik dari pihak manajemen perusahaan dan pemerintah. Mediasi yang terputus akan berakibat fatal pada pemogokan dan kerugian sektor produksi.

Sosialisme Borjuis Kecil dan Sosialisme Proletar

Dari bermacam doktrin sosialis, Marxisme-lah yang saat ini paling dominan di Eropa. Perjuangan untuk mencapai masyarakat sosialis hampir sepenuhnya dipahami oleh Marxisme sebagai perjuangan kelas buruh di bawah pimpinan partai-partai Sosial-Demokratis. Dominasi sosialisme proletariat ini berdasar pada ajaran Marxisme tidak dicapai seketika, tetapi semata setelah terjadi perjuangan panjang menentang bermacam doktrin usang, sosialisme borjuis kecil, anarkisme dan lain-lain. Sekitar 30 tahun yang lalu Marxisme tidak dominan, sekalipun di Jerman. Pandangan yang berlaku di negara tersebut bersifat transisi, bercampur baur dan eklektis, terletak diantara sosialisme borjuis kecil dan sosialisme proletariat. Doktrin-doktrin yang paling menyebar dikalangan buruh maju di negara-negara Romawi, di Perancis, Spanyol dan Belgia adalah Proudhonisme, Blanquisme [1] dan anarkisme yang nyata-nyata mengekspresikan cara pandang borjuis kecil, bukan proletariat. Apa yang menyebabkan cepat dan tuntasnya kemenangan Marxisme dalam dekade terakhir ini? Ketepatan pandangan Marxis dalam banyak hal telah dibuktikan oleh semua perkembangan masyarakat kontemporer baik ekonomi maupun politik, dan oleh seluruh pengalaman gerakan revolusioner serta perjuangan kelas-kelas tertindas. Kemunduran borjuis kecil, cepat atau lambat, tak dapat dielakkan akan mengakibatkan kepunahan segala macam prasangka borjuis kecil. Sementara itu tumbuhnya kapitalisme dan kian dalamnya perjuangan kelas dalam masyarakat kapitalis jadi agitasi terbaik bagi gagasan sosialisme proletar. Keterbelakangan Rusia itulah pada dasarnya yang bisa menjelaskan tetap kokohnya bermacam doktrin sosialis usang di sana. Seluruh sejarah aliran pemikiran revolusioner Rusia sepanjang perempat terakhir abad 19 adalah sejarah perjuangan Marxisme melawan sosialisme borjuis kecil Narodnik. [2] Meskipun kemajuan pesat dan keberhasilan luar biasa gerakan kelas pekerja Rusia pun sudah berhasil membuahkan kemenangan bagi Marxisme di Rusia tapi berkembangnya sebuah gerakan petani yang jelas revolusioner – khususnya revolusi petani terkenal di Ukraina tahun 1902 [3] - di satu sisi malah membangkitkan lagi Narodnisme kuno. Teori-teori Narodnik yang kuno dengan diwarnai oleh oportunisme Eropa yang populer masa itu (Revisionisme, Bernteinsime [4] dan kritisisme atas Marx), mendadani seluruh persediaan ideologis asli golongan yang umum disebut Sosialis-Revolusioner. [5] Itulah sebabnya mengapa masalah kaum petani menonjol dalam pertentangan Marxis melawan Narodnik sejati maupun golongan sosialis-revolusioner.

Untuk satu hal tertentu, Narodnisme adalah sebuah doktrin yang integral dan konsisten. Narodnisme menolak adanya dominasi kapitalisme di Rusia; menentang peran buruh pabrik sebagai pemimpin garis depan perjuangan kaum proletar; menolak pentingnya sebuah revolusi politik dan kebebasan politik borjuis; ia menyerukan perlu segera dilaksanakannya sebuah revolusi sosialis yang berangkat dari komune petani berikut bentuk-bentuk pertanian kecil-nya. Semua yang masih bertahan dalam teori integral ini sekarang hanyalah serpihan-serpihan saja, tapi untuk secara pandai memahami kontroversi-kontroversi yang berlangsung saat ini,dan menjaga supaya kontroversi itu tidak melorot menjadi sekedar perang mulut, orang semestinya ingat akar-akar Narodnik yang paling dasar dan umum yang sekaligus merupakan akar kesalahan Sosialis-Revolusioner kita.

Kaum Narodnik beranggapan bahwa kaum Muzhik adalah manusia Rusia masa depan. Pandangan ini tak pelak berkembang karena keyakinan mereka pada masa depan kapitalisme. Sedangkan kaum Marxis beranggapan bahwa buruh pekerja adalah manusia masa depan, dan perkembangan kapitalisme Rusia baik di bidang pertanian maupun industri makin menegaskan pandangan mereka. Gerakan kelas pekerja di Rusia telah berhasil memperoleh pengakuan bagi keberadaannya sendiri. Tetapi bagi gerakan petani, masih ada jurang pemisah antara Narodisme dan Marxisme hingga sekarang, yang mana hal ini terungkap dalam penafsiran mereka yang berbeda atas gerakan (petani) ini. Bagi kaum Narodnik, gerakan petani tersebut dengan sendirinya membuktikan kekeliruan Marxisme. Ini adalah gerakan yang bekerja untuk suatu revolusi sosialis yang langsung; gerakan ini tidak mengakui kebebasan politik borjuis; gerakan yang berangkat dari produksi skala kecil dan bukan produksi berskala besar. Singkatnya, bagi kaum Narodnik, gerakan petani lah yang benar-benar sosialis sejati dan segera merupakan gerakan sosialis. Kesetiaan Narodnik pada komune petani dan bentuk tertentu anarkisme Narodnik sepenuhnya bisa menjelaskan mengapa kesimpulan demikian yang selalu terumuskan. Bagi kaum Marxis, gerakan petani adalah gerakan demokratik, bukan gerakan sosialis. Di Rusia, seperti juga kasus di negara-negara lain, gerakan ini pasti sejalan dengan revolusi demokratik, revolusi yang borjuis kandungan sosial ekonominya. Gerakan yang sampai titik akhirnya memang tidak ditujukan untuk menggoyang pondasi tatanan borjuis, menentang prodksi komoditi atau melawan kapital. Sebaliknya gerakan itu ditujukan untuk menentang hubungan pra-kapitalis, hubungan perhambaan kuno di wilayah pedesaan dan melawan tuan-tanahisme, yang menjadi kunci seluruh kelangsungan hidup pemilikan hamba-hamba. Konsekuensinya kemenangan penuh gerakan petani ini tak akan menghapus kapitalisme; malahan sebaliknya, gerakan ini akan menciptakan pondasi lebih luas lagi bagi perkembangan kapitalisme, akan mempercepat serta memperdalam perkembangan kapitalis sejati. Kemenangan penuh pemberontakan kaum petani hanya bisa menciptakan benteng bagi republik demokrasi borjuis, yang didalamnya tumbuh untuk pertama kalinya suatu perjuangan proletariat melawan kehendak borjuasi dalam bentuk yang paling murni. Lantas, ada dua pandangan bertentangan yang harus dimengerti dengan jelas oleh siapapun yang ingin mempelajari jurang perbedaan prinsipil antara Sosialis-Revolusioner dan Sosialis-Demokrat. Merujuk ke salah satu pandangan, gerakan petani adalah gerakan sosialis, sedangkan merujuk ke pandangan lain gerakan petani adalah gerakan borjuis-demokratik. Dengan ini orang bisa lihat betapa gobloknya ungkapan orang-orang Sosialis-Revolusioner kita ketika mereka mengulang beratus kali (lihat, misalnya, dalam Revolutsionnaya Rossiya, no. 75) bahwa Marxis ortodoks telah mengabaikan masalah petani. Hanya ada satu cara untuk memberantas kebodohan berbahaya macam ini dan itu bisa diakukan dengan mengulang ABC; menyusun pandangan-pandangan Narodnik yang secara konsisten sudah kuno itu, dan beratus bahkan beribu kali menekan bahwa perbedaan yang sesungguhnya di antara kita itu tidak terletak pada soal berhasrat atau tidak berhasrat pada masalah petani, juga tidak terletak pada mengakui atau tidak mengakui masalah petani, tapi terletak pada perbedaan penilaian kita atas gerakan petani dan masalah petani saat ini di Rusia. Dia yang berkata bahwa Marxis mengabaikan masalah petani di Rusia adalah, pertama, seorang pengabai absolut. Sebab seluruh tulisan prinsipil Marcis Rusia, mulai dari tulisan Plekhanov Our Differences (muncul kurang lebih 20 tahun yang lalu), telah mencurahkan tenaga untuk menjelaskan kesalahan pandangan-pandangan kaum Narodnik mengenai masalah petani Rusia. Kedua, dia yang menyatakan bahwa Marcis mangabaikan masalah petani jelas menunjukkan hasratnya untuk menghindari keharusan memberi penilaian yang lengkap atas perbedaan prinsipil yang sesungguhnya, memberi jawaban atas pertanyaan apakah gerakan petani sekarang ini adalah gerakan borjuis atau tidak, apakah gerakan itu secara obyektif diarahkan untuk menghancurkan kelangsungan hidup penghambaan atau tidak.

Kaum Sosialis-Revolusioner tidak pernah memberikan, dan tidak selalu dapat memberikan satu jawaban jelas dan tepat pada masalah itu karena mereka menggapai-gapai tanpa harapan di antara pandangan kuno Narodnik dan pandangan Marxis saat ini mengenai masalah petani di Rusia. Kaum Marxis menyatakan bahwa kaum Sosialis-Revolusioner mewakili pendirian kaum borjuis kecil (mereka adalah ideolog kaum borjuis kecil) dengan alasan yang kuat bahwa mereka tidak dapat membersihkan diri dari ilusi-ilusi kaum borjuis kecil dan bayangan Narodnik dalam menilai gerakan buruh tani.

Itulah sebabnya mengapa kita mengulang ABC sekali lagi. Untuk apakah perjuangan kaum petani di Rusia saat ini? Untuk tanah dan kebebasan. Arti penting apa yang bakal dimiliki oleh seluruh kemenangan gerakan ini? Setelah meraih kemerdekaan, gerakan tersebut akan menghapuskan kekuasaan para tuan tanah dan birokrasi dalam adiminstrasi negara. Setelah berhasil menjaga tanah, gerakan itu akan memberikan tanah para tuan tanah kepada para petani. Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah dari para tuan tanah tersebut juga berarti penghapusan produksi komoditi? Tidak, tidak akan. Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah tuan tanah tersebut mengganti bentuk pertanian individual dengan bentuk rumah tangga petani atas dasar, tanah komunal, atau tanah yang "disosialkan"? Tidak, tidak akan. Akankah kemerdekaan penuh dan perampasan tanah tuan tanah menjembatani jurang dalam yang memisahkan petani kaya, yang memiliki sekian kuda dan sapi, dari pertanian-cangkulan, buruh harian, misalnya: jurang pemisah antara borjuis petani dengan proletar pedesaan? Tidak, tidak akan! Sebaliknya, makin tuntas sosial-estate (para Tuan Tanah) yang paling tinggi itu dienyahkan dan dilenyapkan maka akan makin dalamlah perbedaan kelas antara borjuis dan proletariat. Apakah yang secara obyektif bakal punya arti dengan adanya kemenangan penuh kebangkitan perlawanan buruh tani? Kemenangan tersebut akan menghilangkan seluruh kelangsungan hidup perhambaan, tetapi sama sekali tidak menghancurkan sistem ekonomi borjuis atau menghancurkan kapitalisme atau menghancurkan pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas – ke dalam golongan kaya dan miskin, borjuis dan proletar. Mengapa gerakan petani saat ini adalah gerakan borjuis-demokratik? Karena setelah menghancurkan kekuasaan birokrasi dan tuan-tuan tanah, gerakan itu akan menyusun sebuah sistem masyarakat demokratik, tapi bagaimanapun juga, itu dilakukan tanpa mengubah pondasi borjuis dari masyarakat demokratis tersebut, tanpa menghapuskan kekuasaan kapital. Bagaimanakah seharusnya buruh berkesadaran kelas, kaum sosialis, memandang gerakan petani saat ini? Ia harus mendukung gerakan ini, menolong petani dalam kondisi yang paling bertenaga, menolong mereka menyingkirkan tuntas segala kekuasaan birokrasi dan kekuasaan tuan-tuan tanah. Bagaimanapun, pada saat yang sama mereka harus menjelaskan kepada para petani bahwa tidak cukup cuma merobohkan kekuasaan birokrasi dan para tuan tanah. Ketika mereka merobohkan kekuasaan birokrasi dan para tuan tanah tersebut, saat itu juga mereka harus bersiap untuk menghapuskan kekuasaan kapital, kekuasaan borjuis, dan untuk maksud ini maka suatu doktrin yang sepenuhnya berwatak sosialis; yaitu Marxist, harus segera disebar, proletariat pedesaan harus dipersatukan, digalang bersama dan diorganisir untuk perjuangan melawan borjuis petani dan semua borjuis Rusia. Dapatkah seorang buruh yang berkesadaran kelas melupakan perjuangan demokratik demi perjuangan sosalis, atau melupakan perjuangan sosialis demi perjuangan demokratik? Tidak, seorang buruh yang berkesadaran kelas akan menyebut dirinya seorang sosial demokrat karena ia memahami kaitan dua perjuangan tersebut. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain yang bisa menyelamatkan jalan menuju sosialisme selain melalui demokrasi, kebebasan politik. Karenanya ia berjuang mencapai demokrasi sepenuhnya dan sekonsisten mungkin untuk mencapai tujuan puncak – sosialisme. Mengapa kondisi untuk perjuangan demokratik tidak sama dengan kondisi untuk perjuangan sosialis? Karena para buruh pekerja pasti akan memiliki sekutu yang berbeda di masing-masing dua perjuangan ini. Perjuangan demokratik dilakukan oleh buruh bersama dengan satu bagian dari borjuis, khususnya borjuis kecil. Di lain pihak, perjuangan sosialis dilakukan oleh buruh pekerja melawan seluruh borjuasi. Perjuangan melawan birokrat dan para tuan tanah dapat dan harus dilakukan bersama-sama dengan seluruh petani, bahkan bersama petani berkecukupan dan petani menengah. Di lain pihak, cuma berjuang bersama proletariat pedesaan sajalah, maka perjuangan melawan borjuis, dan karenanya juga berarti melawan petani berkecukupan, bisa diakukan dengan tepat. Bila kita selalu mengingat semua kebenaran Marxis yang elementer ini, yang oleh kaum Sosialis-Revolusioner selalu lebih suka dihindari, maka kita tak akan punya banyak kesulitan dalam menilai keberatan kaum Sosialis-Revolusioner "yang terakhir" atas Marxisme, seperti berikut ini:

"Mengapa itu perlu?" seruan dalam Revolutsionnaya Rossiya (no. 75), "Pertama mendukung kaum petani secara umum dalam melawan para tuan tanah, dan kemudian (yaitu, pada saat yang sama) mendukung kaum proletar menentang seluruh kaum petani, yang sekaligus sebagai ganti dari tindakan mendukung kaum proletar menentang para tuan tanah; dan apa yang Marxisme harus lakukan setelah itu, hanya surga yang tahu."

Ini adalah titik pandang anarkisme paling primitif, yang naif kekanak-kanakan. Selama berabad-abad dan bahkan ribuan tahun, manusia bermimpi melenyapkan "secara sekaligus" segala bentuk dan jenis penghisapan. Mimpi ini tetap sekedar mimpi sampai jutaan orang di seluruh dunia yang dihisap mulai bersatu untuk melakukan perjuangan konsisten, kokoh dan komprehensif merubah masyarakat kapitalis dalam arahan evolusi masyarakat tersebut yang terjadi secara alamiah. Mimpi-mimpi sosialis beralih menjadi perjuangan sosialis berjuta manusia hanya ketika sosialisme ilmiah Marx berhasil mengkaitkan desakan untuk berubah dengan perjuangan dari suatu kelas tertentu. Di luar perjuangan kelas, sosialisme hanyalah ungkapan kosong dan mimpi naif. Bagaimanapun, di Rusia, dua bentuk perjuangan yang berbeda dari dua kekuatan sosial yang berbeda tengah berlangsung di belakang penglihatan kita. Kaum proletar sedang berjuang melawan borjuasi, dimanapun hubungan-hubungan produksi kapitalis itu ada (dan hubungan produksi kapitalis itu ada – ini patut diketahui kaum revolusioner kita – bahkan dalam komune petani, misalnya: di tanah-tanah yang menurut titik pandang mereka telah seratus persenn "disosialisasikan"). Sedang sebagai bagian dari strata pemilik tanah kecil, borjuis kecil, kaum petani berjuang melawan seluruh kelangsungan hidup perhambaan, melawan birokrat dan para tuan tanah. Hanya mereka yang benar-benar mengabaikan ekonomi politik dan sejarah revolusi-revolusi dunia yang bisa keliru melihat bahwa ini adalah dua perang sosial yang terpisah dan berbeda. Menutup mata terhadap perbedaan perang-perang tersebut dengan cara menuntut suatu gerakan yang "sekaligus" sama saja menyembunyikan kepala di bawah ketiak orang dan menolak membuat analisis realita. Kaum sosialis-revolusioner yang telah kehilangan integritas pandangan-pandangan kuno Narodnik, bahkan telah merupakan ajaran-ajaran Narodnik itu sendiri. Seperti itu-itu juga ditulis dalam Revolutsionnaya Rossiya dalam artikel yang sama: "Dengan menolong kaum petani untuk mengenyahkan tuan tanah, tuan Lenin tanpa sadar sudah membantu berdirinya ekonomi borjuis kecil di atas reruntuhan pertanian kepitalis yang kurang lebih sudah berkembang. Tidakkah ini sebuah "langah mundur" dari titik pandang Marxisme ortodoks?"

Memalukan, saudara-saudara!! Mengapa anda lupa dengan tulisan orang-orang anda sendiri, Mr. V.V.! Periksa tulisannya, Destiny of Capitalism, juga Sketches, tulisan tuan Nikolai-on, [6] dan sumber-sumber lain tentang bijaknya anda. Anda kemudian akan mengingat kembali bahwa pertanian tuan tanah di Rusia itu memadukan dalam dirinya gambaran baik kapitalisme dan pemilikan hamba-hamba. Kemudian anda akan menemukan bahwa terdapat suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada sewa buruh, suatu sistem yang langsung mempertahankan sistem kerja tanpa upah. Jika lebih jauh lagi anda mencari pemecahan kesulitan tersebut pada buku macam Marxis ortodoks, seperti volume ke tiga Kapital-nya Marx, [7] anda akan temui bahwa dimanapun tak ada sistem kerja tanpa upah yang berkembang, dan dimanapun sistem itu tak bisa berkembang serta kemudian berubah menjadi pertanian kapitalis kecuali melalui perantaraan pertanian petani borjuis kecil. Dalam usaha anda menghalau Marxisme, anda malah mundur ke metode yang terlalu primitif, metode yang sudah demikian lampau digunakan; pada Marxisme secara langsung anda memberikan satu konsepsi pertanian kapitalis skala besar yang amat dangkal dan aneh melebihi konsep pertanian skala besar dengan dasar sistem kerja tanpa upah. Anda berpendapat bahwa karena hasil pertanian di tanah milik tuan tanah itu lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian petani maka perampasan tanah milik tuan tanah adalah suatu langkah yang terbelakang. Argumentasi ini layak dinyatakan oleh seorang anak sekolah dasar kelas 4. Sekedar pertimbangan, Tuan-tuan: memisahkan hasil-rendah tanah petani dari hasil-tinggi perkebunan tuan-tuan tanah ketika perbudakan dihapuskan, tidakkah itu merupakan sebuah "langkah mundur"?

Sistem ekonomi tuan tanah di Rusia saat ini merupakan perpaduan antara ciri-ciri kapitalisme dan pemilikan-perhambaan. Secara obyektif, saat ini perjuangan kaum petani melawan para tuan tanah adalah perjuangan melawan kelangsungan hidup perhambaan. Tapi mencoba menghitung seluruh kasus individual, mempertimbangkan setiap kasusnya dan menentukan secara tepat dengan ukuran skala seorang ahli obat, untuk menemukan kapan berakhirnya masa pemilikan-perhambaan dan kapitalisme dimulai, itu berarti mencoba menganggap Marxis sama dengan sifat teliti dan cermat. Kita tidak bisa menghitung bagian apa dari harga bahan-bahan yang dibeli dari sebuah toko kecil, yang mewakili nilai lebih dan bagian apa dari harga itu yang mewakili penipuan atas kerja buruh, dan sebagainya. Apakah itu berarti kita harus membuang teori nilai kerja, saudara-saudara?

Ekonomi tuan tanah kontemporer memadukan gambaran kapitalisme dan perhambaan. Tetapi dari kenyataan tersebut hanya ilmuwan saja yang bisa berkesimpulan bahwa inilah tugas kita untuk mempertimbangkan, menghitung dan memaparkan tiap menit gambaran dalam katagori sosial ini dan itu. Oleh karenanya hanya kaum utopialah yang dapat berkesimpulan bahwa, "tidak ada kebutuhan" bagi kita untuk melukiskan perbedaan di antara dua perang sosial yang berbeda. Sehingga sebenarnya, satu-satunya kesimpulan sesungguhnya yang muncul adalah bahwa baik dalam program maupun taktik, kita harus memadukan perjuangan proletariat yang sejati melawan kapitalisme dengan perjuangan demokrasi secara umum (dan petani secara umum) melawan penghambaan.

Makin jelas gambaran kapitalis pada ekonomi tuan tanah semifeodal saat ini, maka makin mendesak keharusan untuk mengorganisir proletariat pedesaan secara terpisah, karena ini akan lebih cepat menolong kapitalis sejati atau proletariat sejati, pihak yang berantagonisme ini menegaskan posisi mereka dimanapun perampasan tanah terjadi. Makin jelas gambaran kapitalis dalam ekonomi tuan tanah, makin cepat perebutan yang demokratik memberi dorongan pada perjuangan yang sesungguhnya untuk sosialisme – dan konsekuensinya, makin bahayanya membangun cita-cita palsu revolusi demokratik melalui pemakaian slogan "sosialisasi". Ini adalah kesimpulan yang ditarik dari kenyataan bahwa ekonomi tuan tanah adalah percampuran antara kapitalisme dan hubungan-hubungan pemilikan-perhambaan.

Jadi kita harus menggabungkan perjuangan proletar yang sejati dengan perjuangan petani pada umumnya, tetapi tidak mencampuradukan keduanya. Kita harus mendukung perjuangan demokratik dan perjuangan petani secara umum, tetapi tidak menenggelamkan diri dalam perjuangan yang tak berwatak kelas itu; kita tidak pernah boleh mencita-citakan perjuangan itu dengan slogan-slogan palsu seperti "sosialisasi", atau melupakan kebutuhan untuk mengorganisir kaum proletariat urban dan pedesaan dalam sebuah partai kelas yang sepenuhnya mandiri dari Sosial-Demokrasi. Sambil memberikan dukungan sepenuhnya para demokratisme yang paling kokoh, partai tersebut tidak akan membolehkan dirinya dialihkan dari jalan revolusioner oleh mimpi-mimpi reaksioner dan usaha coba-coba melakukan "persamaan" dalam sistem produksi komoditi. Perjuangan kaum petani melawan para tuan tanah saat ini merupakan sebuah perjuangan revolusioner; perampasan tanah-tanah milik para tuan tanah pada tahap sekarang dari suatu evolusi ekonomi dan politik adalah revolusioner dalam setiap seginya dan kita mendukung serta menjaga tindakan Revolusioner-Demokratik ini. Tapi menyebut tindakan ini adalah "sosialisasi", dan menipu dirinya maupun rakyat dengan mempertimbangkan kemungkinan terjadinya "persamaan" dalam pola penguasaan tanah di bawah sistem produksi komoditi, merupakan utopia kaum borjuis kecil yang reaksioner, pandangan yang kita letakkan pada kaum Sosialis-Reaksioner.

"Nalar Menjadi Anti-Nalar"

Masa di mana kelas kapitalis memihak pada cara pandang yang rasional atas dunia tinggallah kenangan. Dalam epos pembusukan kapitalisme, proses yang semula dijalani kini dijalankan ke arah kebalikannya. Mengutip Hegel, ini adalah "Nalar menjadi Anti-Nalar". Benar bahwa, di negeri-negeri industri maju, agama "resmi" telah membeku. Gereja-gereja tidak lagi didatangi orang yang bersembahyang, dan semakin jatuh ke dalam krisis. Sebagai gantinya, kita melihat satu "wabah Mesir", bertumbuhnya sekte-sekte keagamaan yang aneh-aneh, yang diiringi dengan berkembangnya berbagai jenis ajaran mistis dan segala macam tahyul. Wabah fundamentalisme agama yang mengerikan - Kristen, Yahudi, Islam, Hindu - adalah satu perwujudan dari kemandegan yang dialami masyarakat. Sejalan dengan semakin mendekatnya abad baru, kita dapat mengamati kemunduran yang dahsyat dari masyarakat, kembali ke Abad Kegelapan.

Gejala ini tidak hanya terjadi di Iran, India atau Aljazair. Di Amerika Serikat kita melihat "pembantaian Waco", dan setelah itu, di Swiss, bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekelompok orang fanatik beragama lainnya. Di lain-lain negeri barat, kita melihat penyebaran tak terkendali dari berbagai sekte keagamaan, tahyul, astrologi dan segala macam kecenderungan irasional. Di Perancis, terdapat sekitar 36.000 pastor Katolik, dan sekitar 40.000 astrolog profesional yang tercatat sebagai subyek kena pajak. Sampai baru-baru-ini, Jepang nampak sebagai pengecualian terhadap kecenderungan ini. William Rees-Moff, mantan editor dari harian Times di London, dan seorang Konservatif tulen, dalam buku barunya, The Great Reckoning, How the World Will Change in the Depression of the 1990s, menyatakan bahwa: "Bangkitnya kembali agama adalah sesuatu yang sedang terjadi di seluruh dunia, dengan berbagai tingkatannya. Jepang mungkin merupakan pengecualian, mungkin karena tatanan sosial belumlah menunjukkan tanda-tanda keretakan di sana...."[iii] Rees-Mogg berbicara terlalu lekas. Dua tahun setelah kalimat itu dituliskan, serangan gas yang mengerikan di jalur kereta bawah tanah Tokyo menarik perhatian dunia akan keberadaan satu kelompok keagamaan fanatik yang cukup besar, di mana krisis ekonomi telah menamatkan masa-masa keemasan tanpa pengangguran dan ketidakstabilan sosial. Semua gejala ini mengandung satu kemiripan yang luar biasa dengan apa yang terjadi di masa-masa setelah semakin memudarnya pengaruh kekaisaran Roma. Jangan juga ada yang membantah bahwa gejala ini hanya terbatas pada rakyat jelata. Ronald dan Nancy Reagan secara teratur berkonsultasi dengan para astrolog mengenai tindakan-tindakan mereka, baik yang besar maupun yang kecil. Di bawah ini adalah kutipan dari buku Donald Regan, For the Record:

"Hampir setiap pergerakan dan keputusan besar yang diambil Reagan selama masa saya menjabat sebagai kepala staf Gedung Putih terlebih dahulu diperbincangkan dengan seorang perempuan di San Fransisco yang melihat horoskop untuk memastikan bahwa semua planet terletak dalam posisi yang menguntungkan untuk mendukung keberhasilan keputusan tersebut. Nancy Reagan kelihatannya memiliki kepercayaan mutlak kepada kekuatan supernatural dari perempuan ini, yang telah meramalkan bahwa "sesuatu" yang buruk akan terjadi pada presiden beberapa waktu menjelang percobaan pembunuhan terhadapnya di tahun 1981.

"Sekalipun saya belum pernah bertemu muka dengan peramal ini - Ny. Reagan selalu menyampaikan hasil peramalannya setelah ia berkonsultasi dengan peramal itu melalui telepon - perempuan itu telah menjadi faktor yang demikian khusus bagi kerja-kerja saya, dan dalam urusan-urusan negara yang tertinggi, saya menyimpan satu kalender yang diberi kode berwarna (hari "baik" dengan warna hijau, hari "buruk" dengan warna merah, dan hari "yang tidak jelas" dengan warna kuning) sebagai pegangan untuk menjadwalkan perjalanan presiden Amerika Serikat dari satu tempat ke tempat yang lain, atau untuk menjadwalkan pidatonya, atau menjadwalkan negosiasi dengan pemerintah-pemerintah asing.

"Sebelum saya tiba di Gedung Putih, Mike Deaver telah menjadi orang yang mengintegrasikan horoskop Ny. Reagan ke dalam jadwal kepresidenan.... Hasil dari kerahasiaan dan loyalitasnyalah sehingga hanya sedikit orang di Gedung Putih yang tahu bahwa Ny. Reagan adalah bagian dari problem mereka [ketika menunggu jadwal] - lebih sedikit lagi yang tahu bahwa seorang peramal di San Fransisco adalah penentu sejati dari jadwal kepresidenan. Deaver memberitahu saya bahwa ketergantungan Ny. Reagan terhadap kultus ini sudah berjalan lama, sejak suaminya masih menjadi Gubernur Negara Bagian, ketika itu ia menyandarkan diri pada peramalan dari Jeane Dixon yang terkenal itu. Belakangan ia kehilangan kepercayaan pada kekuatan ramalan Dixon. Tapi Ibu Negara kelihatannya memiliki kepercayaan mutlak pada bakat supranatural dari perempuan di San Fransisco itu. Dan kelihatannya Deaver telah berhenti berpikir bahwa ada sesuatu yang istimewa dalam garis komando yang mengambang ini.... Baginya hal itu hanyalah satu masalah kecil dalam kehidupan seorang hamba dari seorang besar. 'Setidaknya,' katanya, 'peramal yang ini tidaklah seaneh yang terdahulu.'"

Astrologi digunakan untuk merencanakan pertemuan puncak antara Reagan dan Gorbachev, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh peramal keluarga istana, tapi tidak semua hal berjalan mulus antara kedua Ibu Negara karena hari lahir Raisa Gorbachev tidaklah diketahui! Pergerakan ke arah "ekonomi pasar bebas" di Rusia sejak itu telah menebarkan berkah peradaban kapitalis di negeri sial itu - pengangguran massal, disintegrasi sosial, pelacuran, mafia, tingkat kejahatan yang mencapai rekornya, penyalahgunaan obat-obatan dan agama. Baru-baru ini baru diketahui bahwa Yeltsin sendiri juga berkonsultasi dengan para astrolog. Dalam hal ini juga, kelas kapitalis yang baru lahir di Rusia telah menunjukkan dirinya sebagai murid-murid yang setia dari para guru mereka di Barat.

Rasa kehilangan arah dan pesimisme menemukan cerminannya dalam segala macam cara, tidak harus selalu dalam bidang politik. Irasionalitas yang mendominasi ini bukanlah satu kebetulan belaka. Semua itu adalah cerminan psikologis atas satu dunia di mana nasib umat manusia dikendalikan oleh satu kekuatan yang mengerikan dan nampaknya tak dapat terpecahkan. Lihatlah apa yang terjadi ketika kepanikan melanda bursa saham, di mana orang-orang "terhormat" berlari-lari seperti apa yang dilakukan semut ketika sarangnya dibongkar paksa. Kejang-kejang ekonomi periodik yang menggebah terjadinya kepanikan ini adalah satu penggambaran yang amat jelas mengenai anarki di dalam sistem kapitalisme. Dan anarki inilah yang menentukan hidup dari jutaan manusia. Kita kini hidup dalam sebuah masyarakat yang sedang terjun ke dalam jurang. Bukti-bukti pembusukan itu terjadi di mana-mana. Kaum reaksioner konservatif berkeluh-kesah tentang runtuhnya nilai-nilai keluarga dan wabah penyalahgunaan obat, kejahatan, kekerasan yang biadab, dan lain-lain. Jawaban satu-satunya yang dapat mereka berikan adalah dengan meningkatkan penindasan negara - lebih banyak polisi, lebih banyak penjara, jenis-jenis penghukuman yang lebih keras, bahkan satu penyelidikan genetik terhadap apa yang digembar-gemborkan sebagai "tipe-tipe kriminal". Apa yang tidak dapat dan tidak mau mereka lihat adalah bahwa gejala-gejala ini hanyalah indikasi dari jalan buntu yang dihadapi oleh sistem sosial yang mereka bela.

Mereka adalah pula para pembela "kekuatan pasar", kekuatan irasional yang kini telah memenjarakan jutaan orang ke dalam pengangguran. Mereka adalah juga para pengkotbah perekonomian "sisi suplai", yang didefinisikan secara cerdas oleh John Galbraith sebagai teori bahwa kaum miskin memiliki terlalu banyak uang dan kaum kaya memiliki terlalu sedikit. Maka, "moralitas" yang berlaku sekarang ini adalah moralitas pasar, yakni, moralitas rimba. Kemakmuran masyarakat semakin terkumpul di segelintir tangan, yang juga jumlahnya semakin menyusut, sekalipun kita terus mendengar propaganda tak masuk nalar tentang "demokrasi kepemilikan" dan "yang kecil itu indah". Kita seharusnya kini sedang hidup di tengah demokrasi. Tapi segelintir bank besar, monopoli dan para spekulan bursa saham (biasanya orangnya itu-itu juga) adalah penentu nasib jutaan orang lainnya. Minoritas mini ini menguasai alat-alat yang dahsyat untuk memanipulasi pendapat publik. Mereka menguasai monopoli atas alat komunikasi, pers, radio dan televisi. Lalu masih ada lagi para polisi spiritual - gereja, yang selama puluhan generasi telah mengajar orang untuk mencari keselamatan di langit.

Monday, December 18, 2006

Person of The Year 2006 versi TIME: Anda

Seperti biasa, setiap akhir tahun Majalah TIME menampilkan sosok Person of the Year. Namun, tahukah Anda siapa Person of the Year tahun ini? Jawabannya adalah Anda.

Ya, Anda. Andalah Person of the Year versi Majalah TIME untuk tahun 2006. Mungkin Anda tidak percaya dengan pengumuman ini. Namun, itulah kenyataannya. Pemimpin Redaksi TIME Rick Stengel menegaskan, sosok yang paling tepat untuk dinobatkan sebagai Person of the Year tahun ini adalah Anda. Alasannya, Andalah yang menguasai era informasi yang terus berkembang.

Berkat teknologi, Anda telah menjadi orang yang paling menguasai dunia informasi. ”Tahun ini kami memang sengaja menempatkan Anda sebagai Person of the Year. Selamat, Anda benar-benar layak mendapat predikat tersebut,” ujar Rick bangga. Putusan Rick ini memang cukup kontroversial.

Pasalnya, jauh hari sebelum ”Anda” dinobatkan menjadi Person of the Year, TIME terlebih dahulu membuat polling untuk memilih siapa Person of the Year 2006. Beberapa nama yang sempat menghiasi website majalah yang berdiri 3 Maret 1923 adalah Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Venezuela Hugo Chavez, dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Condoleezza Rice.

Bahkan, beberapa hari menjelang hari H (pengumuman Person of the Year), Ahmadinejad sempat memimpin dalam perolehan polling itu. Bukannya tampil sebagai Person of the Year 2006, Ahmadinejad hanya mendapat halaman khusus dalam sebuah wawancara eksklusif berjudul People Who Mattered. Lalu, dikemanakan hasil polling itu? TIME tidak memberikan penjelasan.

Yang jelas, menjelang detik-detik TIME hendak menobatkan Person of the Year 2006, Rick terkesima dengan seorang lelaki berusia 59 tahun bernama Tom. Saat itu, Tom tengah memilih sosok yang menurutnya pantas menjadi Person of the Year 2006. Tidak hanya menyebut nama, Tom juga memberikan alasan mengapa dia memilih tokoh itu. Uniknya, Tom tidak menyampaikan pilihannya via polling.

Tom justru meng-up-load video berisi gambar dan suaranya via YouTube (website yang dapat digunakan pengguna internet untuk menampilkan video buatan sendiri di dunia maya). Langkah Tom ini menjawab ”undangan” Rick yang sebelumnya juga pernah muncul di YouTube untuk mengajak seluruh pengguna internet memilih siapa sosok yang pantas menjadi Person of the Year 2006.

Hebatnya, hanya dalam hitungan hari, puluhan ribu pengguna internet dari berbagai negara muncul di YouTube. Mereka serta-merta memberikan pilihannya. Fenomena ini membuat Rick yakin, dunia informasi telah memasuki era baru. Via internet, semua orang dari belahan dunia mempunyai andil besar dalam menyebarkan berkomunikasi dengan cepat dan akurat.

Kemiskinan Memborgol Demokrasi

Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela mengatakan, pemberantasan kemiskinan merupakan pilar bagi tercipta dan berkembangnya demokratisasi di Afrika. Benar juga! Bagaimana manusia bisa bicara soal demokrasi jika perut keroncongan? Bagaimana manusia bisa menyuarakan aspirasi jika ia sendiri tak berdaya secara fisik?

Tentu pernyataan itu juga berlaku untuk Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia. Lebih dari itu, bebas dari kemiskinan juga menjadi hak legal untuk siapa saja. "Setiap orang berhak atas standar hidup yang layak, dengan akses yang memadai terhadap layanan kesehatan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk makanan...," demikian petikan dari Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal Hak Asasi Manusia 1948.

Bebas dari kemiskinan adalah bagian dari hak dan tentunya bagian dari demokrasi. Namun, semua itu masih ilusi bagi mayoritas warga dunia.

Wajah kusam dan lusuh, tempat tinggal seperti kandang ternak, merupakan pemandangan di banyak negara. Sejumlah gelandangan tergeletak di tepian jalan, ada pula anak-anak di bawah umur yang terpaksa bekerja untuk mencari nafkah. Dari Afrika hingga Jakarta, misalnya, tak sulit menemukan warga yang hidup dari mengemis karena miskin.

Memedihkan! Itulah kata yang paling tepat menggambarkan kehidupan dari 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, yakni mereka yang hanya memiliki pengeluaran kurang dari 1 dollar AS.

Siapa yang peduli akan nasib mereka? Semua mengatakan peduli, mulai dari negara miskin hingga para pemimpin G-8. Bahkan, setumpuk program pemberantasan kemiskinan global sudah tersusun. Salah satu yang ternama adalah Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), sebuah program PBB soal pengurangan 1,2 miliar warga miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015. Namun, pesimisme mewarnai pencapaian target itu.

Banyak cara

Pertanyaannya kemudian, bagaimana menurunkan target-target itu. Apa saja kendala yang dihadapi?

Salah satu cara adalah dengan pertumbuhan ekonomi. Asisten Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB yang juga Direktur Program Pembangunan PBB (UNDP) Hafiz Pasha mengatakan, untuk mengurangi kemiskinan, semua negara wajib meraih pertumbuhan minimal 7 persen. Itu diperlukan untuk menciptakan kesempatan kerja sebesar 1 persen.

China pada khususnya dan Asia pada umumnya tergolong paling sukses menurunkan kemiskinan berkat pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, semua syarat untuk kelancaran pertumbuhan ekonomi harus disiapkan. Celaka bagi negara berkembang. Banyak terjebak konflik, yang justru semakin memperburuk kemiskinan. Ada politisi yang saling sikut dan membuahkan politik yang tidak stabil.

Lepas dari itu, pertumbuhan ekonomi ternyata bukan pula cara paling ampuh mengurangi kemiskinan. Mengapa? UNDP memperlihatkan pertumbuhan ekonomi hanya menghasilkan peningkatan kemakmuran warga kaya dan tak menetes ke bawah.

Bagaimana mengatasinya?

Peraih Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus mengatakan, pengurangan kemiskinan harus dengan program yang menyentuh langsung mereka yang terjerat kemiskinan. Sejak tahun 1974 sampai 2007, ia membuktikan bahwa setidaknya 6 juta warga termiskin di Banglades bebas dari kemiskinan, padahal Banglades bukan negara yang tergolong emerging market (negara dengan perekonomian yang menggeliat) seperti banyak negara Asia lainnya.

Peningkatan kredit mikro adalah salah satu andalan yang diusulkan Yunus. Ia mengecam Bank Dunia, yang tidak fokus pada tugasnya, yakni memberantas kemiskinan. Bank Dunia malah memberikan kredit kepada perusahaan pertambangan lewat afiliasinya, International Financial Corporation. "Tidak 1 persen pun dari 20 miliar dollar AS dana Bank Dunia yang mengalir ke kredit mikro," kata Yunus.

Program kredit mikro sudah mulai mendapatkan perhatian besar, tetapi implementasinya masih seperti hangat-hangat kuku dan tidak revolusioner.

Pola De Soto

Saran lain soal pengurangan kemiskinan adalah dengan pemberdayaan sektor informal, usulan Hernando de Soto. Sebanyak 70 persen penduduk dunia itu hidup di sektor informal, pada umumnya di negara berkembang. Mereka tidak mendapatkan status hukum, terlunta-lunta, menjadi sasaran pemerasan oleh aparat, preman, dan bahkan pejabat pemerintah.

Sektor informal tidak punya akses ke sektor modern, termasuk ke perbankan. "Jangan beri belas kasihan pada rakyat kecil. Beri saja mereka akses ke sektor modern dan pemberian status hukum, maka pelaku sektor informal akan bergerak sendiri," kata De Soto.

Dengan status hukum, sektor informal menjadi bankable (layak diberi pinjaman perbankan). Keberadaan status hukum adalah salah satu syarat paling mendasar bagi perbankan untuk mengucurkan kredit ke dunia usaha. Sudah ada 35 negara yang meminta nasihat De Soto.

Namun, jangan lupa, De Soto menegaskan bahwa pemberdayaan sektor informal juga harus diiringi dengan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kaum papa, tidak semata-mata pemberian status hukum, walau status hukum merupakan syarat paling fundamental. Namun, belum banyak yang serius menjalankannya.

Alternatif lain

Ada lagi alternatif lain untuk mengurangi kemiskinan. Ini terutama berlaku bagi negara yang kaya minyak dan sumber daya alam lainnya. Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair pada sebuah pertemuan dunia di Johannesburg, Afrika Selatan, tahun 2002 mengusulkan The Extractive Industries Transparency Initiative (IETI).

Program IETI ini bermakna luas, yakni bagaimana mengubah sumber daya alam menjadi berkah dan bukan kutukan, dan sumber pertikaian, konflik berdarah. Transparansi pengelolaan dan eksplorasi atas sektor pertambangan sangat diperlukan. Tujuannya agar hasil sektor tambang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mayoritas warga, pemilik sumber daya.

Norwegia merupakan salah satu negara kaya minyak dan ingin berbagi pengalaman soal pengelolaan kekayaan alam bagi negara berkembang lainnya.

Namun, empat tahun setelah EITI dicanangkan, tak banyak perubahan dalam transparansi pengelolaan sektor tambang. Itu hanya milik elite, yang terdiri dari korporasi asing, dan elite pemerintahan. Rakyat hanya penonton.

Venezuela, Rusia, Bolivia, dan kini Ekuador telah mencoba membalikkan keadaan itu. Hasilnya adalah perbaikan besar dalam alokasi kekayaan alam, yang dialokasikan kepada rakyat. Lagi, belum banyak negara lain yang mengikutinya, termasuk Indonesia.

Alternatif lain untuk mengurangi kemiskinan adalah pengurangan beban pembayaran utang luar negeri negara berkembang, oleh negara maju. UNDP tak melihat semangat besar negara kaya untuk melakukan itu.

Pengurangan kemiskinan juga bisa dilakukan dengan pembukaan pasar negara maju terhadap produk pertanian negara berkembang. Namun, semua upaya itu masih mentok. Perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kini buntu karena negara maju belum mau membuka pasarnya untuk komoditas pertanian negara berkembang.

Maka, tak heran jika pada pertemuan G-8 tahun 2005 di Gleeneagles, Skotlandia, PM Blair mengutarakan bahwa keadaan di Afrika—dan tentunya di negara lain—merupakan simbol dari nurani dunia yang terkoyak.

Para aktivis hingga Sekjen PBB Kofi Annan menyatakan, dibutuhkan perhatian lebih besar untuk mengurangi kemiskinan. Pemberantasan terorisme, penciptaan perdamaian global, antara lain harus juga dilakukan dengan mengatasi akarnya, yakni kemiskinan.

Menurut Annan, adalah unsur kemiskinan yang justru membuat orang gampang direkrut untuk menjadi teroris atau terdorong sendiri untuk berbuat kriminal. Kemiskinan telah mempersulit stabilitas, yang juga harus menjadi pilar demokrasi. Kesimpulannya adalah kemiskinan masih memborgol demokrasi!
(Simon Saragih)

Thursday, December 14, 2006

Catatan HAM 2006: Kekerasan Belum Sirna !

Tahun 2006 ini Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun apakah Indonesia sudah berhasil menegakkan hak asasi manusia di dalam negerinya sendiri? Berikut catatan HAM bidang sipil dan politik selama 2006 yang dihimpun VHR.

Tahun 2006 masih diwarnai kekerasan oleh polisi. Dari bulan Januari hingga Maret, tiga orang tertembak saat demonstrasi menuntut penutupan tambang emas PT Freeport. Pelakunya adalah Brigade Mobil dari Polda Papua. Polisi juga menangkap 73 orang secara sewenang-wenang. Bahkan, hingga kini 200 mahasiswa masih bersembunyi di hutan-hutan karena takut atas kebrutalan polisi.

Di Poso, kekerasan masih berlangsung. Bom, pembunuhan, dan tindak kekerasan masih mewarnai kota yang dilanda konflik selama delapan tahun itu. Sekretaris Gereja Kristen Sulawesi Tengah, Irianto Kongkoli, tewas ditembak orang tidak dikenal. Mantan Ketua GKS Rinaldy Damanik menyatakan kekerasan berlangsung karena tidak ada penegakan hukum terhadap provokator aksi kekerasan di Poso.

“Ya, pemerintah dan aparat keamanan ragu-ragu untuk menerapkan hukum secara tegas. Bagi kami yang penting sebenarnya adalah penegakan hukum yang benar-benar menyentuh rasa keadilan masyarakat, yang transparan, terbuka. Yang pasti. Begitu,” kata Rinaldy kepada VHR.

Pemisahan polisi dari Tentara Nasional Indonesia ternyata belum berhasil menciptakan polisi sipil. Polisi masih memiliki tradisi kekerasan yang militeristik. Padahal, menurut juru bicara Mabes Polri Anton Bachrul Alam, sekarang polisi mendapat pendidikan HAM.

“Itu mutlak ya! Wajib anggota Polri dalam menjalankan pelayanan kepada anggota masyarakat mengerti tentang hak asasi manusia. Jadi, pelajaran itu wajib! Mutlak ya!” kata Anton.

Setelah sembilan tahun reformasi, kebebasan berekspresi belum sepenuhnya dijamin. Pemidanaan terdahap penghina presiden masih berlangsung. Selama pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono saja tercatat lima orang diseret ke meja hijau dengan tuduhan menghina presiden. Mereka adalah Wayan Gendho Suardhana, Bay Harkat Firdaus, Fahrul Rohman, Eggy Sudjana, dan Pandapotan Lubis.


Menurut Ketua Jurusan Hukum Pidana Universitas Indonesia, Rudi Satriyo, kritik di negara demokrasi tak perlu dipidana. Pasal penghinaan presiden merupakan jerat hukum bagi orang-orang kritis.

“Dengan syarat-syarat hanya bicara soal dilarang digunakan untuk persoalan kritik, tapi tidak ada masalah untuk persoalan yang berhubungan dengan menyamakan dengan binatang atau menghina,” kata Rudi Satriyo.

Ketua Komisi Hukum Nasional Jacob Elfinus Sahetapy bahkan menilai pasal penghinaan terhadap persiden tidak relevan. “Saya pikir penghinaan dan kritik harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Juga bagaimana memajukan reformasi dan demokrasi. Pasal-pasal ini sudah kehilangan relevansinya dan tidak dapat dipertahankan lagi,” kata pakar hukum dari Universitas Airlangga ini.

Untunglah pada 6 Desember lalu sebuah kado demokrasi diberikan oleh Mahkamah Konstitusi. Mahkamah ini mengabulkan gugatan uji materiil oleh Eggi Sudjana untuk mencabut delik penghinaan presiden. Kini tak seorang pun perlu takut mengkritik presiden.

Otonomi daerah ternyata juga berdampak pada kebebasan sipil. Banyak daerah mengeluarkan peraturan yang diskriminatif.

Sepanjang tahun 2006, Komnas HAM menerima 41 laporan peraturan daerah yang diskriminatif di beberapa daerah. Kebanyakan peraturan itu menganaktirikan perempuan.

Lilis Lindawaty, ibu rumah tangga, ditangkap petugas ketenteraman dan ketertiban Tangerang karena berjalan sendirian pada malam hari. Ia dituduh melanggar perda antiprostitusi.

“Kita prihatin karena salah tangkap. Kawan-kawan buruh banyak juga yang jadi korbannya,” kata Lilis.

Perlindungan hak asasi manusi juga masih merupakan persoalan besar di negeri ini. Sampai saat ini polisi belum mengumumkan pembunuh Munir, aktivis HAM. Pollycarpus Budihari Priyanto yang dihukum 14 tahun karena terlibat pembunuhan Munir belakangan dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Pejabat intelijen yang diduga mendalangi pembunuhan itu belum juga diadili. Pengacara terkenal Todung Mulya Lubis menilai Mahkamah Agung tidak mendukung penegakan HAM.

“Mahkamah Agung jangan hanya baca berkas. Harusnya Mahkamah Agung membuat sidang terbuka, bukan hanya terbuka pada saat pembacaan putusan. Karena itu, keputusan kasasi Mahkamah Agung akan semakin memperjelas posisi Mahkamah Agung dalam penegakan hak asasi manusia,” kata pengacara yang sudah malang-melintang di dunia HAM ini.

Di tengah-tengah kegelapan penegakan HAM, secercah harapan datang dari Jalan Latuharhary Jakarta, kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Setelah melakukan penyidikaan, komisi ini menyimpulkan terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1997. Komnas HAM merekomendasikan agar Wiranto dan Prabowo Subiakto diadili di pengadilan HAM.

“Mereka yang menerima, menderita kejahatan terhadap kemanusiaan yang ada penculikan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, dan penganiayaan,” kata Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua Komnas HAM, menyampaikan laporan penyidikan mengenai penghilangan paksa.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, kekerasan masih merupakan masalah HAM yang menonjol di negeri ini. “Kekerasan negara sangat menonjol dalam tahun 2006. kedua, belum ada perubahan sikap, cara pandang yang berubah di dalam melihat tuntutan-tuntutan tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada masa lalu,” kata Usman Hamid, Koordinator Kontras.

Walaupun Indonesia sudah meratifikasi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, toh belum ada upaya nyata untuk mewujudkan hak-hak itu. Menurut aktivis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Taufik Basari, tahun 2006 adalah masa yang kritis bagi penegakan HAM.

“Wajah penegakan HAM di tahun 2006 ini saya katakan hampir lumpuh. Artinya, kalau dibiarkan ia akan lumpuh. Jadi, bisa kita katakan ini adalah masa-masa kritis bagi negara,” ujar alumnus Universitas Northewestern, Amerika Serikat, ini.

Menjelang akhir tahun Mahkamah Konstitusi kembali membuat gebrakan: mencabut UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ini adalah pedang bermata dua. Pertama, produk hukum yang mengesahkan impunitas itu dibatalkan. Namun, hal ini juga menjadi masalah, karena upaya mengungkap kasus-kasus kejahatan HAM di masa lampau akan menemui jalan buntu. Sebab, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bertugas mengungkap kejahatan HAM di masa lalu, memberikan ganti rugi bagi para korban, di samping membangun rekonsiliasi bangsa.

Kini tahun 2006 sudah mendekati ujung. Banyak masalah di bidang sipil dan politik yang harus diperbaiki di tahun 2007. Penghapusan hukuman mati, pengadilan kasus-kasus kejahatan HAM, perlindungan kebebasan sipil, reformasi keamanan dan pertahanan, serta lain-lain belum juga berhasil.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, Perlukah?

RENCANA pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir makin terang benderang. Apalagi setelah Australia mengungkapkan minatnya untuk membantu. Empat unit pembangkit berkapasitas 1.000 megawatt electrik (MWe) mulai ditenderkan tahun depan. Pembangunan akan dimulai tahun 2010. Diharapkan tahun 2016 pembangkit pertama sudah beroperasi dan mampu memenuhi 10% dari kebutuhan listrik Jawa-Bali.

PLTN konon merupakan jawaban atas krisis energi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik bagi industri dan rumah tangga. Menurut Menteri Riset dan Teknologi Koesmayanto Kardiman, saat ini sumber pembangkit listrik Indonesia bergantung pada minyak dan gas alam. Oleh karena itu, tenaga nuklir merupakan sumber energi yang semakin penting. Pembangkit yang menggunakan bahan bakar uranium ini mampu menghasilkan daya yang banyak, sehingga sudah menjadi sumber listrik utama di negara-negara maju.

“Dalam kebijakan energi nasional 2016, kita akan punya PLTN pertama. Dan sekarang kita sudah persiapkan itu. Tugas saya memberikan masukan kepada Presiden melalui kajian teknologi seberapa layak dia, dilihat dari faktor keamanan, faktor lingkungan, kemudian kajian tekhnologi, dan kajian ekonomis. Karena (nuklir) adalah barang dagangan saya, pasti saya bilang bagus, dong...” kata Koesmayanto Kardiman kepada VHR.

Setelah unit pertama sukses, unit-unit selanjutnya akan terus dibangun. Menurut rencananya, pada tahun 2025 keempat unit pembangkit itu sudah beroperasi dan menghasilkan daya sebesar 4.000 MWe.

Penelitian mengenai kemungkinan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir sudah dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sejak sepuluh tahun lalu. Tempat yang paling ideal untuk pembangunan itu adalah tiga buah titik di Semenanjung Muria, Jawa Tengah.

Biaya untuk membangun pembangkit tersebut tidak tanggung-tanggung. Menurut kepala hubungan masyarakat BATAN, Ferhat Aziz, setiap pembangkit berkekuatan 1.000 MWe membutuhkan dana US$ 1,7 miliar. Namun, investasi sebear itu akan mampu menghasilkan energi listrik yang murah. Sedangkan harga jual daya listrik mencapai US$ 3,5 sampai US$ 4,2 sen per kilowatt. Harga tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan harga jual listrik dengan tenaga uap bumi, yakni US$ 6 sen per kilowatt. Sedangkan listrik dengan pembangkit batu bara dijual US$ 4,2 sen per kilowatt. Sedangkan harga jual daya listrik yang diproduksi Paiton mencapai US$ 8,2 sen per kilowatt.

“Investasi nuklir memang mahal, sekitar US.700 sampai US$ 2.000 per kilowatt listrik. Jadi, kalau kita perlu 1.000 megawatt listrik, maka kita perlu kalikan itu dengan 1 juta. Jadi, perlu US$ 1.700 juta. Jadi, memang agak mahal,” katanya.

Masih menurut Ferhat, saat ini banyak investor asing yang berminat membangun pembangkit listrik tersebut. Negara-negara yang sudah berpengalaman membangun pembangkit listrik tenaga nuklir seperti Jepang, Amerika Serikat, Prancis, dan Korea sudah siap bekerja sama membangun pembangkit itu.

“Untuk pembangkit listrik, kita nanti terbuka saja. Siapa yang menawarkan ranium paling murah, kita ambil, walaupun kita sendiri punya cadangannya. Kita menerima mana yang paling ekonomis dan paling menguntungkan,” ujarnya.

Ferhat menambahkan, untuk permulaan pembangkit tersebut akan dikelola pihak asing yang memang sudah memiliki pengalaman dalam pembangunan dan pengelolaan PLTN. Namun, pelan-pelan akan dikelola oleh orang Indonesia.

“Awalnya memang sulit. Karena itu, rencananya untuk membeli PLTN, kita terima beres. Nanti setelah itu kita buat satu per satu. Itu yang namanya technology transfer. Jadi, ketergantungan teknologi ada benarnya, pada awalnya,” katanya.

Seperti di tempat-tempat lain, aktivis lingkungan hidup selalu menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sebab, walaupun tenaga nuklir sangat efisien, tetap saja membahayakan lingkungan dan keselamatan manusia karena mengadung zat radioaktif. Kandungan radioaktif nuklir tidak dapat hilang sampai ratusan tahun. Padahal, zat radioaktif dapat menyebabkan kerusakan genetik manusia, bisa membuat ibu hamil melahirkan anak cacat.

Menurut Dian Abraham, Sekretaris Masyarakat Anti-Nuklir Indonesia (Manusia), pembangkit tenaga nuklir akan menyebabkan ketergantungan energi dalam bentuk lain. Bahan bakar nuklir, uranium, merupakan bahan tambang yang juga tidak dapat diperbarui sebagaimana bahan minyak dan gas.

“Kalau pilih nuklir, kita justru jatuh ke perangkap lain. Kita mau membebaskan diri dari perangkap fosil fuel, termasuk karena climate change. Kita perlu keluar dari energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Tapi kita jangan jatuh ke perangkap lain! Nah, Indonesia lebih terperangkap lagi, karena sumber daya kita akan sangat tergantung pada tenaga asing, termasuk bahan bakunya, uranium,” kata Dian.

Jika pembangkit nuklir mengalami kecelakaan, akibatnya sangat mengerikan. Apalagi sampai saat ini belum ada pembangkit nuklir yang aman seratus persen. Apalagi jika pembangkit itu ditempatkan di daerah rawan bencana, di Jawa Tengah. Padahal, Jawa merupakan pulau padat penduduk dan tanahnya rawan gempa bumi karena berada di wilayah cincin api Pasifik. Karena itu, Nurhidayati, juru kampanye Greenpeace Indonesia, mengingatkan agar pembangunan PLTN Muria dibatalkan saja.

“Reaktor nuklir, PLTN, secara inheren berbahaya. Di mana pun di seluruh dunia, industri nuklir selalui diwarnai oleh kecelakaan, kesalahan teknis, insiden. Itu setiap hari selalu terjadi. Ketika reaktor semacam ini diletakkan dalam kondisi yang berbahaya, yaitu daerah yang rawan bencana, risikonya akan berlipat-lipat, yang akan menimbulkan dampak jangka panjang: radiasi hingga ribuan tahun!” jelas Nurhidayati.

Masalah lain yang mungkin bisa menyebabkan bencana nuklir adalah kesalahan manusiawi para pengelola pembangkit nuklir. Jika ini terjadi, maka bencana mengerikan akan terus menghantui. Menurut doktor bidang nuklir Iwan Kurniawan, orang-orang Indonesia umumnya kurang displin. Padahal, mengelola pembangkit nuklir butuh kedisiplinan yang luar biasa. Dan jika teledor sedikit, maka bencana bisa datang sewaktu-waktu.

“Saya masih khawatir terhadap kemampuan bangsa ini dari segala sisi. Karena banyak sekali yang kita belum siap. Misalnya dari segi disiplin. Kalau PLTN ini dikorupsi, risikonya sangat besar. SDM yang tidak disiplin, kerja dalam PLTN kan tidak sembarangan! Orangnya tidak siap. Lumpur aja (maksudnya lumpur panas di Porong-Red) meledak. Modalnya tergantung dari luar negeri. Yang lebih hebat lagi ini akan menciptakan ketergantungan energi, baik bahan baku maupun teknologi, yang nanti dampaknya ketergantungan secara politis,” kata Iwan Kurniawan.

Pada tahun 1980 sebuah pembangkit nuklir di Chernobyl, Rusia, meletus. Ribuan orang terbunuh, jutaan orang terkena radiasi dan mengalami cacat seumur hidup. Radiasi itu juga menyebabkan para perempuan melahirkan bayi cacat. Limbah radiasi Chernobyl terus merusak lingkungan hidup sampai ratusan tahun. Mengerikan!

Siapa dapat menjamin peristiwa Chernobyl tidak terjadi di tempat lain?

Wartawan Indonesia: Besar di Luar, Kecil di Dalam Perusahaan Sendiri

Seperti dikatakan oleh seorang redaktur perempuan di Medan yang dikutip dalam buku Potret Jurnalis Indonesia—Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota[1], ”Wartawan Indonesia itu besar di luar, tetapi kecil di dalam perusahaan sendiri.”

Pemeo ini bukan hanya berlaku sekarang, tetapi sudah menjadi cermin kehidupan para wartawan atau jurnalis kita sejak puluhan tahun yang lampau. Setidaknya sejak saya baru mulai menjadi wartawan pada tahun 1950-an, para wartawan biasa berkelakar bahwa mereka memiliki dua posisi yang satu-sama-lain jauh berbeda, tetapi antara keduanya hanya dipisahkan oleh satu langkah.

Posisi pertama adalah sebagai “orang penting dan terhormat” ketika sedang naik pesawat terbang kepresidenan untuk meliput acara kenegaraan. Posisi kedua adalah ketika pulang ke rumah yang sederhana dengan berjalan kaki atau naik becak melalui jalan sempit yang becek. (Dulu, jumlah wartawan yang mempunyai sepeda motor masih dapat dihitung dengan jari, apalagi yang memiliki mobil sangat langka).

Sekarang, bayangan saya tentang kehidupan wartawan kita sudah tidak lagi seperti keadaan setengah abad yang lalu. Ada banyak wartawan di Jakarta dan di berbagai ibu kota provinsi yang dapat hidup sejahtera bersama keluarga mereka. Akan tetapi, siapa pun pastilah akan terhenyak ketika mengamati hasil survei Aliansi Jurnalis Independen mengenai keadaan media pers dan kehidupan para wartawannya di 17 kota besar yang hampir seluruhnya ibu kota provinsi.

Wartawan, dan perusahaan pers, pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung. Sejumlah 29,1 persen wartawan yang berpendidikan S1 masih bergaji di bawah Rp 1 juta sebulan, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik, pekerja berpendidikan S1 pada tahun 2003 memperoleh gaji rata-rata Rp 1,48 juta. Tenaga profesional, menurut BPS, rata-rata bergaji Rp 1,1 juta sebulan, sedangkan 34 persen wartawan bergaji di bawah Rp 1 juta.

Yang lebih mengenaskan, masih ada wartawan yang gajinya kurang dari Rp 200.000 sebulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvei. Jauh lebih banyak lagi wartawan yang gajinya kurang dari rata-rata upah minimum setempat, yaitu 11,5 persen. Sedangkan wartawan yang memperoleh gaji kurang dari Rp 1.800.000, suatu jumlah yang tetap tidak akan cukup untuk dapat menghidupi seluruh keluarga secara memadai, berjumlah 64,3 persen dari yang disurvei.

Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvei harus memiliki pekerjaan sampingan—di antaranya, ada yang dapat menimbulkan ”konflik kepentingan (conflict of interest)” dengan profesinya sebagai wartawan. Malahan, 61,3 persen menganggap pemberian ”amplop” (umumnya berupa uang) oleh narasumber atau subjek berita kepada wartawan dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka bersama keluarganya.

Batasan ”amplop” yang dapat diterima dan tidak dapat diterima sungguh ruwet. Contohnya, seperti diutarakan oleh seorang redaktur perempuan di Denpasar dalam survei ini: ”Ada narasumber yang akhirnya menelepon saya.... [Ia mem]protes, sudah memberi Rp 1 juta kok [beritanya yang dimuat] cuma satu kolom. [Wartawan yang menerima ’amplop’ itu] pasti akan saya tindak. [Bila ’amplop’ yang diterima wartawan hanya] ... sampai senilai Rp 200 ribu saya maafkan.... Kecuali[, jika] selepas gajian masih menerima [’amplop’], ya saya tegur.”[3]

Jadi, tidak ada kepastian tentang secara bagaimana ”amplop” boleh diterima oleh wartawan. Dalam pandangannya, ”amplop” dapat diterima bila nilainya hanya ratusan ribu rupiah. Tetapi, boleh juga diterima ”amplop” yang bernilai jutaan rupiah, asalkan diimbali dengan pemuatan berita yang panjang judulnya lebih dari satu kolom. Benarkah? Tidak juga. Sebab, wartawan tetap tidak boleh mengambil ”amplop” dari subjek berita bila baru saja menerima gaji di kantornya.

Mengapa redaktur Denpasar itu, kelihatannya, begitu bingung dalam menentukan kebijakan tentang ”amplop”? Karena, bagaimanapun, kebiasaan menerima ”amplop” memang tetap mengusik hati nurani para wartawan.

Misalnya, ada reporter di Palembang yang agaknya ragu untuk percaya bahwa menerima ”amplop” sebagai imbalan bagi banyak kegiatan jurnalistik sebetulnya melanggar etika pers, walaupun sebagian hanya dianggap sebagai pelanggaran yang ringan. Keraguannya menyebabkan ia merasa perlu berkonsultasi dengan seorang kiai.

”Saya sudah tanya ke kiai, katanya boleh saja [menerima ”amplop”]. Asalkan, apa yang kita lakukan itu tidak ada janji di belakang hari,” kata wartawan Palembang itu. ”Saya tidak munafik. Saya terima amplop. Tapi dengan konteks, tidak ada hubungan dengan pemberitaan dan media tempat saya bekerja. Jika pemberian itu tanpa syarat maka halal. Tapi jika dengan syarat, maka haram.”[4]

Para wartawan yang ingin mencari pembenaran bagi penerimaan ”amplop” tampaknya enggan menggunakan panduan yang sudah ada dari Dewan Pers. Butir ke-8 pernyataan Dewan Pers pada 11 Oktober 2001 tentang ”Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan” menjelaskan: ”Masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai “uang amplop”) kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.... Dengan tidak memberikan “amplop” (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.”

Akan tetapi, pada pokoknya, penerimaan ”amplop” rupanya dipandang sebagai hal yang wajar oleh sebagian besar wartawan yang disurvei oleh AJI. Mereka agaknya tidak menganggap pemberian narasumber atau subjek berita itu sebagai, setidaknya, embrio penyuapan atau penyogokan untuk jangka panjang. Seolah-olah tidak ada kaitan antara kebiasaan menerima ”amplop”, atau ”budaya amplop”, dan kemungkinan kemandekan dalam pengembangan standar jurnalistik profesional.

Memang, tidak semua ”amplop”—dalam bentuk uang ataupun barang dan fasilitas—dapat dikategorikan sebagai suap atau sogok, kecuali jika nilainya sangat besar atau secara rutin menjadi semacam ikatan antara wartawan dan narasumber atau subjek berita. Akan tetapi, ”amplop” bernilai kecil pun, bila dianggap sebagai kewajaran dalam pekerjaan pers, tetap akan mengganggu integritas wartawan dan dapat menghambat kemajuan profesionalisme jurnalistik mereka.

Selama beberapa bulan belakangan saya membaca banyak karya jurnalistik, baik berita lempang (straight news) maupun feature, yang dijumpai pada surat-surat kabar mulai dari Medan, Padang, Jambi, dan Batam sampai ke Pontianak, Kupang, Manokwari, dan Jayapura. Dalam tulisan pers itu saya masih menemukan banyak kelemahan dalam pemenuhan persyaratan karya jurnalistik, seperti akurasi, keberimbangan, fairness, tidak bias, dan tidak diskriminatif. Malahan ada berita yang mengandung tuduhan sangat keras—seperti ”unjuk rasa anarkis yang brutal” atau ”menipu, menyesatkan, memecah belah umat Islam, dan menghancurkan kemurnian Islam”—tanpa diimbangi dengan klarifikasi atau pernyataan dari pihak yang dituduh atau dikecam.

Saya mencoba mencari sebab-musabab kelemahan standar jurnalistik di balik gaya penyajian tulisan pers kita, terutama di surat-surat kabar yang terbit di daerah. Dua di antara sejumlah pengamatan saya tentang penyebab kelemahan ini adalah masalah ”budaya amplop” yang sudah merasuk ke segala penjuru di negeri kita dan rendahnya imbalan bagi wartawan dan koresponden, baik gaji maupun fasilitas kerja. Sejauh itu, berikut adalah beberapa kesimpulan saya mengenai kemungkinan penyebab kelemahan, atau ketidakberimbangan, atau ketidaklengkapan karya jurnalistik dalam pers kita:

1. Penyusun berita kurang memahami permasalahan yang dibahas narasumber karena tidak lebih dulu mempelajari materi latar belakang (background information) seperti dari kliping, arsip, atau pustaka lainnya.

2. Kurang gencar melakukan wawancara dengan sebanyak mungkin narasumber yang relevan.

3. Kurang bernalar kritis dalam mengikuti permasalahan atau pernyataan yang hendak diberitakan sehingga ”kurang berminat” untuk bertanya secara gencar kepada narasumber.

4. Tidak mempunyai cukup waktu, antara lain karena terlalu banyak berita yang harus ia ”kejar”.

5. Hubungannya dengan narasumber terlalu dekat sehingga tidak ada jarak antara wartawan tersebut dan narasumber. ”Hubungan sebagai sahabat” seperti ini dapat mengakibatkan pemberitaan wartawan tersebut tidak objektif dan tidak komprehensif. Hubungan seperti ini dapat diakibatkan antara lain oleh penyediaan ”amplop” secara reguler oleh narasumber.

6. Menganggap narasumber yang berposisi ”kuat” dan ”berpengaruh” secara politis dan sosial ”pasti paling kredibel” dan pandangannya ”pasti benar”. Bila mereka melancarkan tuduhan atau kecaman, pihak yang dituduh atau dikecam dianggap tidak penting untuk dimintai klarifikasi atau reaksinya.

7. Gaji serta fasilitas kerja wartawan dan honorarium koresponden tidak memadai.

*****


* Artikel ini merupakan bahan diskusi pada peluncuran buku Potret Jurnalis Indonesia – Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota, Jakarta, 5 September 2006.

Tuesday, December 12, 2006

Ilmu Ekonomi Sosialis Ilmiah

Satu

Ilmu Ekonomi Sosialis adalah bagian dari Ilmu Ekonomi Politik. Ilmu Ekonomi Politik termasuk dalam ilmu-ilmu pengetahuan masyarakat. Masalah yang dijadikan persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan penting sekali artinya untuk pekerjaan, penyelidikan, mengajar dan belajar secara ilmiah. Penentuan yang benar dari masalah suatu ilmu pengetahuan mempunyai arti menentukan untuk pelaksanaannya yang berdasar atas ilmu pengetahuan itu.

Ilmu pengetahuan mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat. Tiap peristiwa dan gejala yang timbul dalam masyarakat, sebagai produksi, negara, kesenian, hukum, keluarga, dan sebagainya, berfungsi memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dari masyarakat. Juga ilmu pengetahuan sebagai suatu gejala dan peristiwa yang timbul dalam masyarakat mempunyai fungsi tertentu pula untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu dari masyarakat.

Ilmu pengetahuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dengan menyelidiki dan menemukan hukum-hukum alam dan hukum-hukum masyarakat yang objektif, yang tidak tergantung pada kehendak dan kesadaran manusia dan menunjukkan dengan cara bagaimana hukum-hukum yang ditemukan itu dapat dipergunakan oleh manusia untuk memenuhi kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhannya. Demikianlah ilmu pengetahuan itu digunakan oleh manusia sebagai landasan dan dasar guna mengambil tindakan-tindakan sebagai sendi untuk bertindak yang benar.

Dalam menentukan masalah ilmu pengetahuan tidak boleh dilupakan peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala yang diperlukan untuk penentuan itu. Ilmu pengetahuan mempunyai hubungan timbal-balik dengan tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia. Ilmu pengetahuan mencari bahan-bahan penyelidikan dari tindakan-tindakan dan pengalaman-pengalaman manusia atau peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala masyarakat lainnya, membuat dalil-dalil umum dari bahan-bahan yang didapatinya, dan mendapatkan didalamnya hal-hal yang seharusnya berlaku, hal-hal yang merupakan hukum-hukum tertentu. Segala yang disebut ilmu pengetahuan bersendikan pada peristiwa-peristiwa nyata, karena jika tidak demikian, maka akan merupakan suatu spekulasi, suatu khayalan atau merupakan penyingkiran kebenaran secara sadar, dan ini adalah bukan ilmu pengetahuan.



Sebaliknya ilmu pengetahuan diperuntukan bagi kepentingan manusia, digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan-tindakannya dengan benar, secara tidak langsung sebagai penyelidikan-penyelidikan dalam kehidupannya atau langsung sebagai ilmu pengetahuan yang diterapkan (applied science). Jika ilmu pengetahuan tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup manusia, maka ilmu pengetahuan yang demikian itu merupakan pembuangan waktu yang tidak ada gunanya. Demikian maka tidak dapat dipilih dengan sesuka hati masalah suatu ilmu pengetahuan; masalah ilmu pengetahuan itu harus diambil dari kenyataan-kenyataan yang objektif, dari peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi dari dari gejala-gejala yang sungguh ada.



Ilmu Ekonomi Sosialis sebagai bagian dari pada ilmu Ekonomi Politik dan yang termasuk ilmu-ilmu pengetahuan masyarakat dengan sendirinya akan menggunakan bahan-bahan dalam penyelidikannya langsung dari pada kehidupan masyarakat, ialah kehidupan keekonomian dalam masyarakat yang merupakan suatu kenyataan yang objektif. Sebagai suatu ilmu pengetahuan yang meliputi bidang ekonomi, maka ilmu Ekonomi Sosialis mengambil masalah yang dipersoalkannya, hubungan-hubungan manusia dalam kehidupan keekonomian dalam masyarakat sosialis. Tentu saja kehidupan keekonomian masyarakat sosialis yang akan dibangun tidak akan dapat terpisah dari pada kehidupan keekonomian masyarakat yang lampau dan kehidupan masyarakat yang masih berlangsung.



Seorang ahli ekonomi bukan seorang insinyur teknik atau seorang agronom (ahli pertanian). Seorang ahli ekonomi dan ahli dalam ilmu pengetahuan ekonomi mempunyai masalahnya sendiri yang khusus bersifat keekonomian. Persoalan keekonomian, jika hanya dilihat dari segi teknisnya, tetapi segi keekonomiannya ditinggalkan, akan mengakibatkan kerugian-kerugian yang besar dalam pelaksanaannya. Seorang ahli ekonomi yang berpendirian, bahwa ilmu ekonomi itu adalah suatu ilmu pengetahuan masyarakat, akan dengan segera dapat menetapkan, bahwa dalam masyarakat yang terpecah-belah dalam macam-macam golongan, pangkal ilmu ekonomi ditentukan oleh kepentingan golongan yang berkuasa dalam masyarakat itu.



Ahli-ahli ekonomi borjuis mengingkari sifat ilmu ekonomi sebagai suatu ilmu pengetahuan masyarakat, demi untuk golongan kapitalis. Dengan bermacam-macam cara dan alasan yang pseudo-ilmiah (bentuknya ilmiah, tetapi sebenarnya tidak) mereka membelokkan dengan begitu licin penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan mengenai berbagai masalah umpamanya masalah krisis, masalah pengangguran, masalah kemelaratan dan penderitaan Rakyat dan masalah kekayaan kaum kapitalis, masalah perjuangan kaum pekerja dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.



Sebagai contoh kita ambil teori-teori ahli ekonomi borjuis mengenai masalah ”nilai dan harga”. Menurut pendapat mereka ”nilai dan harga barang ditentukan oleh kurangnya atau jarangnya terdapatnya barang itu, jika dibandingkan dengan jumlah keperluan hidup manusia. Keadaan yang demikian ini adalah hukum alam, sehingga manusia tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya”. Tetapi dalam kapitalisme kita semua mengetahui tentang adanya krisis kelebihan produksi, yang membawa akibat turunnya harga barang, sehingga kaum kapitalis segan mengeluarkan barangnya kedalam pasar, karena akan dapat menderita kerugian. Dan ini dikatakan oleh mereka, bahwa mereka ”tidak dapat menjual barangnya”. Dimuka mata Rakyat yang menderita kelaparan dan hidup serba kekurangan kaum kapitalis dengan sengaja memusnahkan sebagian dari pada barang-barangnya, dengan membakarnya atau membuangnya kedalam laut untuk mengurangi jumlah barang yang beredar dalam pasar, sehingga dengan demikian mereka dapat mempertahankan harga yang tinggi. Jadi disini kita melihat, bahwa teori ekonomi borjuis itu tidak segan-segan memutar-balikkan keadaan. Barang-barang yang dapat dengan berlimpah-limpah dimasukkan kedalam peredaran, ditahan atau dibasmi oleh si pemilik kapitalis, dan dikatakan, bahwa barang tidak ada atau sukar didapat. Jadi sebetulnya ”yang kurang atau jarang terdapat” ialah bukan ”barangnya”, melainkan ”pembelinya”, karena si pembeli tidak dapat membayar harga yang tinggi yang dipertahankan oleh kaum kapitalis. Dan inilah oleh kaum ahli ekonomi borjuis dikatakan suatu hukum alam, tetapi yang sebetulnya adalah suatu perbuatan jahat kaum kapitalis untuk mempertahankan harga yang tinggi, sehingga dengan demikian tetap dapat memasukkan keuntungan sebanyak-banyaknya ke dalam sakunya.



Lain lagi teori yang diajarkan oleh Malthus. Ahli ekonomi ini mengajarkan, bahwa kesengsaraan manusia disebabkan karena bertambahnya jumlah kelahiran manusia yang tidak sebanding dengan bertambahnya jumlah alat-alat dan barang-barang untuk memenuhi keperluan hidupnya. Dengan demikian timbullah ketidak-imbangan antara jumlah manusia dengan jumlah barang-barang pemuas keperluan hidupnya. Untuk menghindari ketidakseimbangan ini akan timbul peristiwa-peristiwa diluar kekuasaan manusia, sebagai timbulnya peperangan, bencana-bencana alam, penyakit menular, bertambahnya kejahatan-kejahatan dan yang dapat dilakukan oleh manusia ialah dengan mengadakan ”moral restraint”, artinya tidak akan kawin selama belum kuasa memelihara keluarga serta mengadakan pembatasan kelahiran.



Demikian Malthus sebagai ahli-ahli ekonomi borjuis lainnya membela dan membenarkan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh kaum imperialis dengan menimbulkan peperangan dimana-mana, tetapi yang sebetulnya adalah merupakan suatu cara untuk melebarkan dan memperluas pasar dan tempat menjual barang-barangnya dan untuk mendapatkan sumber bahan mentah yang murah bagi perusahaan perindustriannya.



Dua


Ahli-ahli ekonomi borjuis lainnya mencoba mengelabui mata dunia dengan bermacam-macam hukum alam, dengan formula ilmu pasti dan teori-teori ilmu jiwa dan mencoba menjauhkan rakyat yang tertindas dari pada perjuangan kerakyatannya. Dengan menepuk dada mereka mengatakan:



”Apakah yang dapat diperbuat terhadap hukum alam yang abadi, terhadap ilmu pasti dan kehidupan kebatinan yang tidak dapat diubah, kecuali menyerahkan diri yang mentah-mentah terhadapnya dan menerima apa adanya? Selamanya keadaan itu akan tetap, tidak akan berubah dan tidak dapat diubah”. Demikian teori-teori-teori yang disebarkan oleh ahli-ahli ekonomi borjuis sebagai suatu ”dogma” kepada rakyat.



Demikian ”ilmu” yang mereka sebarkan itu bukan merupakan suatu pengungkapan dari pada kebenaran, melainkan adalah suatu apologetic, suatu penyembunyian daripada pembenaran. Maka dari itu hanya ilmu pengetahuan sosialislah sebagai suatu ilmu pengetahuan yang timbul dari ilmu pengetahuan golongan yang tertindas yang dapat dengan jelas, tegas dan nyata menentukan, bahwa ilmu Ekonomi Politik itu adalah ilmu masyarakat dan kemudian membangun masyarakat sosialis, dengan mengambil masalah pokoknya ”hubungan masyarakat dalam produksi”.



Dari hubungan produksi ini, ilmu Ekonomi Politik menyelidiki hukum-hukum produksi dan hukum-hukum pembagian benda-benda materil pada macam-macam tingkat perkembangan masyarakat. Produksi dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan benda-benda yang digunakannya untuk memenuhi keperluan hidupnya. Benda-benda itu merupakan makanan, pakaian, perumahan dan benda-benda matril lainnya. Untuk melangsungkan produksi, manusia harus bekerja. Bagaimana sederhananya pun pekerjaan yang harus dilakukan tidaklah menjadi soal, tetapi bekerja haruslah ia. Tanpa bekerja ia tidak akan mendapatkan apa-apa, ia akan musnah dari dunia. Maka dari itu, bekerja adalah suatu keharusan alam, suatu syarat mutlak bagi manusia untuk dapat melaksanakan hidupnya. Tanpa bekerja kehidupan manusia itu sendiri tidak akan mungkin.



Pekerjaan yang dilangsungkan manusia untuk melangsungkan adanya produksi ialah perjuangan menghadapi alam, tidak dengan cara seorang demi seorang, tetapi bersama-sama dengan manusia lainnya, dalam rombongan-rombongan, dalam masyarakat-masyarakat. Demikian sifat produksi itu senantiasa dalam segala keadaan mengandung sifat kemasyarakatan dan kerja itu adalah kegiatan manusia dalam masyarakat.



Proses produksi mengandung tiga faktor: tenaga manusia, sasaran kerja dan alat kerja. Yang disebut tenaga kerja ialah tenaga manusia, jasmaniah dan rohaniah dalam keseluruhannya, yang memberi kemampuan kepadanya untuk bekerja. Kerja adalah kegiatan manusia yang ditujukan untuk merubah dan menyesuaikan segala bahan-bahan yang ada menjadi benda-benda yang dapat dipergunakan untuk keperluan hidupnya. Kerja adalah penggunaan dan sekaligus pengeluaran dan pemakaian tenaga kerja. Tenaga kerja ada pada setiap manusia yang sehat, dalam tenaga otot dan urat syarafnya, dengan segala kemampuannya, pengetahuannya dan kesediaannya yang berkembang padanya pada waktu ia dibesarkan pada masyarakatnya itu. Dengan demikian tenaga manusia itu meliputi bermacam-macam kemampuan dan kesediaan.



Sasaran kerja ialah material yang dengan langsung dikerjakan oleh manusia dan pada pekerjaannya, diubahnya, diberinya bentuk, dicampur-campurkannya, dipisah-pisahkannya dan sebagainya, dan yang kemudian dalam hasil akhirnya digunakannya dalam bentuk diseluruhnya atau sebagian telah diubah. Sasaran kerja dapat berbentuk: (1) Alam sendirinya, umpamanya pertambangan atau pertanian, perburuan, perikanan dan sebagainya, (2) Bahan mentah, ialah bahan-bahan, material yang telah dipisahkan dalam hubungannya dengan alam, tetapi masih dalam keadaan sebagaimana yang di dapat dari alam, umpamanya biji-bijian, batu bara, batu-batu, kulit-kulit hewan mentah, batang-batang kayu dan sebagainya, (3) Barang-barang setengah jadi, ialah material yang telah mengalami pengolahan dan merupakan bahan-bahan untuk dikerjakan menjadi barang pakai, umpamanya bahan-bahan bangunan sebagai rangka baja, besi beton, benang kapas untuk di tenun, kawat-kawat, sekrup-sekrup dan sebagainya.



Alat kerja adalah semua benda yang digunakan untuk mengolah dan merubah sasaran kerja guna dijadikan barang pakai umpamanya perkakas kerja, mesin-mesin, alat-alat pembangkit tenaga listrik, bahan-bahan pembantu, gedung-gedung, meja-meja, kursi-kursi dan sebagainya. Alat kerja adalah alat untuk memperpanjang lengan manusia dalam produksi, memperkuat tenaga tinjunya, menaikkan kehalusan rasa jari-jarinya, mempertajam penglihatan dan pendengarannya. Di antara semua alat-alat, yang terpenting ialah perkakas yang tidak terkira jenis dan jumlahnya yang digunakan manusia dalam perkerjaannya, di mulai dengan perkakas yang dibuat dari pada batu yang kasar yang digunakan oleh manusia-manusia purba hingga mesin yang terbaru. Tingkat perkembangan perkakas produksi ini adalah ukuran derajat perkembangan produksi. Masa-masa dalam perekonomian tidak dibeda-bedakan dengan ”apa yang dihasilkan”, tetapi dengan ”perkakas produksi apa yang digunakan dalam produksi”.



Sasaran kerja dalam alat kerja merupakan alat-alat produksi. Alat-alat produksi itu sendiri jika tidak disatukan dengan tenaga kerja, akan berupa tumpukan benda mati. Maka dari itu untuk dapat di mulai suatu proses kerja, harus dipersatukan tenaga kerja dengan alat-alat produksi. Dan kerja yang telah dipersatukan dengan alat-alat produksi. Dan kerja yang telah dipersatukan dengan alat-alat produksi menjadi kerja produktif.



Perkakas-perkakas produksi yang digunakan untuk menghasilkan benda-benda materil, manusia-manusia yang menggerakan perkakas-perkakas itu dan produksi benda-benda materil yang berjalan karena pengalaman-pengalaman dan kesediaan manusia dalam produksi, merupakan tenaga produktif manusia. Perkembangan unsur-unsur tenaga produktif –perkakas-perkakas produksi dan manusia dengan segala kemampuan dan pengetahuannya– tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.



Perkakas-perkakas produksi itu tidak berkembang dengan sendirinya, tanpa manusia atau tidak lepas dari manusia; tetapi perkembangannya dan perbaikannya dilakukan oleh manusia ialah manusia yang bekerja dalam produksi atau yang pekerjaannya berhubungan dengan produksi. Semua perubahan dan perbaikan perkakas-perkakas produksi berdasarkan pengalaman baru yang didapat dalam waktu manusia berhubungan dengan produksi, dan dalam menggunakan perkakas-perkakas produksi baru itu ia mengembangkan pula kesediaan dan kemampuannya dalam bekerja serta pengalaman-pengalaman baru dalam produksi.



Dari semula produksi itu adalah produksi yang mengandung sifat-sifat kemasyarakatan, artinya produksi benda-benda keperluan hidup itu dilakukan atas dasar kerjasama manusia dengan sesamanya dalam suatu masyarakat, masyarakat besar ataupun masyarakat kecil. Jadi dalam melakukan produksi, dari semula dalam tingkat perkembangannya, manusia itu senantiasa melakukan kerja sama dengan sesamanya dengan cara tertentu dan dengan cara tertentu pula.



Hubungan manusia dalam produksi dengan sesamanya dibedakan menurut sifat-sifatnya yang asasi, ialah: 1. hubungan kerjasama tolong-menolong (gotong-royong) sebagaimana berlaku dalam masyarakat purba sebelum ada perpecah-belahan masyarakat dalam golongan-golongan dan kelas-kelas dan sebagaimana yang menjadi sifat khas masyarakat sosialis, dan 2. hubungan yang didalamnya mengandung pemerasan, penghisapan dan penindasan atas manusia oleh manusia sebagaimana terdapat dalam manusia perbudakan, masyarakat feodal dan masyarakat kapitalis. Hubungan manusia dengan sesamanya dalam produksi yang bersifat timbal balik itu disebut hubungan produksi.



Berhubung dengan adanya perbedaan dalam hubungan produksi, maka dapat ditegaskan disini, bahwa sifat hubungan produksi itu tergantung pada keadaan ”ditangan siapakah milik alat-alat produksi itu berada” (tanah, hutan, perairan, kekayaan bumi, bahan-bahan mentah, perkakas produksi, gedung-gedung perusahaan, alat-alat perhubungan alat-alat pemberitaan dsb), dalam milik perseorangankah, golongan-golongan sosialkah, yang menggunakannya sebagai alat pemeras terhadap kaum pekerja, atau dalam milik masyarakatkah yang menggunakan alat-alat produksi itu untuk memenuhi keperluan hidup seluruh masyarakat, materil dan kulturil, tanpa mengadakan pemerasan dan penghisapan dalam bentuk apapun terhadap kaum pekerja. Hubungan-hubungan produksi yang sedang berlangsung menunjukan, bagaimana alat-alat produksi dan demikian pula benda-benda materil yang dihasilkan dibagi diantara anggota-anggota masyarakat. Dengan ini dapatlah diambil kesimpulan, bahwa bentuk dasar hubungan produksi itu ialah bentuk milik atas alat-alat produksi.



Tenaga-tenaga produktif masyarakat dan hubungan-hubungan produksi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, kedua-duanya merupakan suatu kesatuan yang disebut cara produksi. Meskipun suatu kesatuan, suatu keseluruhan daripada suatu cara produksi dan hubungan antara kedua-duanya tetap pengaruh-mempengaruhi, tetapi dalam produksi masing-masing mencerminkan hubungan yang berlainan: ”Tenaga produktif mencerminkan hubungan manusia dengan alam, dan hubungan produksi mencerminkan hubungan manusia dengan manusia dalam proses produksi”.



Produksi mempunyai segi teknik dan segi kemasyarakatan. Dalam segi tekniknya produksi menjadi serapan penyelidikan ilmu-ilmu teknik dan ilmu-ilmu alam: ilmu-ilmu fisika, kimia, metallurgi, ilmu mesin, ilmu pertanian, dan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu Ekonomi Politik sebaliknya menyelidiki segi kemasyarakatan daripada produksi, ialah hubungan-hubungan produksi, artinya hubungan-hubungan keekonomian antara manusia.



Tenaga-tenaga produktif dalam produksi adalah unsur-unsur yang terbanyak geraknya dan terrevosioner sifatnya. Perkembangan produksi mulai dengan perubahan-perubahan dalam tenaga-tenaga produktif, terutama dengan perubahan-perubahan dan perkembangan perkakas-produksi. Baru sesudah itu mengikuti perubahan-perubahan yang sesuai dalam bidang hubungan-hubungan produksi. Hubungan-hubungan produksi yang perkembangannya tergantung pada perkembangan tenaga-tenaga produktif sebaliknya berpengaruh aktif atas tenaga-tenaga produktif.



Tenaga-tenaga produktif masyarakat hanya dapat berkembang dengan bebas. Jika hubungan-hubungan produksi sesuai dengan tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif. Pada suatu tingkat perkembangannya, bagi tenaga-tenaga produktif hubungan-hubungan produksi yang berlangsung menjadi sangat sempit, dan terlibatlah tenaga-tenaga produktif itu dalam pertentangan dengan hubungan-hubungan produksi. Karena itu pada suatu saat hubungan-hubungan produksi yang lama akan diganti dengan hubungan-hubungan produksi yang baru yang sesuai dengan sifat dan tingkat perkembangan yang telah dicapai oleh tenaga-tenaga produktif masyarakat. Syarat-syarat materil untuk penggantian hubungan-hubungan produksi yang lama dengan yang baru telah terjadi dan berkembang dalam bentuk hubungan-hubungan produksi yang baru. Hubungan-hubungan produksi yang baru membuka jalan untuk perkembangan tenaga-tenaga produktif.



Dengan demikian dapatlah diambil kesimpulan, bahwa hukum persesuaian mutlak hubungan-hubungan produksi dengan sifat tenaga-tenaga produktif adalah hukum perkembangan keekonomian masyarakat. Dalam suatu masyarakat yang berdasarkan atas milik pribadi atas alat-alat produksi dan atas pemerasan manusia oleh manusia, pertentangan antara tenaga-tenaga produktif dan hubungan produksi ini timbul dalam bentuk perjuangan kelas. Dengan syarat-syarat ini pergantiaan cara produksi yang lama dengan yang baru akan terjadi dengan jalan timbulnya revolusi sosial.



Dalam membicarakan tentang hubungan-hubungan produksi, maka bidang produksi tidak boleh diberi pengertian yang sempit. Sesudah dilakukan produksi, dalam arti penghasilan barang-barang materil dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, maka dilangsungkan pembagian hasil kepada anggota-anggota masyarakat, dan sesudah pembagian hasil dilakukan pemakaian hasil atau konsumsi. Jadi bidang produksi kehidupan materil masyarakat meliputi semua unsur proses reproduksi masyarakat ialah produksi dalam arti sempit, pembagian hasil (distribusi) dan pertukaran barang, dan pemakaian yang dapat bersifat konsumsi perseorangan atau konsumsi produktif.



Bagian-bagian yang bermacam-macam jenisnya sebagai tersebut diatas merupakan suatu kesatuan, suatu keseluruhan, bagian-bagian yang rapat hubungannya satu sama lain, yang tergantung satu pada yang lain, tetapi yang menjadi pangkal segala gerak adalah senantiasa bidang produksi.



Jelaslah lagi disini untuk mengambil kesimpulan, bahwa Ilmu Ekonomi Politik itu tidak hanya mempersoalkan dalam arti sempit, tetapi mempersoalkan segala segi proses produksi seluruhnya yang merupakan suatu kesatuan: jadi yang dijadikan masalah ialah hubungan-hubungan keekonomian tentang produksi, distribusi, sirkulasi dan konsumsi, yang dalam keseluruhannya termasuk hubungan-hubungan produksi, atau dengan singkat: Ilmu Ekonomi Politik mempersoalkan bentuk-bentuk kemasyarakatan daripada produksi dan pembagian bentuk-bentuk kemasyarakatan, pembagian hasil tergantung pada bentuk-bentuk produksi langsung, jadi akhirnya tergantung pada bentuk-bentuk milik atas alat-alat produksi yang bersifat primer, dengan perkataan lain: hubungan-hubungan produksi menentukan juga hubungan-hubungan pembagian hasil.



Tiga



Pembagian adalah mata rantai antara produksi dan konsumsi. Sebagai telah disebutkan diatas konsumsi dapat bersifat perseorangan dan dapat bersifat produktif. Konsumsi perseorangan ialah pemakaian langsung daripada barang-barang untuk memenuhi keperluan hidup, umpama: makanan, pakaian, perumahan dan sebagainya. Konsumsi produktif berarti pemakaian alat-alat produksi untuk menghasilkan benda-benda materil. Pembagian benda-benda untuk konsumsi perseorangan tergantung pada pembagian alat-alat produksi. Jika dalam suatu masyarakat alat-alat produksi berada dalam tangan kaum kapitalis, maka hasil kerja juga menjadi milik kaum kapitalis. Kaum pekerjanya yang tidak ikut memiliki alat-alat produksi, untuk tidak mati kelaparan, terpaksa bekerja kepada kaum kapitalis yang memiliki hasil kerja kaum pekerja. Dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi menjadi milik masyarakat.



Untuk para ekonomi penting sekali dan besar sekali artinya mempelajari dan mengerti dengan sedalam-dalamnya hubungan antara produksi dengan pembagian hasil. Untuk dapat mengerti suatu susunan masyarakat tertentu, pangkal yang harus diambil adalah hubungan-hubungan dalam produksi, bukan hubungan-hubungan dalam pembagian atau bentuk-bentuk pertukaran.



Banyak ajaran-ajaran ekonomis bojuis mencoba mengembalikan kejahatan-kejahatan dan kesalahan-kesalahan cara produksi kapitalis kepada kekurangan-kekurangan dalam cara pembagian dan tidak kepada cara produksi. Tersebar luas paham kapitalis yang menyatakan, bahwa cara produksi itu senantiasa dan dalam segala masa tetap sama dan bersendikan hukum-hukum abadi dan sifat manusia. Hanya cara-cara pembagian yang berubah menurut jaman.

Semua ajaran-ajaran yang demikian ini tidak lain ialah untuk membawa Rakyat ke jalan yang tidak benar dan untuk membela dan membenarkan sistem perekonomian kapitalis. Ilmu ekonomi sosialis mengungkap sebab yang pokok dari gejala-gejala yang timbul untuk bidang sirkulasi, bidang distribusi, umpamanya: krisis dalam penjualan barang, kekurangan daya beli kaum pekerja dan lain-lain, daripada bentuk-bentuk milik atas alat-alat produksi yang berlaku. Daripada ini dapat diambil kesimpulan, bahwa perubahan masyarakat, penghapusan cara produksi kapitalis dan pembangunan sosialisme harus langsung berpangkal pada produksi dan tidak dapat bertitik tolak pada cara pembagian.



Pemimpin-pemimpin kaum Revisionis dan kaum Sosial-Demokrat-Kanan senantiasa mencoba mengelabuhi kaum pekerja dengan mengatakan, bahwa perubahan cara pembagian dalam kapitalisme dan tindakan-tindakan yang diambil oleh Negara (tentunya Negara kapitalis) dalam bidang pertukaran, akan dapat mengganti pengambilalihan alat-alat produksi oleh kaum pekerja. ”pembagian yang adil” untuk tiap anggota masyarakat akan membawa masyarakat kepada sosialisme. Semboyan inilah yang didengung-dengungkan oleh mereka. Tetapi ”pembagian yang adil” tidak mungkin dapat dijalankan, jika cara produksinya masih bersifat kapitalis, sedangkan kaum pekerja masih menjual tenagakerjanya kepada kaum kapitalis.



Tetapi harus diketahui pula, bahwa pembagian itu tidak hanya bersifaf pasif dalam perekonomian Rakyat. Meskipun cara pembagian itu dalam hukum-hukum dan bentuknya sama sekali bergantung pada hubungan-hubungan produksi, tetapi pembagian itu sendiri mempunyai pengaruh aktif atas produksi. Arti dari pada pembagian tidak boleh diperkecil. Dalam membangun masyarakat sosialis perlu diadakan penyelesaian yang benar dalam masalah pembagian, terutama untuk persoalan-persoalan pokok mengenai pembagian pendapatan masyarakat atas akumulasi dan konsumsi. Pelaksanaan pembagian dana-benda konsumsi menurut jasa-kerja merupakan suatu pendorong terpenting bagi naiknya produktifitas-kerja. Maka dari itu penting pula mempelajari hukum-hukum keekonomian dan persoalan tentang pembagian.



Ilmu Ekonomi Politik adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat gejala-gejala keekonomian, menyelidiki dengan mendalam hingga inti gejala-gejala keekonomian itu, ialah gejala-gejala yang tidak terkira jumlah dan jenisnya dan yang mempunyai bentuk-bentuk khusus serta mengandung proses-proses teratur didalamnya. Sebagai semua, gejala-gejala kehidupan, juga dalam perkembangan hubungan-hubungan produksi terdapat hukum-hukum tertentu. Sebagaimana perkembangan alam, juga perkembangan masyarakat manusia bukan suatu gejala yang kebetulan, tetapi semua berjalan dengan ketentuan menurut hukumnya. Hukum-hukum keekonomian merupakan hubungan hakiki yang objektif, tidak tergantung pada kehendak manusia dan yang terkandung dalam hubungan-hubungan produksi. Dari itu dapatlah dipastikan bahwa Ilmu Ekonomi Politik itu adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hukum-hukum produksi masyarakat atau hukum-hukum keekonomian. Sebagai ilmu pengetahuan masyarakat maka Ilmu Ekonomi Politik itu juga mempunyai bahan-bahan penyelidikan yang objektif sebagai ilmu-ilmu alam.



Dalam Universitas-universitas borjuis biasanya diajarkan pembagian ilmu pengetahuan dalam ilmu pengetahuan eksakta (ilmu alam dan pasti) dan ilmu kerohanian. Pembagian yang demikian ini tidak mengenal dipersoalkannya gejala-gejala masyarakat dalam keseluruhannya dan dalam hubungannya satu sama lain dan sebagai gantinya yang dipersoalkan ialah merupakan spekulasi yang timbul dari pada sistem filsafat dan konstruksi masyarakat yang abstrak. Tentu saja pembedaan yang khayal dan mistik ini tidak benar. Pembagian ilmu pengetahuan yang benar ialah pembagian dalam ilmu alam dan ilmu pengetahuan masyarakat. Dan kedua-duanya adalah ilmu pengetahuan eksakta, kedua-duanya menyelidiki hubungan-hubungan dan hukum-hukum perkembangan yang objektif dalam alam dan dalam masyarakat dan kedua-duanya mencerminkan hukum-hukum ilmu pengetahuan. Dialektika alam dan masyarakat adalah gejala umum sebagai hasil yang didapat daripada ilmu-ilmu alam maupun ilmu masyarakat dan maka dari itu merupakan dasar-ilmiah-bersama.



Empat



Masalah ilmu Ekonomi Politik sebagai dikatakan diatas adalah hubungan-hubungan produksi dan hukum-hukum keekonomian yang bekerja didalamnya dan bukan bentuk keekonomian yang tampak dengan sifat khususnya, historis ataupun nasional. Maka dari itu tidak dapat ada suatu ilmu ekonomi politik suatu negeri. Tidak ada ilmu Ekonomi Politik Uni Soviet, tidak ada ilmu Ekonomi Politik Republik Rakyat Tiongkok, tidak ada ilmu Ekonomi Politik Indonesia, tetapi yang ada adalah ilmu Ekonomi Politik Sosialisme. Karena hakekat gejala-gejala keekonomian, hukum-hukum keekonomian, dimana saja dalam hubungan-hubungan ekonomi sosialis, pada milik sosialis atas alat-alat produksi, adalah sama. Dan demikian pula halnya dengan ilmu ekonomi politik kapitalisme.



Tetapi bentuk-betuk konkrit, daripada hubungan-hubungan produksi yang menjadi dasar-dasarnya, bentuknya tertentu, tempat berlangsungnya hukum-hukum keekonomian atau yang sadar digunakan dalam sosialisme, banyak jumlahnya dan bermacam-macam jenisnya. Semua ini ditentukan oleh perkembangan historis suatu negeri, oleh kekhususan nasional, oleh situasi internasional yang berlaku dan lain-lain faktor-faktor ekonomi dan politik. Maka dari itu dalam mempelajari ilmu ekonomi politik perlu sekali dapat membeda-bedakan antara hukum-hukum ilmu keekonomian itu sendiri dan bentuknya yang tampak, bekerjanya pada waktu itu atau bentuk penggunaannya.



Telah dikatakan, bahwa sifat hukum-hukum keekonomian itu objektif, artinya hukum-hukum ilmu keekonomian itu tidak dapat dirubah oleh manusia. Hukum-hukum keekonomian itu ada selama hubungan-hubungan produksi, hubungan-hubungan keekonomian yang menimbulkannya itu ada, dan hukum-hukum itu akan lenyap, jika hubungan-hubungan produksi yang menimbulkan itu tidak ada pula. Maka dari itu hukum-hukum keekonomian tidak dapat dihapuskan, atau dirubah dan sama sekali tidak dapat dibuat yang baru. Hukum-hukum ekonomi yang baru timbul dengan adanya hubungan-hubungan produksi yang baru.



Untuk mendapatkan hasil dalam pekerjaan, maka hukum-hukum ekonomi yang kerjanya objektif itu harus dikenal, diperhatikan dan digunakan sebaik-baiknya. Sebagaimana hukum-hukum alam digunakan untuk menghasilkan sesuatu, maka demikian pula hukum-hukum masyarakat, hukum-hukum keekonomian, dengan sadar dapat digunakan dan dipakai untuk kepentingan manusia. Tetapi ada golongan-golongan yang dengan menepuk dada mengajukan dirinya sebagai golongan yang radikal dan menyatakan, bahwa ”semua tergantung pada Negara, apa yang harus diperbuat dan apa yang harus tidak diperbuat”. Toh negara yang memegang kekuasaan. Negara dapat berbuat semua, Negara hanya harus berkehendak, Negara tidak usah menghiraukan hukum-hukum keekonomian yang objektif, atau Negara dapat merubah hukum-hukum itu, merubah dengan sekehendaknya, segalanya tergantung kepada kehendak Negara.



Pendapat demikian adalah khayal, dan golongan yang berpendapat demikian disebut kaum Voluntaris, sedang pahamnya disebut voluntarisme. Voluntarisme sama sekali mengingkari hukum-hukum objektif, maka dari itu bertentangan dengan dan merugikan sosialisme.



Hukum-hukum dalam ilmu ekonomi politik jangan dicampur-adukan dengan hukum yuridis, yang dibuat oleh manusia, dan yang diundangkan oleh pemerintah-pemerintah. Hukum-hukum keekonomian tidak dibuat oleh manusia, timbulnya dalam-dalam hubungan-hubungan yang objektif, tidak tergantung pada kehendak dan kesadaran manusia. Tetapi hukum-hukum yuridis dengan penuh kesadaran dan kehendak golongan yang berkuasa diundangkan oleh Negara, dibuat oleh manusia, dan dapat dirubah serta dihapuskan oleh manusia.



Untuk menghapuskan hukum-hukum keekonomian yang ada, harus dirubah syarat-syarat dan hubungan keekonomiannya yang menimbulkan hukum-hukum itu. Hanya dengan cara menghapuskan cara produksi kapitalis, dapat dihapuskan bekerjanya hukum pemerasan kapitalis, hukum penyengsaraan kaum pekerja, hukum-hukum krisis kapitalis. Pendirian yang demikian ini disebut fatalisme (kepercayaan pasif akan nasib yang tak dapat dielakan), dan pendewaan hukum ini tidak ada hubungannya dengan ilmu Ekonomi Politik Sosialis. Ini adalah cara berfikir kaum borjuis kecil, yang tidak mengerti daya-cipta manusia, tidak mengerti peranan aktif massa-rakyat dalam sejarah, tidak mengerti, bahwa manusia itu sendiri pendukung dan membentuk sejarah, bukan obyek-obyek yang tak berkehendak, tetapi subyek-subyek yang bertindak aktif dan sadar. Kedua-duanya pendapat dan faham, voluntarisme dan pendewaan hukum, yang pertama mengingkari adanya hukum-hukum keekonomian dan yang lainnya mengatakan, bahwa manusia tidak kuasa menghadapi kekuasaan hukum-hukum keekonomian, adalah gejala-gejala idealisme borjuis yang bertentangan dan asing bagi sosialisme. Voluntarisme dan pendewaan hukum hanya menjalani kepentingan kaum kapitalis.



Dimuka telah dikatakan, bahwa sosialisme dalam penyidikannya menggunakan dialektika, yang menggunakan dasar dan bahan-bahannya dari pada alam dan masyarakat, suatu cara penyelidikan ilmiah yang pertama kali digunakan oleh Karl Marx yang disebut metode materialisme dialektik. Ilmu Ekonomi Sosialis sebagai cabang dari pada ilmu pengetahuan sosialis dengan sendirinya menggunakan materialisme dialektik sebagai metode penyelidikannya. Untuk membedakan dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam sebagai fisika dan ilmu kimia dan sebagainya, ilmu Ekonomi Politik pada umumnya tidak dapat menggunakan eksperiman-eksperimen, percobaan-percobaan dalam melakukan penyelidikannya terhadap struktur keekonomian masyarakat, tidak dapat melakukan penyelidikan-penyelidikannya dalam laboratorium-laboratorium dengan menggunakan syarat-syarat buatan dan syarat-syarat yang akan menutup gejala-gejala yang akan mengganggu jalannya proses penyelidikan dalam bentuk semurni-murninya.



Tiap susunan masyarakat keekonomian mengandung banyak pertentangan dan kerumitan: didalamnya terdapat unsur-unsur yang merupakan sisa-sisa dari pada susunan masyarakat yang lampau dan terdapat pula benih-benih susunan masyarakat yang berkembang, didalamnya teranyam bermacam-macam bentuk perekonomian. Dengan itu maka tugas penyelidikan dalam Ilmu Ekonomi Politik ialah mengungkap garis-garis besar, ciri-ciri dasar keekonomian yang tersendiri dalam gejala-gejala yang tampak dan dengan cara analisa teoritis menyelidiki proses-proses yang berlangsung di dalamnya, yang mengandung hakekat hubungan-hubungan produksi yang berlaku waktu itu.



Metode sosialis ilmiah melukiskan perkembangan kategori-kategori keekonomian sebagai hasil analisanya: kategori-kategori ekonomi ialah pengertian-pengertian yang merupakan penjelmaan teoritis hubungan-hubungan produksi dalam suatu susunan masyarakat, umpama barang, uang, modal dan sebagainya.- dari yang sederhana hingga yang terumit, sesuai dengan perkembangan masyarakat dari tingkat rendah ketingkat yang lebih tinggi. Pada metode penyelidikan kategori-kategori ini penyelidikan secara logis digabungkan dengan analisa sejarah perkembangan masyarakat.



Jenis Ilmu Ekonomi Politik ada bermacam-macam, tergantung dari kepentingan golongan masyarakat mana yang diwakili oleh ahli-ahlinya. Tidak ada Ilmu Ekonomi Sosial Politik yang berlaku bagi semua golongan, suatu jenis Ilmu Ekonomi Sosial Politik hanya berlaku bagi suatu golongan masyarakat. Demikianlah ada beberapa jenis Ilmu Sosial politik: 1. Ilmu Ekonomi Politik Borjuis untuk kepentingan golongan kapitalis, 2. Ilmu Ekonomi Politik Sosialis untuk kepentingan Rakyat pekerja tertindas, dan 3. Ilmu Ekonomi Politik borjuis kecil untuk kepentingan golongan yang tempatnya diantara golongan kaum borjuis dan golongan rakyat pekerja tertindas.



Jadi adalah sama sekali tidak benar jika ada ahli-ahli ekonomi yang mengatakan, bahwa Ilmu Ekonomi Politik itu sebagai suatu ilmu pengetahuan seharusnya bersifat netral, tidak memihak dan bahwa Ilmu Ekonomi Politik itu tidak boleh terpengaruh oleh perjuangan dan pertentangan antara golongan-golongan masyarakat yang berhadapan satu sama lain dan seharusnya tidak boleh berhubungan dengan dan lepas sama sekali dari salah satu golongan politik yang ada dalam masyarakat.



Mungkinkah adanya suatu Ilmu Ekonomi Politik yang obyektif, tanpa purbasangka yang berdasarkan kebenaran? Tentu mungkin, dan Ilmu Ekonomi Politik yang obyektif yang demikian ini adalah hanya Ilmu Ekonomi Politik golongan yang tidak berkepentingan menyelubungi kepentingan kapitalisme dan meyembunyikan kejahatan-kejahatannya, yang tidak berkepentingan mempertahankan susunan masyarakat kapitalis, tetapi berkepentingan yang segaris dengan kepentingan pembebasan masyarakat dari pada pembudakan kapitalisme, yang kepentingannya sejalan dengan kepentingan perkembangan masyarakat yang progresif. Golongan ini adalah Rakyat pekerja tertindas. Maka dari itu yang dapat di sebut Ilmu Ekonomi Politik yang obyektif dan tidak mementingkan diri ialah hanya Ilmu Ekonomi Politik yang bersendikan pada Rakyat pekerja tertindas. Ilmu Ekonomi Politik yang demikian ini adalah Ilmu Ekonomi Politik Sosialis Ilmiah.