Saturday, December 9, 2006

Peranan Penting Kelas Buruh

"Pertanyaannya bukanlah siapakah proletar ini atau itu, atau bahkan apakah semua proletar saat ini memikirkan akan tujuannya. Pertanyaannya adalah apa proletariat itu, dan apa yang harus dilakukan." (Karl Marx, 1844)

Untuk banyak orang tampaknya aneh, kaum sosialis selalu mempermasalahkan peranan kelas buruh.

Bukankah kita (di barat) semua adalah kelas menegah dewasi ini? Di Australia, kebanyakan pekerja bisa memiliki rumah, komputer, TV, dan video yang bagus. Mana mungkin pekerja yang relatif makmur ini akan melawan sistem kapitalis? Argumen seperti ini sering digunakan untuk membingungkan dua perbedaan dalam memandang dunia.

Untuk para ahli sosiologi burjuis, posisi kelas kita tergantung pada standar hidup, atau anggapan subyektif kita sendiri, Kaum Marxis, di lain pihak memperhitungkan juga aspek lainnya, ialah dinamika sosial dan hubungan antar-golongan.

Kita melihat perbedaan antara mereka yang harus bekerja untuk hidup dan mereka yang mengontrak orang lain untuk bekerja.

Seorang Bill Gates atau Bob Hassan bisa segera jadi pensiun, dan akan hidup dengan enak dari keuntungan yang dihisapnya dari karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan yang dimiliki mereka. Tida ada pekerja yang bisa melakukan hal serupa itu, karena kaum buruh tidak memiliki alat produksi.

Bahkan banyak orang di barat yang dulu disebut sebagai kelas tengah professional, sekarang justru ikut organisasi-organisasi buruh dan mereka juga sering menggunakan taktik kelas buruh. Guru, dosen, pegawai negeri, dan perawat, semuanya telah atau sedang menjadi bagian dari kelas buruh (memproletarisasi). Pada awalnya mereka terkadang bingung tentang kelas mana mereka tergolong, namun lama-kelamaan mereka menyadari kenyataannya dan mulai berorganisasi dan berjuang melawan kaum majikan.

* * * * * *

Tetapi mengapa para marxis mendesak bahwa kelas inilah yang akan menghantarkan sosialisme?

Jika melihat disekeliling kita, tidak banyak pekerja yang memperlihatkan kecenderungan sosialisme. Malah banyak buruh yang beranggapan anti-sosialis. Dan kami tidak bisa mengklaim bahwa kelas pekerja kurang termakan oleh prasangka yang dilahirkan sistem kapitalis seperti rasisme atau sexisme.

Namun kaum sosialis tidak menengahkan anggapan subyektif sebagai pusat analisis dan strategi, melainkain * posisi obyektif * pekerja yang terdapat di jantung proses produksi - dan * potensi * mereka untuk berjuang dengan efektif. Aspek inilah yang merupakan kunci kemampuan, dan kecenderungan kelas pekerja untuk menghantarkan sosialisme.

Industri kapitalis mengumpulkan jutaan pekerja di seluruh dunia kedalam ratusan ribu tempat kerja - dan mengorganisasi mereka ke dalam tim-tim, line-line perakitan, sift-sift. Organisasi, disiplin dan kerjasama massal menjadi ciri-ciri keseharian kehidupan pekerja. Di sini sudah terlihat potensi sosial kelas pekerja, yang bertumbuh justru di jantung sistem produksi kapitalis sendiri.

Budiman Sujatmiko (ketua PRD) telah menegaskan: "Kaum buruh memiliki kekuasaan ekonomi, sehingga hal ini tetap menjadi prioritas PRD." (Wawancara, Green Left, Maret 1998). Kami setuju dengan Budiman dalam hal ini.

Karena tekanan senantiasa dilakukan oleh majikan untuk menurunkan gaji dan membuat jelek kondisi kerja, kaum buruh juga dimotivasi dan didorong untuk berjuang. Itu terjadi di barat juga, walaupun kaum buruh di sini relatif makmur. Buruh barat yang mempunyai rumah, mobil dsb akan berjuang secara gigih jika kemakmuran ini terancam. Dan oleh karena kondisi obyektif tadi (organisasi dan kerjasama massal) para buruh mampu untuk berjuang secara massal dan berdisiplin, misalnya dalam bentuk serikat-serikat ataupun partai-partai.

Pengulangan perjuangan tersebut menuju ke pendirian organisasi-organisasi antar-perusahaan dan antar-sektor. Pada mulanya, perjuangan kelas biasanya sekedar mempertahankan gaji dan kondisi-kondisi lain di tempat kerja. Namun batasan ini bisa dilampaui.

Dalam setiap konflik antara buruh dan majikan muncul pertanyaan siapakah yang harus memutuskan pada pembagian produk yang dihasilkan. Kemudian timbul pertanyaan mengapa beberapa orang memiliki alat-alat produksi sekaligus hasil produksinya, dan yang lain (mayoritas orang) tidak memilikinya. Mengapa kelas-kelas ada.

Hanya sebagian para buruh yang manyadari semua unsur dari perjuangan mereka. Tapi kesadaran itu ada, dan di saat-saat perjuangan yang bersifat ekstrim, aspek-aspek ini cendurung muncul ke permukaan.

Sebagai contoh, ketika para buruh diberhentikan (PHK), karena majikan tidak membuat cukup keuntungan, pasti timbul pertanyaan-pertanyaan mengapa kebutuhan seorang majikan lebih penting daripada gaji para buruh yang sangat diharapkan.

Ketika perjuangan seperti aksi mogok berlangsung terus-menerus, pertanyaan akan kepemilikan alat-alat produksi disa mendapat perhatian yang besar. Apalagi dalam sebuah situasi revolusioner.

Dalam situasi serupa itu, yang menjadi soal penting adalah kemampuan kelas buruh untuk menduduki tempat-tempat kerja dan merebut alat-alat produksi. Pabrik-pabrik dan kantor-kantor dapat menjadi gelanggang untuk berdiskusi dan berdebat, dan mengambil prakarsa untuk meluaskan perjuangannya.

Kemudian tempat kerja bisa menjadi batu sendi dari masyarakat sosialis. Bila kaum pekerja berkumpul setiap hari di perusahaan yang sudah menjadi milik mereka, dan memilih manajemen sendiri secara demokratis, di saat inilah sebuah sistem ekonomi dimana kepentingan-kepentigan mayoritas akan terpenuhi.

Apakah Orang Akan Bekerja Tanpa Insentif ?

"Mengambil dari setiap manusia sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhannya."

Ini prinsip masyarakat komunis yang Karl Marx bayangkan. Dan sejak ia mengembangkan teori-teori sosialisnya, selalu ada saja para teoritisi sosial dari sayap kanan yang menganggap hal ini sebagai sebuah khayalan belaka. Menurut para teoritisi itu, insentif materiil adalah motivasi pokok setiap orang.

Banyak orang yang menerima pendapat ini. Jika kita melihat disekeliling, setiap orang tampaknya termotivasi karena uang. Siapa yang akan bekerja jika kalau tidak karena uang?

Namun tata laku masyarakat saat ini merupakan hasil dari perkembangan sejarah yang bersifat khusus.

Dalam sejarah manusia, tidak terdapat cukup kekayaan untuk menyediakan setiap orang agar hidup layak. Sehingga kehidupan yang bersifat barbar, dimana yang kuat memakan yang lemah, tidak bisa dihindarkan. Sedangkan orang yang paling kejam hanya memperhatikan diri sendiri, mengangkat diri sendiri diatas masayarakat kebanyakan, dan menjadi kelas yang berkuasa.

Hal ini tidak hanya tak bisa terhindarkan, melainkan ini juga sebuah proses yang penting. Hanya melalui timbulnya kelas yang berkuasa, sedikit surplus kekayaan dapat dikumpulkan ke dalam sejumlah tangan. Kelas yang berkuasa tidak hanya menggunakan surplus ini untuk konsumsi pribadi, tapi juga untuk mengembangkan produksi.

Kapitalisme adalah bentuk masyarakat berkelas yang tertinggi, karena kapitalisme adalah bentuk yang paling efisien untuk mengumpulkan surplus ekonomi ke beberapa tangan, dan kemudian memprosesnya kembali ke dalam bentuk pengembangan produksi.

Proses ini bersifat brutal dan opresif. Meskipun demikian kapitalisme dapat menimbulkan industri moderen yang dahsyat. Akibatnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, di tingkat global alat-alat industri yang ada mampu untuk menciptakan kekayaan yang cukup untuk memberi setiap orang kehidupan yang layak.

Kapitalisme tentunya tidak menggunakan kekuatan produksinya untuk itu. Penguasa-penguasa kita menggunakan kekuatan produksi tersebut untuk menghasilkan persenjataan atom, sementara jutaan manusia dilanda kelaparan. Itulah sebabnya revolusi sosial diperlukan.

Dalam masyarakat berkelas, kebanyakan masyarakat harus berjuang untuk hidup. Kebanyakan pekerjaan tidaklah nyaman, dan seringkali menghebohkan, selama revolusi industri saat anak-anak bekerja sampai 16 jam sehari. Hal ini juga terjadi di Indonesia moderen, misalnya banyak anak yang dipekerjakan di pabrik-pabrik melebihi jam kerja yang semestinya. Misalnya di pabrik Nike di Tangerang, kenyataan serupa masih bisa dijumpai.

Dibawah kapitalisme, kita tidak memiliki kontrol terhadap produksi yang berasal dari tenaga kita. Kita hanya memperkaya orang lain. Apakah mengherankan jika masyarakat bersikap sinis terhadap pekerjaan? Apakah mengherankan jika kita hanya melakukan pekerjaan jika seseorang menawarkan penghargaan materi yang cukup? Tetapi dunia kapitalis ini penuh dengan contoh-contoh yang menunjukkan bahwa jika diberi separo kesempatan, orang akan bertindak berbeda.

Umpamanya para sukarelawan yang bekerja tanpa upah untuk yayasan sosial, atau aktivist-aktivis LSM yang memberikan waktu luang mereka secara cuma-cuma, dan bekerja secara tekun untuk perubahan-perubahan sosial atau politik.

Potensi ini termanifestasikan dalam jumlah yang besar diantara kelas buruh di waktu revolusi. Di Russia, di bawah Lenin, para buruh sering bekerja secara sukarela tanpa mendapatkan upah agar menjaga ekonomi tetap berjalan selama blokade dari negara-negera imperialis. Hal serupa juga terjadi di Indonesia selama Revolusi, misalnya para pejuang tanpa pamrih memobilisasi massa untuk memerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan.

Gerakan-gerakan revolusi juga menciptakan sebuah antusias baru untuk mentransformasikan teknik-teknik produksi. Contohnya perlawanan di Spanyol saat dimulainya perang sipil tahun 30-an. Meningkatnya fasisme telah menghancurkan industri lokal di Catalonia sebelum kemenangan pekerja merebut kekuasaan ke tangan mereka. Para buruh ini mendirikan kontrol industri mereka.

Mereka kemudian membangun kembali ekonomi yang telah hancur itu. Kondisi yang sulit seperti ini, berarti mereka hanya di tawari sedikit penghargaan. Namun mereka termotivasi, karena merekalah yang mengontrol produksi. Salah seorang pengamat mengatakan:

"Para ahli sangat terkejut terhadap keahlian para buruh dalam membangun mesin baru. Dalam waktu yang singkat, 200 hidraulik penekan yang berbeda dengan tekanan sampai 250 ton, 178 mesin bubut berputar, beratus-ratus mesin penggilingan dan beberapa mesin yang membosankan dibangun."

Kejadian yang sama juga terjadi di Nikaragua tahun 80-an. Amerika Serikat memblokade alat-alat industri Nikaragua yang sebetulnya sangat tergantung dari alat-alat buatan AS itu. Para pekerja meresponnya dengan gerakan-gerakan yang bersifat inovatif. Mereka memikirkan cara-cara untuk mengganti alat-alat itu, contohnya peralatan kedokteran. Para pekerja itu telah menunjukkan kepandaian yang luar biasa, dan tentunya mereka bekerja bukan semata-mata kerena uang. Karena kondisi ekonomi yang sulit saat itu, nilai upah di industri Nikaragua jatuh. Orang bisa mendapatkan uang berlebih dengan berjualan di pasar gelap. Motivasi mereka adalah politik: mempertahankan revolusi Sandinista.

Dibawah kapitalisme, hal seperti ini merupakan pengecualian.

Tetapi kalau manusia diberi ekonomi yang bersifat kolektif sehingga mereka tidak kuwatir secara terus menerus tentang masa depan dan masa depan anak-anak mereka, kalau mereka sendiri menjadi pengontrol proses produksi, maka semua kehidupan di tempat kerja bisa ditransformasikan.

Ini adalah inti dari perspektif sosialis. Ketika para pekerja memiliki hubungan baru dengan produksi -- industri berada dibawah kontrol mereka, bukan hanya sebagai penggeraknya -- kreatifitas mereka juga akan muncul.

Produksi kekayaan akan melonjak. Jam kerja akan dikurangi dan dikurangi lagi, dan tempat-tempat kerja akan layak untuk manusia. Training akan diperbaiki dan pekerjaan menjadi jauh lebih bervariasi dan merangsang.

Dan anak-cucu kita akan menatap kita dengan perasaan kasihan dan tak percaya, ketika kita bercerita bagaimana orang di abad ke-20 harus membanting tulang hanya untuk mencari uang.

Dipecatnya Aktivis Serikat Pekerja Bambang Wisudo dari KOMPAS

KRONOLOGI KASUS PEMBERANGUSAN (AKTIVIS) SERIKAT PEKERJA KOMPAS
13 September 2006

Kesepakatan tentang penyelesaian saham karyawan Kompas tercapai, ditandatangani wakil serikat kerja bernama Perkumpulan Karyawan Kompas dan manajemen PT Kompas Media Nusantara. Pihak perkumpulan ditandatangani Syahnan Rangkuti selaku ketua umum danperusahaan diwakili St Sularto selaku wakil pemimpin umum. Kesepakatan itu sebenarnya merugikan karyawan karena karyawan kehilangan 20 persen saham atas PT Kompas Media Nusantara yang diwariskan oleh Pak Ojong sejak 1980, jauh sebelum ada keputusan Menpen yang mewajibkan perusahaan pers memberikan saham kepada karyawannya. Dalam kesepakatan itu karyawan hanya mendapatkan 20 jaminan alokasi 20 persen deviden PT KMN dan perubahan itu harus melalui persetujuan karyawan.

Perundingan ini cukup menyakitkan karena pengurus sempat memberikan kuasa hukum kepada Tim Advokasi Karyawan Kompas yang akan memperkarakan soal ini secara perdata atau pidana. Menjelang kesepakatan itu memang muncul kekhawatiran bahwa setelah kesepakatan ditandatangani, pengurus serikat akan ada balas dendam terhadap pengurus, terutama berikatan persyaratan bahwa perundingan dilakukan tanpa melibatkan Pemimpin Redaksi Suryopratomo. Kekhawatiran itu ternyata terjadi.


15 November 2006

Rapat redaksi Rabu mengumumkan mutai,rotasi, pengalihan tugas di lingkungan redaksi. Di situ nama saya sebagai sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas diurutkan di bawah Syahnan Rangkuti sebagai ketua Perkumpulan Karyawan Kompas. Dua-duanya dibuang.

Satu pengurus lain dipromosikan menjadi wakil kepala biro. Satu lainnya hanya pindak tugas liputan. Tindakan indiskriminatif ini tampaknya sengaja dilakukan untuk memecah belah pengurus. Dari sederet nama yang dimutasi, tampak secara substansial bahwa sekretaris dan ketua serikat pekerja dibuang.

Rupa-rupanya (belakangan baru diketahui) hari itu juga manajemen mengeluarkan surat keputusan pembuangan saya ke Ambon. Surat Keputusan bernomor 269/Penpen/SK/ XI/2006 yang ditandantangani Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas St Sularto itu menyebutkan terhitung mulai 1 Desember 2006 saya dipindahkan mulai 1 Desember 2006, padahal kepengurusan saya sebagai sekretaris serikat pekerja baru berakhir pada 28 Februari 2007.

18 November 2006

Saya mengirimkan surat protes ke Bapak Jakob Oetama selaku Pemimpin Umum Kompas tentang pembuangan saya ke Ambon yang mengandung pelanggaran terhadap UU Serikat Pekerja/Buruh NO 21/2000 yang menyatakan bahwa karena aktivitasnya atau pengurus serikat pekerja dengan ancaman pidana denda 100 juta sampai 500 juta atau hukuman penjara maksimal lima tahun penjara. Dalam kaitan itu saya juga mengritik cara-cara mutasi yang dilakukan manajemen kompas saat ini yang menutup peluang wartawan untuk semakin pandai dan berkembang menjadi seorang spesialis.

24 November 2006

Pak Jakob membalas surat saya secara pribadi. Surat itu ditulis dalam kertas dan amplop warna kuning dan diantar melalui kurir ke rumah saya. Dalam surat itu Pak Jakob tampak menghindar dari persoalan. Ia hanya mengatakan bahwa telah menerima dan membaca surat itu namun ia tidak terlibat lagi dalam urusan manajemen Kompas. Saya disarankan membawa persoalan ini kepada St Sularto (Wakil Pemimipin Umum) atau Suryopratomo (Wakil Pemimpin Umum). Padahal Pak Jakob masih menjabat sebagai Pemimpin Umum Kompas.

27 November 2006

Saya dipanggil oleh St Sularto yang didampingi GM-SDM Umum Bambang Sukartiono dan staf legal SDM Umum Frans Lakaseru. Mas Larto menyatakan telah mendapat tembusan dari Pak Jakob untuk menyelesaikan kasus saya. Tidak ada yang baru dalam pertemuan itu, ia mengatakan bahwa mutasi saya ke Ambon merupakan pemindahan tugas biasa. Saya menyatakan tidak bisa dilihat begitu, karena wartawan Kompas dengan segera melihat pemindahan saya ke Ambon sebagai wartawan biasa merupakan bentuk pembuangan. Saya menyatakan penolakan dan minta surat keputusan pembuangan saya dicabut. Dalam pertemuan itu Bambang Sukartiono menyebut penugasan saya ke Ambon dalam rangka
"rehabilitasi" . Ia juga menyebut tidak bisa menghapus keputusan yang dibuat begitu saja demi "menyelamatkan muka".

28 November 2006

Saya dipanggil oleh SDM-Umum dalam acara penerimaan SK Mutasi. Saya sebagai sekretaris dan Sdr Syahnan Rangkuti sebagai ketua, yang sama-sama dibuang ke
luar kota jauh dari Jakarta, disertakan dengan mereka yang dipromosikan. Di situ kami hanya mendengar penjelasan teknis hak-hak yang menyertai kepindahan. Dalam kesempatan itu saya menanyakan kepada Bambang Sukartiono alasan pembuangan saya ke Ambon namun tidak mendapat penjelasan yang jelas. Pertanyaan itu saya ulang, juga tidak dijawab jelas. Saya juga menanyakan apa salah saya sehingga saya harus direhabilitasi. Dan kalau SK itu tidak bisa dicabut demi menyelamatkan muka, muka siapa sebenarnya yang mau diselamatkan.

Setelah pertemuan itu, saya berbicara empat mata dengan Sdr. Bambang Sukartiono. Saya menawarkan jalan ketiga. Pembuangan saya ke Ambon dibatalkan. Akan tetapi untuk mendinginkan situasi saya menyediakan diri untuk dimutasi ke wilayah Jawa Barat selatan selama tiga bulan dalam kaitan penguatan profesionalisme saya sebagai jurnalis. Saya ingin mengembangkan kemampuan saya dalam depth reporting, setelah itu dikembalikan ke Jakarta untuk mengembangkan bidang yang sama dengan pilihan desk humaniora, politik, atau investigasi. Saya meminta batas waktu sehari untuk menjawab. Karena diminta memberikan surat tertulis, malam itu juga saya memberikan surat
tertulis.

29 November 2006

Rabu sore saya menanyakan kepada Bambang Sukartiono tentang tawaran saya. Ia menjawab secara prinsip bisa diterima, teknis mau diputuskan kemudian. Saya menanyakan yang diterima apa, apakah termasuk batas waktu penugasan tiga bulan. Ia jawab itu tidak dibicarakan karena tidak tercantum dalam surat saya. Saya cek memang tidak tercantum dalam surat tetapi secara lisan telah saya sampaikan. Karena itu saya membuat surat susulan tertanggal 29 November. Di situ saya tegaskan jangka waktu tiga bulan dan minta akar surat pembuangan saya ke Ambon ditinjau kembali.

Permintaan saya sederhana saja, surat keputusan yang pemindahan saya ke Ambon yang mengarah pada pelanggaran UU Serikat Pekerja/Buruh dicabut atau direvisi. Saya memberikan batas waktu keptusan definitive koreksi atas pemindahan saya selambat-lambatnya Rabu (6/12).


6 Desember 2006

Saya kedatangan aktivis dari berbagai kelompok sejak pukul 16.00 untuk menanyakan keputusan final menyangkut pembuangan saya ke Ambon. Sekitar 40 aktivis mahasiswa, pers mahasiswa, NGO, guru, dosen, dan aktivis bantuan hukum datang. Untuk menunggu batas waktu yang telah saya sampaikan sebelumya kepada manajemen, kami mengadakan diskusi informal tentang pendidikan. Menjelang pukul 18.00 saya mengelepon General Manajer SDM Umum Bambang Sukartiono tentang tuntutan saya untuk membatalkan atau merevisi Surat Keputusan tentang pembuangan saya. Akan tetapi pihak manajemen tidak bisa memberikan jawaban definitif dengan alasan belum menerima putusan dari redaksi.

Penundaan untuk kedua kali keputusan itu saya artikan sebagai penolakan manajemen untuk merevisi SK yang mengandung unsur pelanggaran terhadap UU Serikat Buruh/ Pekerja. Oleh karena itu dihadapan para aktivis yang hadir saya menyatakan sejak malam itu akan melakukan perlawanan sampai SK tersebut dicabut atau direvisi. Saya membagikan tembusan surat yang pernah saya sampaikan kepada Pak Jakob, karena pada surat ke Pak Jakob sudah saya cantumkan bahwa surat itu saya tembuskan ke karyawan dan pihak-pihak terkait. Saya juga menempelkan surat itu di beberapa tempat di lantai tiga dan lantai empat.

Selama ini tidak ada masalah penempelan pengumumuan di tempat-tempat tersebut, baik yang dilakukan oleh Perkumpulan Karyawan Kompas ataupun insiator penyelenggara futsal yang diselenggarakan pada saat genting perundingan saham antara manajemen dengan pengurus. Inisiator penyelenggara futsal itu kini telah dipromosikan menjadi salah satu kepala biro di daerah.



7 Desember 2006

Pagi-pagi saya memperoleh informasi tembusan surat itu telah dicopoti oleh satpam. Siang hari saya membagikan media yang saya tulis sendiri tentang berita pemberangusan aktivis serikat pekerja di Kompas dan tembusan surat untuk Pak Jakob ke karyawan di lantai tiga, empat, dan lima. Ini adalah hak saya sebagai aktivis serikat pekerja untuk memberikan informasi mengenai apa yang terjadi dalam serikat pekerja kepada anggotanya. Ini juga hak setiap orang untuk membuat dan menyebarluaskan informasi sebagaimana juga praktek yang lazim dilakukan seorang wartawan.

Sore hari sekitar pukul 18.00 saya dipanggil oleh Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo yang berdiri di depan televisi di dekat meja sekretariat redaksi. "Wis, sini Wis," katanya. Saya datang berdiri, percakapan terjadi dalam jarak dua meter. Di situ langsung saya ditegur mengapa saya mengadakan pertemuan tanpa izin secretariat redaksi. Saya mengatakan bahwa saya menerima tamu, mereka datang ingin tahu perkembangan akhir rencana pembuangan saya ke Ambon. Dalam perdebatan tersebut Sdr. Suryopratomo mengatakan, "Memang itu ruangan mbahmu". Saya jawab dengan kalimat serupa, "Siapa bilang itu ruangan mbahmu". Sebagai seorang karyawan biasa dan
sebagai seorang sekretaris serikat pekerja sepantasnya bila saya diajak omong baik-baik di dalam ruangan. Kalau kalimat terakhir yang saya ucapkan dianggap tidak hormat pada atasan, itu juga merupakan bahasa yang dipergunakan seorang pemimpin koran terbesar, koran intelektual, dalam berkomunikasi dengan karyawannya.


8 Desember 2006

Pagi-pagi saya menerima desas-desus bahwa saya telah dipecat dari Kompas mulai hari itu. Saya semula tidak percaya, tetapi sore hari saya menerima kabar itu langsung dari atasan saya., Wakil Editor Kennedy Nurhan. Saya kemudian membagikan sisa fotokopi tulisan yang masih ada di tangan saya. Pada saat jam pulang, sekitar jam 16.00 WIB, saya turun ke lantai dasar, di depan lift saya membagikan fotokopi tulisan tersebut. Menurut saya, ini hak orang-orang di lingkungan Kompas dan Gramedia untuk tahu. Peristiwa itu berlangsung menyenangkan. Orang menerima dengan tertawa-tawa sambil kami berfoto-foto. Selebaran itu juga diterima oleh Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Taufik Miharja yang kebetulan lewat. Reaksi spontannya biasa-biasa saja.

Kami bahkan sempat berfoto bersama satpam yang berjaga di situ. Kemudian seorang satpam perempuan meminta berita yang saya sebarkan. Tidak lama kemudian datang Wakil Ketua Satpam, Kiraman Sinambela, langsung "memiting" bahu saya sebelah kanan dan bilang "Ikut ke pos satpam". Saya menolak karena tidak ada urusan dengan satpam. Urusan saya dengan mereka yang mengeluarkan keputusan yang tidak adil itu. Namun saya dipaksa, kemudian saya digotong-gotong. Tangan dan kaki saya dipegang satu-satu, mungkin oleh empat orang satpam. Sepanjang perjalanan ke pos satpam saya berteriak-teriak, "Tolong-tolong, tolong saya dianiaya. Tetapi tidak satu pun orang menolong saya meski menyaksikan peristiwa itu. Saya kemudian disekap di pos satpam.
Saya dengar di luar, seorang pos satpam mengatakan agar tidak seorang pun boleh mendekati ruang penyekapan itu. Saya di ruangan sendirian, di situ saya dihadapi tiga orang satpam.

Khawatir akan terjadi penganiayaan terhadap diri saya, saya segera menghubungi beberapa kawan di Kompas, termasuk GM SDM Kompas Bambang Sukartiono. Saya juga menghubungi rekan-rekan saya diluar melalui handphone. Saat disekap itu saya diwawancara langsung oleh wartawan radio 68H. Cukup lama saya dalam sendirian dan terteror. Setelah cukup lama masuk ke ruang penyekapan, Bambang Sukartiono dan Redaktur Pelaksana Kompas Trias Kuncahyono. Saya sempat mempertanyakan kepada Bambang Sukartino, beginikah cara Kompas memperlakukan karyawannya seolah-olah sebagai seorang kriminal. Kalaupun saya salah, bukankah saya bisa ditegur baik-baik dan diajak berbicara di ruang pimpinan Kompas?

Setelah itu saya diinterogasi. Saya tidak tahu apakah satpam memiliki hak interogasi. Namun karena saya tidak didampingi oleh pengacara saya diam. Ketika satpam menanyakan nama lengkap saya, saya jawab silahkan tanya kepada Bambang Sukartiono atau Trias Kuncahyono. Ketika ditanya, apakah saya tidak bersedia menjawab? Saya menyatakan tidak bersedia. Tak lama kemudian saya ditanya lagi, saya menjawab dengan nada keras, "Apakah pendengaran Anda kurang jelas sehingga ada bertanya lagi meski saya telah mengatakan saya tidak mau menjawab. Trias Kuncahyono sebenarnya mencoba meminta agar saya boleh meninggalkan ruangan. Akan tetapi penyekapan tetap berlanjut. Satpam mengatakan, apakah akan begini terus sampai berhari-hari atau bertahun-tahun. Saya jawab saya tetap tidak akan menjawab sampai kapanpun.

Di depan kamera yang dipasang satpam saya sempat mengatakan, "Pak Jakob, beginikah cara Kompas memperlakukan karyawannya? "

Seperti layaknya seorang kriminal, ketika saya minta izin ke kamar mandi, saya dikawal oleh dua orang satpam. Saya mulai tidak enak badan, perut mulas, lelah secara psikologis. Saya minta izin mengambil jaket di ruang redaksi, tidak diperbolehkan. AC dimatikan, sehingga ruang kemudian menjadi pengap. Saat itulah saya dikunjungi tiga pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas Rien Kuntari dan Luhur serta seorang mantan pengurus Tyas. Saya baru dilepaskan setelah Bambang Sukartiono datang kembali. Penyekapan itu berlangsung selama sekitar dua jam. Saya kemudian dibawa ke lantai tiga, sejumlah satpam mengawal kami.

Setelah cukup lama menunggu, kami diundang masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi Suryopratomo. Di dalam ruangan itu saya didampingi Rien Kuntari dan Luhur. Dari pihak manajemen ada Trias Kuncahyono, Didik, Bambang Sukartiono, dan Retno Bintarti. Di situ saya disuruh menerima surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh redaksi. Dalam surat itu setelah saya baca kemudian antara lain berbunyi "Perusahaan dengan ini memutuskan tidak ada kepercayaan lagi kepada Saudara dan tidak dapat memperpanjang hubungan kerja dengan Saudara terhitung mulai tanggal 9 Desember 2006. Di situ juga dicantumkan larangan saya untuk masuk bekerja di seluruh lingkungan perusahaan. Anehnya surat itu ditandatangi bukan oleh GM-SDM atau Pemimpin/Wakil Pemimpin Umum tetapi oleh Pemimpin Redaksi Suryopratomo. Tidak ada permintaan maaf sepotong katapun dari pimpinan Kompas yang hadir di ruangan itu atas kekerasan yang saya alami.

Saya sempat menyampaikan salam perpisahan kepada teman-teman di lantai tiga yang dekat dengan tempat duduk saya. Saya sempat menempelkan peringatan di meja saya, agar barang-barang pribadi saya jangan diganggu tanpa sepengetahuan saya karena bisa berdampak perdata atau pidana. Saya masih menyimpan buku-buku, surat-surat, dan uang di meja saya.

Saya turun ke bawah bersama isteri saya dan sejumlah wartawan Kompas yang masih berani menunjukkan simpati atas kewenang-wenangan terhadap saya. Di lobi lantai dasar ternyata telah berkumpul puluhan aktivis dan sejumlah wartawan. Di situ saya mengumumkan apa yang baru saja terjadi dan pemecatan terhadap diri saya.


Jakarta, 9 Desember 2006

P Bambang Wisudo

============ ========= ========= =====
Sekretariat AJI JAKARTA
Jl. Prof. Dr. Soepomo No 1 A
Kompl. BIER, Menteng Dalam
Jakarta Selatan 12870
Telp/fax. +62-21-83702660
Website : www.aji-jakarta. org
Newsletter : www.reporter- jakarta.blogspot .com