Tuesday, November 28, 2006

Luangkanlah Sedikit Waktu...

'Kesibukan' kita dalam tugas masing-masing telah menyita sebahagian besar waktu kita. Mungkin kurang dari seperlima bagian dari waktu kita dalam sehari untuk mengistirahatkan tubuh dan pikiran yang penat ini. Ini bisa jadi telah berlangsung selama puluhan tahun, sejak kita mulai beranjak dewasa. Sebagian besar umur ini telah kita lewati dalam 'kesibukan'.

'Angan-angan dan cita-cita' kita yang sedemikian tinggi dan muluknya, telah sedemikian 'memperbudak' kita dalam berbagai kiat beserta aktivitas ikutannya. Setiap pencapaian atau keberhasilan, menarik kita lebih dalam dan dalam lagi pada perbudakannya. Bahkan tak jarang, sebagian dari kita, telah menetapkan suatu komitmen untuk memperjuangkannya hingga akhir hayat. Kita telah terlanjur memandangnya sebagai 'sesuatu yang luhur', oleh karenanya layak untuk diperjuangkan dan diabdi sedemikian rupa.

Pernahkah Anda menyisihkan waktu barang sejenak, hanya untuk merenungkan:
"Apakah yang menurut kita 'sesuatu yang luhur' itu?". Tampakan kasat seringkali
mengecoh kita, pikiranpun tak segan-segan memanipulasinya lagi menjadi semakin tak terdeteksi oleh akal-budi. Ia menciptakan ke-maya-annya sendiri; dengan cara yang sama ia mengelabui kita dan mengemasnya lewat tipu-dayanya. Melalui bujuk rayu sajian kenikmatan indriya dan rasa senang dan kebahagiaan 'temporer', ia telah menyulap sensasi yang dibangkitkan sehingga membangkitkan kegandrungan kita untuk melekatinya. Ia bukanlah 'sesuatu yang luhur', ia tak lebih dari tipuan Maya, yang pada akhirnya menjadikan kita lekat dan semakin menjeratkan pada derita.

Sifatnya yang temporer, tiada ajeg dan senantiasa berubah akan dengan nyata terungkap bila kita amati dengan seksama. Semuanya hanya datang, singgah untuk kemudian berlalu silih berganti; demikian para bijaksanawan mengingatkan kita. Fenomena kesementaraan ini memang terbukti demikian, bila kita mau meluangkan sedikit waktu untuk mengamatinya dengan lebih seksama. Dalam amatan serupa ini, bisa jadi, apa yang tadinya kita pandang sebagai tugas mulia, sebagai 'sesuatu yang luhur' kembali tampak semu seperti 'apa ia adanya'. Oleh karenanyalah para bijak, orang-orang suci sejak dahulu kala selalu mengingatkan kita. Beliau yang waskita, telah melihatnya dengan baik melalui kewaskitaannya.

Betapapun sibuknya Anda, kiranya masih ada tersisa waktu beberapa puluh menit saja dalam sehari, untuk digunakan duduk, beristirahat, sambil mengamati fenomena 'kesementaraan' serta 'kesemuan' ini. Mungkin saja melalui amatan tersebut Anda akan memandang 'lain' terhadap 'sesuatu yang luhur', menurut anggapan selama ini. Mungkin pula Anda menemukan jawaban-jawaban tentang 'kesujatian' dari berbagai fenomena, dalam amatan Anda. Bisa jadi banyak nilai manfaat yang Anda peroleh, hanya dengan meluangkan sedikit waktu' untuk mengamati dan hanya mengamati saja.

Semoga Cahaya Agung-Nya senantiasa menerangi setiap gerak-langkah kita. Semoga Kedamaian dan Kebahagiaan senantiasa menghuni kalbu semua insan.

Belanja di " Toko Kebahagiaan"

Seorang muda yang selalu resah dan gelisah menemui seorang bijak dan bertanya, ''Berapa lamakah waktu yang saya butuhkan untuk memperoleh kebahagiaan?'' Orang bijak itu memandang si anak muda kemudian menjawab, ''Kira-kira sepuluh tahun.''

Mendengar hal itu anak muda tadi terkejut, ''Begitu lama,?'' tanyanya tak percaya. ''Tidak,'' kata si orang bijak, ''Saya keliru. Engkau membutuhkan 20 tahun.'' Anak muda itu bertambah bingung. ''Mengapa Guru lipatkan dua,?'' tanyanya keheranan. Orang bijak kemudian berkata, ''Coba pikirkan, dalam hal ini mungkin engkau membutuhkan 30 tahun.''

Apa yang terlintas dalam pikiran Anda ketika membaca cerita di atas? Tahukah Anda mengapa semakin banyak orang muda itu bertanya, semakin lama pula waktu yang diperlukannya untuk mencapai kebahagiaan?

Lantas, bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan? Sebagaimana yang telah banyak disampaikan, kebahagiaan hanya akan dicapai kalau kita mau melakukan pencarian ke dalam. Namun, itu semua tidak dapat Anda peroleh dengan cuma-cuma. Anda harus mau membayar harganya.

Agar lebih mudah kita gunakan analogi sebuah toko. Nama toko itu adalah ''Toko Kebahagiaan.''
Di sana tidak ada barang yang bernama ''kebahagiaan'' karena ''kebahagiaan'' itu sendiri tidak dijual. Namun, toko ini menjual semua barang yang merupakan unsur-unsur pembangun kebahagiaan, antara lain: kesabaran, keikhlasan, rasa syukur, kasih sayang, kejujuran, kepasrahan, dan rela memaafkan.
Inilah ''barang-barang'' yang Anda perlukan untuk mencapai kebahagiaan.

Tetapi, berbeda dari toko biasa, toko ini tidak menjual produk jadi. Yang dijual di sini adalah benih. Jadi, kalau Anda tertarik untuk membeli ''kesabaran'' Anda hanya akan mendapatkan ''benih kesabaran.'' Karena itu, segera setelah Anda pulang ke rumah Anda harus berusaha keras untuk menumbuhkan benih tersebut sampai ia menghasilkan buah kesabaran.

Setiap benih yang Anda beli di toko tersebut mengandung sejumlah persoalan yang harus Anda pecahkan. Hanya bila Anda mampu memecahkan persoalan tersebut, Anda akan menuai buahnya. Benih yang dijual di toko itu juga bermacam-macam tingkatannya. ''kesabaran tingkat 1,''misalnya, berarti menghadapi kemacetan lalu lintas, atau pengemudi bus yang ugal-ugalan. ''Kesabaran tingkat 2'' berarti menghadapi atasan yang sewenang-wenang, atau kawan yang suka memfitnah. ''Kesabaran tingkat 3'', misalnya, adalah menghadapi anak Anda yang terkena autisme.

Menu yang lain misalnya ''bersyukur.''
''Bersyukur tingkat 1'' adalah bersyukur di kala senang, sementara ''bersyukur tingkat 2'' adalah bersyukur di kala susah.

''Kejujuran tingkat 1,'' misalnya, kejujuran dalam kondisi biasa, sementara ''kejujuran tingkat 2'' adalah kejujuran dalam kondisi terancam.

Inilah sebagian produk yang dapat dibeli di ''Toko Kebahagiaan''.

Setiap produk yang dijual di toko tersebut berbeda-beda harganya sesuai dengan kualitas karakter yang ditimbulkannya. Yang termahal ternyata adalah ''kesabaran'' karena kesabaran ini merupakan bahan baku dari segala macam produk yang dijual di sana.

Seorang filsuf Thomas Paine pernah mengatakan, ''Apa yang kita peroleh dengan terlalu mudah pasti kurang kita hargai. Hanya harga yang mahallah yang memberi nilai kepada segalanya. Tuhan tahu bagaimana memasang harga yang tepat pada barang-barangnya.''

Dengan cara pandang seperti ini kita akan menghadapi masalah secara berbeda. Kita akan bersahabat dengan masalah. Kita pun akan menyambut setiap masalah yang ada dengan penuh kegembiraan karena dalam setiap masalah senantiasa terkandung ''obat dan vitamin'' yang sangat kita butuhkan.

Dengan demikian Anda akan ''berterima kasih'' kepada orang-orang yang telah menyusahkan Anda karena mereka memang ''diutus'' untuk membantu Anda. Pengemudi yang ugal-ugalan, tetangga yang jahat, atasan yang sewenang-wenang adalah peluang untuk membentuk kesabaran. Penghasilan yang pas-pasan adalah peluang untuk menumbuhkan rasa syukur. Suasana yang ribut dan gaduh adalah peluang untuk menumbuhkan konsentrasi. Orang-orang yang tak tahu berterima kasih adalah peluang untuk menumbuhkan perasaan kasih tanpa syarat. Orang-orang yang menyakiti Anda adalah peluang untuk menumbuhkan kualitas rela memaafkan.

Layak kita renungkan ungkapan berikut ini: ''Aku memohon kekuatan, dan Tuhan memberiku kesulitan-kesulitan untuk membuatku kuat. Aku memohon kebijaksanaan, dan Tuhan memberiku masalah untuk diselesaikan. Aku memohon kemakmuran, dan Tuhan memberiku tubuh dan otak untuk bekerja. Aku memohon keberanian, dan Tuhan memberiku berbagai bahaya untuk aku atasi. Aku memohon cinta, dan Tuhan memberiku orang-orang yang bermasalah untuk aku tolong. Aku mohon berkah dan Tuhan memberiku berbagai kesempatan. Aku tidak memperoleh apapun yang aku inginkan, tetapi aku mendapatkan apapun yang aku butuhkan.''

Cash Flow Material dan Cash Flow Spiritual

" The economist, like everyone else, must concern himself with the ultimate aims of man," Alfred Marshall

Seorang pelajar ilmu bisnis pernah ditanya oleh pimpinan Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia tentang cara menghitung laba bersih bagi suatu usaha kecil. Pelajar tersebut menjawab: Kurangi saja total pendapatan yang kita peroleh dengan semua biaya operasi (biaya variabel dan biaya tetap) lalu kurangi lagi dengan zakat, dan terakhir kurangi lagi dengan pajak, maka akan diperoleh angka laba bersih. Namun yang bertanya langsung menanggapi dengan polos: Mengapa zakat dalam perhitungan tersebut mengurangi laba bersih? Bukankah Allah SWT sudah berjanji dalam al-Quran bahwa dengan membayar zakat, keuntungan kita akan terus tumbuh -- seperti arti harfiah dari zakat itu sendiri -- hingga 7, 70, bahkan 700 kali nilai nominal zakat yang kita telah bayarkan? Dengan demikian seharusnya zakat itu menambah, dan bukan mengurangi laba bersih kita. Lama sang pelajar terdiam.

Cash flow adalah padanan kata dari "aliran kas", sebuah istilah yang sering digunakan dunia usaha dan ekonomi untuk menyatakan pergerakan uang masuk (cash inflow) dan uang keluar (cash outflow) dari sebuah perusahaan, negara atau bahkan rumah tangga. Uang dalam perekonomian dunia saat ini menjadi representasi dari nilai kekayaan. Pergerakan uang dalam sebuah perusahaan, negara atau rumah tangga adalah seperti peredaran darah dalam tubuh manusia. Pertama, kehadirannya yang memungkinkan tubuh dapat beraktivitas. Demikian pula uang, dengan kehadirannya kita dapat melakukan kebaikan atau bahkan kerusakan di muka bumi. Semakin banyak uang kita miliki, tentu semakin besar peluang kita untuk berbuat kebaikan atau kerusakan tersebut. Kedua, distribusinya yang jika tidak normal dapat menyebabkan penyakit yang dirasakan seluruh bagian tubuh. Tak heran, Allah SWT memerintahkan agar harta kekayaan dalam masyarakat tidak boleh beredar hanya di kalangan tertentu saja, melainkan harus terdistribusi secara adil ke semua lapisan masyarakat. Dengan demikian penyakit sosial tidak akan menimpa kalangan kaya maupun miskin dalam masyarakat tersebut.

Ada prinsip yang sangat menarik di dalam Islam, yaitu harta kekayaan yang kita miliki di dunia harus dapat dipertanggungjawabkan dari dua
sisi: dari mana kita peroleh (cash inflow) dan ke mana kita belanjakan (cash outflow). Prinsip ini dapat kita kembangkan menjadi dasar pengelolaan kekayaan baik dalam rumah tangga, perusahaan, ataupun negara. Prinsip yang tidak hanya memperhatikan aspek kuantitas/jumlah dari kekayaan yang memang penting, melainkan juga kualitas dari cara memperoleh dan cara penggunaan kekayaan tersebut. Kualitas cara memperoleh dan cara penggunaan kekayaan akan sangat mempengaruhi kualitas dari pertumbuhan dan perkembangan suatu rumah tangga, perusahaan, atau negara. Lalu apa ukuran kualitas itu? Mudah saja, yang pertama halal, yang kedua thayib (baik). Yang tidak mudah adalah bersikap konsisten terhadap yang halal, serta inovatif dalam memperoleh dan menggunakan kekayaan pada hal yang thayib. Dengan prinsip seperti ini, kita dapat membuat kategori cash flow material dan cash flow spiritual.

Kembali pada cerita di atas, jawaban sang pelajar tentang perhitungan laba bersih tersebut adalah logika cash flow material, sedangkan komentar sang penanya adalah logika cash flow spiritual. Keduanya kita perlukan, dan sebenarnya tidak bertentangan. Logika cash flow material diperlukan untuk mencatat, menganalisis, dan mengevaluasi hasil usaha di masa lalu, sehingga kita akan lebih mudah membuat perencanaan ke depan secara rasional. Cash flow material juga berguna untuk membantu kita berkompetisi atau bekerja sama secara sehat dengan perusahaan atau negara lain dalam memperoleh keuntungan. Sedangkan cash flow spiritual adalah keyakinan sekaligus logika yang menjadi dasar setiap pengambilan keputusan kita dalam usaha, baik dalam lingkup perusahaan, negara, atau bahkan rumah tangga.

Keyakinan dan logika bahwa Allah selalu hadir dalam setiap aktivitas kita dan memberikan ganjaran bagi setiap kebaikan yang kita usahakan sekecil apapun itu. Keyakinan dan logika bahwa Allah adalah subjek yang aktif memberikan rezeki kepada kita dari jalan yang tidak kita sangka-sangka. Menggunakan istilah Adam Smith, Allah adalah the invisible hand/tangan gaib dalam perekonomian kita. Hanya saja logika cash flow spiritual berlaku terbalik. Adam Smith mengajarkan bila kita ingin memakmurkan masyarakat, maka berilah kesempatan seluas-luasnya kepada individu untuk menumpuk kekayaan, maka nanti akan ada invisible hand yang akan membuat masyarakat otomatis menjadi makmur. Itulah mekanisme pasar bebas.

Sedangkan cash flow spiritual di dalam Islam mengajarkan bila setiap individu ingin menjadi makmur, maka berusahalah selalu untuk beramal saleh memakmurkan masyarakat, nanti akan ada Allah sebagai the invisible hand yang akan memakmurkan masing-masing dari kita dari jalan yang tidak kita sangka-sangka. Dapat dikatakan bahwa cash flow material hanyalah alat atau instrumen bagi cash flow spiritual. Ada dua dimensi dari cash flow spiritual, dimensi kausalitas (sebab akibat) dan dimensi pertumbuhan.

Dimensi kausalitas
Perhitungan pendapatan nasional dengan indikator utama GNP/Produk Nasional Bruto, yang hingga saat ini digunakan semua negara di dunia, memiliki banyak keterbatasan. Salah satunya adalah bahwa GNP tidak membedakan antara pendapatan yang diperoleh dari aktivitas judi dan aktivitas riset ilmu pengetahuan, tidak membedakan antara pendapatan dari penjualan senjata untuk perang dan penjualan hak cipta buku, antara pendapatan jasa medis para dokter dengan aktivitas spekulatif para pialang saham. Dengan demikian dari manapun sumber pendapatan tersebut (cash inflow), yang penting bagi negara adalah nilai GNP tersebut semakin tinggi, dengan demikian pertumbuhan ekonomi juga tinggi dan kemudian diasumsikan masyarakat menjadi lebih makmur. Tidak peduli pendapatan tersebut bersumber dari aktivitas yang tidak halal, atau bersumber dari sektor ekonomi yang tidak mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, moral bekerja keras, dan akhlak masyarakat yang baik.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dipercaya dapat merangsang peningkatan pendapatan di masa mendatang (efek berganda). Logika seperti ini juga pada akhirnya diterapkan dalam lingkup suatu perusahaan atau bahkan rumah tangga. Bagaimana mengembangkan sebuah perusahaan atau sebuah rumah tangga, mengikuti pola logika pertumbuhan GNP tersebut pada lingkup negara.

Sedangkan logika cash flow spiritual sangat memperhatikan kualitas sumber pendapatan. Cash inflow yang diperoleh dari sumber yang halal dan baik akan otomatis digunakan pada hal-hal yang halal dan baik pula, demikian sebaliknya. Inilah dimensi kausalitas tersebut. Uang dari hasil korupsi sulit diharapkan untuk dibelanjakan kepada hal-hal yang positif mendukung kemajuan masyarakat. Pendapatan perusahaan yang bersumber dari aktivitas perjudian, pelacuran, dan minuman keras, akan menyulitkan para direktur dan manajer perusahaan tersebut untuk membina keluarga sakinah di tempatnya masing-masing. Pendapatan nasional yang strukturnya lebih banyak diberikan kontribusi oleh kegiatan pungutan liar, sogok, dan suap, akan menyulitkan negara tersebut untuk mengembangkan kualitas manusianya untuk dapat kompetitif di dunia, dan untuk membina masyarakatnya menjadi cerdas dan aman dalam berkah Allah.

Dengan demikian, logika cash flow spiritual akan memotivasi setiap kepala keluarga, pimpinan perusahaan dan pemerintah suatu negara untuk secara cerdas mencari sumber pendapatan bagi organisasinya, sedemikian rupa sehingga memberi peluang kepada organisasi tersebut dan semua individu di dalamnya untuk hidup dan berkembang secara baik, dari segi fisik, mental, dan intelektual.

Dimensi pertumbuhan
Bila uang yang kita miliki dalam rumah tangga, perusahaan, atau negara dibelanjakan kepada hal-hal yang halal dan baik, maka uang tersebut dengan peran Allah akan tumbuh terus menerus dan kembali kepada kita. Kekayaan rumah tangga, kekayaan perusahaan, dan kekayaan negara akan terus tumbuh dan bertambah.

Dimensi pertumbuhan lebih banyak bicara tentang cara penggunaan kekayaan (cash outflow). Sering kita mendengar kisah nyata bagaimana harta yang dibelanjakan untuk orang tua akan dengan berlipat ganda segera kembali kepada orang yang mengeluarkannya. Atau kisah tentang perusahaan-perusahaan yang banyak mengalokasikan anggarannya untuk melakukan riset inovasi produk, riset teknologi proses, dan pengembangan kualitas karyawannya. Perusahaan-perusahaan tersebut dengan cepat menikmati pertumbuhan tingkat penjualan dan laba yang tinggi dan berkelanjutan. Hal yang sama juga terjadi pada perusahaan-perusahaan yang peduli terhadap lingkungan hidup dan keadaan sosial masyarakat sekitar perusahaan beroperasi. Atau kisah beberapa negara di dunia yang lebih peduli membelanjakan anggaran negaranya untuk sektor pendidikan bagi warga negaranya, segera hanya dalam tempo beberapa puluh tahun dapat menikmati pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang tinggi, pemerataan pendapatan yang baik, serta iklim sosial yang egaliter dan stabil. Kesemua contoh tersebut membuktikan dimensi pertumbuhan dari logika cash flow spiritual.

Uang dan ekonomi, walaupun penting, bukanlah segalanya dalam kehidupan kita. Oleh karena itu sebagaimana ungkapan Alfred Marshall (salah satu tokoh ekonomi kapitalis klasik), teori ekonomi, kebijakan ekonomi, dan keputusan ekonomi haruslah diabdikan kepada pencapaian tujuan akhir dari hidup kita. Sebelum seorang kepala keluarga, pimpinan perusahaan atau kepala negara mencari dan membelanjakan harta kekayaan untuk organisasinya, mereka terlebih dulu akan bertanya: Apakah tujuan hidup kita sebenarnya?

Bahagia, Ada Pada Jiwa Yang Bersyukur

Pernah membayangkan, bagaimana seseorang menulis buku, bukan dengan tangan atau anggota tubuh lainnya, tetapi dengan kedipan kelopak mata kirinya?

Jika Anda mengatakan itu hal yang mustahil untuk dilakukan, tentu saja Anda belum mengenal orang yang bernama Jean-Dominique Bauby. Dia pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan Prancis yang digandrungi wanita seluruh dunia.

Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauannya untuk tetap menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Setelah tahu apa yang dialami si Jean dalam menempuh hidup ini, pasti Anda akan berpikir, "Berapa pun problem dan stres dan beban hidup kita semua, hampir tidak ada artinya dibandingkan
dengan si Jean!"

Tahun 1995, ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut locked-in syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya "Seperti pikiran di dalam botol". Memang ia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah cara dia berkomunikasi dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.

Begini cara Jean menulis buku. Mereka (keluarga, perawat, teman-temannya) menunjukkan huruf demi huruf dan si Jean akan berkedip apabila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. "Bukan main," kata Anda.

Ya, itu juga reaksi semua yang membaca kisahnya. Buat kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh "menulis" dengan cara si Jean, barang kali kita harus menangis dulu berhari-hari dan bukan buku yang jadi, tapi mungkin meminta ampun untuk tidak disuruh melakukan apa yang dilakukan Jean dalam pembuatan bukunya.

Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, "Le Scaphandre" et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).

Jean adalah contoh orang yang tidak menyerah pada nasib yang digariskan untuknya. Dia tetap hidup dalam kelumpuhan dan tetap berpikir jernih untuk bisa menjadi seseorang yang berguna, walaupun untuk menelan ludah pun, dia tidak mampu, karena seluruh otot dan saraf di tubuhnya lumpuh. Tetapi yang patut kita teladani adalah bagaimana dia menyikapi situasi hidup yang dialaminya dengan baik dan tetap menjadi seorang manusia (bahasa Sansekerta yang berarti pikiran yang terkendali), bahkan bersedia berperan langsung dalam film yang mengisahkan dirinya.

Jean, tetap hidup dengan bahagia dan optimistis, dengan kondisinya yang seperti sosok mayat bernapas. Sedangkan kita yang hidup tanpa punya problem seberat Jean, sering menjadi manusia yang selalu mengeluh..! Coba ingat-ingat apa yang kita lakukan. Ketika mendapat cuaca hujan, biasanya menggerutu. Sebaliknya, mendapat cuaca panas juga menggerutu. Punya anak banyak mengeluh, tidak punya anak juga mengeluh. Carl Jung, pernah menulis demikian: "Bagian yang paling menakutkan dan sekaligus menyulitkan adalah menerima diri sendiri secara utuh, dan hal yang paling sulit dibuka adalah pikiran yang tertutup!"

Maka, betapapun kacaunya keadaan kita saat ini, bagi yang sedang stres berat, yang sedang berkelahi baik dengan diri sendiri maupun melawan orang lain, atau anggota keluarga yang sedang tidak bahagia karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, yang baru mendapat musibah kecelakaan atau bencana, bagi yang sedang di-PHK, ingatlah kita masih bisa menelan ludah, masih bisa makan dan menggerakkan anggota tubuh lainnya. Maka bersyukurlah, dan berbahagialah...!

Jangan menjadi pengeluh, penggerutu, penuntut abadi, tapi bijaksanalah untuk bisa selalu think and thank (berpikir, kemudian berterima kasih/bersyukurl).

Dalam artikel yang berjudul Kegagalan & Kesuksesan Hasil Konsekuensi Pikiran ( SPM 26 Februari 2005) dituliskan, seseorang yang sadar sepenuhnya, dia datang ke dunia ini hanya dibekali sebuah nyawa (jiwa). Nah, nyawa itu harus dirawat dengan menjalani kehidupan secara bertanggung jawab. Dengan nyawa ini pulalah, seseorang harus hidup bahagia, di manapun dia berada, dan dalam kondisi apapun, dia harus bisa bahagia. Kunci kebahagiaan adalah bersyukur! Mensyukuri apa yang kita dapat itu penting, termasuk sebuah nyawa agar kita bisa hidup di alam ini. Dan kebahagiaan bisa dibuat, dengan tidak meminta (menuntut) apapun pada orang lain, tetapi memberikan apa yang bisa diberikan kepada orang lain agar mereka bahagia. Jadilah seseorang yang merasa ada gunanya untuk kehidupan ini.

Untuk itu, Anda bisa mendengarkan intuisi sendiri sehingga bertindak sesuai nurani dan menghasilkan apa yang Anda inginkan dalam hidup. Hadapi hidup dengan tabah karena orang-orang beruntung bukan tidak pernah gagal.

Bukan tidak pernah ditolak, juga bukan tidak pernah kecewa. Justru banyak orang yang sukses itu sebetulnya orang yang telah banyak mengalami kegagalan.

Berpikirlah positif, Anda akan menjadi orang yang beruntung. Banyak cerita tentang keberuntungan berasal dari kejadian-kejadian yang tidak menguntungkan. Misalnya, kehilangan pekerjaan memunculkan ide besar untuk mulai bisnis sendiri dan menjadi majikan. Ditolak pun bisa mendatangkan kesuksesan. Tetapi, untuk mendapatkan keberuntungan diperlukan usaha.

Dan mulailah sekarang juga untuk berusaha!