Thursday, December 7, 2006

Intervensi Negara Dalam Kehidupan Ekonomi

Hilferding, Luxemburg, Lenin dll sebenarnya mencatat segi-segi yang berbeda dari tendensi yang sama: integrasi pengelolaan industrial dan aparatur negara yang semakin mempercepat sebelum, selama dan seusai Perang Dunia II. Di hadapan kondisi krisis ekonomi, pemerintah-pemerintah melakukan intervensi untuk memfusikan perusahaan-perusahaan besar serta mengkoordinasikan kegiatan mereka dengan kegiatan birokrasi negara. Italia Fasis dan Jerman Nazi menempuh jalan itu. Kemudian degan pecahnya perang dunia, mereka disusul oleh Inggeris dan Amerika Serikat. Kelas-kelas penguasa lain yang lebih lemah menyusul pula; mereka mengira, hanyalah dengan menggunakan aparatur negara untuk mengerahkan sumber-sumber daya mereka dapat menghadapi musuh. Rezim yang beraneka-ragam seperti pemerintah sayap kanan di Polandia, rezim populis di Brasil dan pemerintah Peronis di Argentina semua menjalankan nasionalisasi industri dan perencanaan ekonomi. Banyak negeri dunia ketiga yang baru merdeka di masa paska perang menempuh jalan yang sama. Hal ini tidak banyak sangkut pautnya dengan sikap "kiri" atau "kanan": pemerintah-pemerintah konservatiflah yang menasionalisasi perusahaan terbang di Inggeris dan perusahaan mobil Renault di Perancis.

Konteks ini membantu kita mengerti satu hal lain yang mahapenting selama dekade-dekade itu: fenomena Stalinisme. Sebelum tahun 1989 kebanyakan orang menganggap rezim-rezim Stalinis di Uni Soviet, RRC dll sebagai suatu versi sosialisme, walau mungkin dikira menonjolkan "distorsi" tertentu. Dewasa ini kita sudah terbiasa mendengar pendapat bahwa rezim-rezim itu jauh lebih jelek dari sistem kapitalis. Tetapi sebetulnya lebih logis sistem Stalinis tersebut dilihat sebagai satu kubu ekstrim dalam rangkaian kesinambungan antara (di satu pihak) negeri-negeri di mana intervensi negara relatif lemah dan (di pihak lain) negeri-negeri di mana intervensi itu sangat intensif. Semua negeri itu masih harus berkompetisi di dalam konteks kapitalisme global, termasuk Uni Soviet yang sebaiknya dimengerti sebagai masyarakat kapitalis-negara.

Ekonomi stalinis bukanlah produk revolusi Bolsyevik tahun 1917, melainkan timbul sejak tahun 1928 ketika sebuah kelas penguasa baru berkembang dan mengambil alih kekuasaan. Kelas penguasa itu hanya dapat bertahan di dunia internasional, yang didominasi oleh kelas-kelas kapitalis yang kuat jika ekonomi Rusia diindustrialisasi selekas mungkin guna mengejar ketinggalannya. Maka Stalin membangun industri di Rusia dengan meniru banyak cara yang digunakan dalam revolusi industri di Inggeris: menggusur kaum tani, menurunkan upah kaum buruh, mempekerjakan buruh anak, bahkan dia menjalankan semacam sistem perbudakan di gulag (kamp-kamp konsentrasi) di mana jutaan manusia hidup dan bekerja. Di saat yang sama dia mengandalkan aparatus negara untuk menyelesaikan sejumlah tugas yang tidak dapat dilakukan oleh modal swasta (yang masih lemah karena dampak revolusi buruh tahun 1917).

Hampir di mana-mana aparatus negara menjadi pelaku penting dalam ekonomi kapitalis semenjak dekade 1930-an sampai dengan pertengahan tahun 1970-an. Doktrin-doktrin yang digunakan untuk membenarkan peranan ini berbeda-beda dari satu negeri ke negeri yang lain. Di barat, doktrin Keynesian menjadi pilar ideologis utama -- Keynes adalah seorang pemikir borjuis yang mengira intervensi negara telah menjadi satu-satunya tiang bergantung guna mempertahankan kapitalisme dalam depresi tahun 1930-an. Di Blok Timur (dan di kalangan kaum yang mengagumi metode-metode Soviet di barat dan dunia ketiga) bercokollah doktrin-doktrin Stalinis, yang biasanya berpura-pura sosialis bahkan Marxis. Di dunia ketiga, teori-teori "pembangungan" dirangkul oleh bermacam-macam rezim yang berusaha mencapai ekonomi-ekonomi industrial dengan mengandalkan aparatus negara guna memblokir persaingan dari luar negeri dan untuk membangun industri-industri baru.

Dan selama 45 tahun ini, semua pihak yang ingin memperbaiki kapitalisme sambil menghindari revolusi sosial mengharapkan intervensi aparatus negara dapat mencapai reformasi yang mereka inginkan. Di negeri-negeri maju, para pemikir Keynesian mengatakan, intervensi semacam itu dapat menyelamatkan kapitalisme; sedangkan kaum sosial demokrat mengatakan, intervensi tersebut akan menghindari perubahan yang terlalu gegabah ke arah sosialisme. Di dunia ketiga, partai-partai Komunis, golongan sosial demokrat, para politikus populis serta kaum intelektual semua berharap, intervensi negara bisa menyatukan kelas penguasa nasional dengan kaum buruh dan kaum tani dalam menghindari cengkeraman imperialis dan mencapai pertumbuhan ekonomi. Menurut mereka, tugas ini harus diselesaikan dulu, baru kemudian kaum buruh dan rakyat tertindas boleh memperjuangkan revolusi sosialis. Sebagian dari kaum aktivis masa kini, yang memprioritaskan pembelaan negara nasional melawan "globalisasi", sedang merindukan pendekatan lama tersebut.

Namun kita amat salah arah jika melihat negara nasional sebagai sahabat. Aparatus negara mendasarkan diri pada tentara dan polisi yang terlatih untuk menghantam serta membunuh orang. Periode 1930-1975, ketika negara sering melakukan intervensi, bukanlah sebuah zaman kebahagiaan di mana rakyat diperlakukan secara adil. Sebaliknya, kedudukan kaum pekerja di zaman tersebut digambarkan dengan akurat oleh film di mana Charlie Chaplin menjadi perpanjangan mesin di pabrik. Di zaman itu kita menghayati pembunuhan jutaan manusia oleh rezim Hitler, bom-bom atomik yang menimpa kota-kota Jepang, represi stalinis di Eropa Timur dan gulag di Uni Soviet, paceklik di Bengal yang menelan korban 4 juta, bangkitnya rezim Suharto dengan pembunuhan separuh juta sampai sejuta orang, perang-perang kolonial di Indonesia dan Aljazair serta agresi AS di Vietnam. Selama periode ini banyak sekali negeri Amerika Latin yang dikuasai oleh kediktatoran militer, sedangkan di RRC proyek "Lompatan Besar" yang gegabah menyebabkan jutaan manusia mati kelaparan.

Selama periode itu, kapitalisme terus berkuasa dengan konsekwensi yang mengerikan. Mereka yang merindukan kapitalisme tahun 1930-75 agak melupakan fakta-fakta sejarah.

Selama tiga dasawarsa paska Perang Dunia II, sistem kapitalis memang mengalami pertumbuah ekonomi yang cukup lumayan, dan selama tahun-tahun itu sebagian rakyat jelata berhasil memaksa kaum penguasa meningkatkan standar hidup mereka. Namun perbaikan itu pun tidak disebakan oleh kemurah-hatian atau akal-budi kaum penguasa, melainkan kemakmuran itu dimotori oleh dana pemerintah AS, Inggeris dan Perancis untuk persenjataan, terutama senjata nukliir. Di puncak Perang Dingin pada tahun 1950-an, kira-kira seperlima dari kekayaan yang dihasilkan di Amerikat Serikat, negeri terkaya di dunia, dikeluarkan secara langsung atau tidak langsung untuk anggaran militer. Di Uni Soviet pengeluaran itu mungkin dua kali lipat, karena Uni Soviet jauh lebih lemah ekonominya.

Sementara itu, logika kapitalis terus berjalan. Perusahaan yang besar dan kuat terus mengambil alih perusahaan yang kecil atau lemah, sampai sektor-sektor utama didominasi oleh beberapa "ologopoli" besar. Di Inggeris umpamanya, kira-kira 200 perusahaan, yang dikelola oleh maksimal 600 sampai 800 direktur, menghasilkan lebih dari separuh dari produk industrial. Dan di pedesaan di hampir seluruh dunia, pola-pola pertanian semakin mendekati pola yang dirintis di Inggeris di masa revolusi industri: pertanian kapitalis mengganti pertanian tradisional, dan jutaan petani bermigrasi ke perkotaan mencari rejeki di pabrik.

Proses itu berjalan paling jauh di Amerika, dan di Eropa di mana proporsi orang yang bekerja di bidang agrikultur menurun dari 30-40 persen lebih di tahun 1950-an menjadi 20 persen kurang di pertengahan tahun 1970-an. Namun proses yang sama berlangsung pula di banyak negeri paska-kolonial jauh sebelum istilah "globalisasi" pernah kita dengar. Di India, misalnya, tanah yang paling subur di daerah Punjab semakin dimiliki oleh para petani kapitalis berukuran sedang yang mempekerjakan buruh tani, dan yang mampu beli bibit dan pupuk tipe baru yang disajikan oleh "Revolusi Hijau". Di Aljazair, kelas menengah petani kapitalislah yang paling beruntung dari reform-reform agraria setelah negeri itu merdeka. Kapitalisme sedang merubah wajah seluruh dunia menurut bayangannya sendiri.

Prosedur Melakukan Pemogokan Kerja

Pada hakekatnya seluruh perselisihan dalam hubungan Industrial harus diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Untuk hal ini harus ditempuh jalur perundingan antara perwakilan serikat pekerja dengan pengusaha. Demi kepentingan pembuktian dan formalitas hukum, harus selalu dipastikan terdapat berita acara perundingan diatas kertas ber-meterai yang ditandatangani oleh perwakilan serikat pekerja yang berunding dan pengusaha. Apabila perundingan gagal, baru pekerja diperbolehkan melaksanakan hak mogoknya.

Pekerja dapat juga melakukan pemogokan walaupun tidak melewati jalan perundingan. Hal ini dapat dilaksanakan hanya apabila pengusaha menolak melakukan perundingan. Kepmenakertrans No. KEP. 232/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah (“Kepmenakertrans”) mewajibakan pekerja/buruh meminta secara tertulis kepada pengusaha untuk melakukan perundingan minimal 2 (dua) kali dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari kerja. Adalah penting untuk mendapatkan surat tanda terima permohonan melakukan perundingan tersebut dari Pengusaha, setiap kali dikirimkan.

Apabila pengusaha menolak berunding setelah diberikan pemberitahuan dengan jangka waktu diatas atau apabila perundingan gagal, pekerja boleh melaksanakan hak mogoknya. Pelaksanaan hak mogok ini pun harus sesuai dengan peraturan, sebagaimana dijelaskan dibawah ini.

Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi depnaker setempat yang sekurang-kurangnya memuat (a) waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja, (b) tempat mogok kerja, (c) alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan (d) tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. Apabila mogok kerja tidak dilakukan dengan cara demikian, maka pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara untuk mengamankan perusahaan dan alat-alat produksi dengan cara (a) melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau (b) bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan (Pasal 140 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, “Undang-Undang Ketenagakerjaan”).

Undang-undang mewajibkan pekerja yang akan melakukan pemogokan untuk memberitahu Depnaker setempat. Pekerja harus melampirkan (1) berita acara perundingan yang ditandatangani perwakilan serikat pekerja dan pengusaha, (2) surat pemberitahuan pemogokan kepada pengusaha dan tanda terima surat pemberitahuan pemegokon tersebut dari Pengusaha. Pada waktu mengirimkan pemberitahuan kepada Pengusaha, pastikan juga bahwa orang yang menerima pemberitahuan adalah Direksi dari perusahaan tersebut dan pastikan bahwa orang yang menerima pemberitahuan tersebut memberikan tanda terimanya (tanda terima harus ditandatangani).

Apabila tidak tercapai perundingan, cukup melampirkan surat pemberitahuan permintaan melakukan perundingan dan tanda terimanya serta surat pemberitahuan mogok dan tanda terimanya. Pasal 141 Undang-Undang Ketenagakerjaan mewajibkan Depnaker untuk memberikan tanda terima pemberitahuan mogok. Pastikan perwakilan pekerja mandapatkan tanda terima pemberitahuan mogok tersebut. Didalam tanda terima tersebut juga sebaiknya tercantum pernyataan dari Depnaker bahwa pemogokan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 140 UU Ketenagakerjaan.

Perlindungan Hukum atas Hak Mogok

Undang-Undang menjamin hak pekerja untuk mogok. Pasal 143 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa siapapun tidak dapat “menghalang-halangi” pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai dan siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan peraturan. Penjelasan Pasal 143 mencontohkan perlakuan menjatuhkan hukuman, mengintimidasi dalam bentuk apapun dan melakukan mutasi yang merugikan termasuk kedalam perilaku “menghalang-halangi” penggunaan hak mogok.

Bahkan, Pasal 144 dari UU yang sama melarang pengusaha untuk mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan atau memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja. Namun, perlindungan yang diberikan oleh Pasal 144 ini hanya berlaku bagi pemogokan yang dilakukan sesuai prosedur. Dalam prakteknya, “bukti” bahwa formalitas prosedural ini telah dipenuhi adalah:
(1) berita acara perundingan antara serikat pekerja dengan pengusaha, apabila tidak terjadi perundingan, maka tanda terima surat permohonan perundingan
(2) tanda terima pemberitahuan mogok dari depnaker setempat yang disertai pernyataan bahwa pemogokoan telah memenuhi ketentuan Paal 140 UU Ketenagakerjaan
(3) tanda terima pemberitahuan mogok dari perusahaan

Akibat Hukum Pemogokan

Apabila mogok kerja dilaksanakan tidak sesuai dengan prosedur, maka pemogokan tersebut tidak sah. Kepmenakertrans Pasal 6 menyatakan pemogokan yang tidak sah sebagai mangkir kerja. Pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok yang tidak memenuhi prosedur harus dilakukan oleh pengusaha 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam bentuk pemanggilan secara patut dan tertulis. Pekerja/buruh yang tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengundurkan diri.

Apabila persoalannya bukan persoalan normative, pengusaha bisa saja tidak memberikan upah sementara kepada buruh yang melakukan mogok. Pengusaha boleh melakukan penutupan perusahaan akibat pemogokan yang harus dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku.