Saturday, December 9, 2006

Dipecatnya Aktivis Serikat Pekerja Bambang Wisudo dari KOMPAS

KRONOLOGI KASUS PEMBERANGUSAN (AKTIVIS) SERIKAT PEKERJA KOMPAS
13 September 2006

Kesepakatan tentang penyelesaian saham karyawan Kompas tercapai, ditandatangani wakil serikat kerja bernama Perkumpulan Karyawan Kompas dan manajemen PT Kompas Media Nusantara. Pihak perkumpulan ditandatangani Syahnan Rangkuti selaku ketua umum danperusahaan diwakili St Sularto selaku wakil pemimpin umum. Kesepakatan itu sebenarnya merugikan karyawan karena karyawan kehilangan 20 persen saham atas PT Kompas Media Nusantara yang diwariskan oleh Pak Ojong sejak 1980, jauh sebelum ada keputusan Menpen yang mewajibkan perusahaan pers memberikan saham kepada karyawannya. Dalam kesepakatan itu karyawan hanya mendapatkan 20 jaminan alokasi 20 persen deviden PT KMN dan perubahan itu harus melalui persetujuan karyawan.

Perundingan ini cukup menyakitkan karena pengurus sempat memberikan kuasa hukum kepada Tim Advokasi Karyawan Kompas yang akan memperkarakan soal ini secara perdata atau pidana. Menjelang kesepakatan itu memang muncul kekhawatiran bahwa setelah kesepakatan ditandatangani, pengurus serikat akan ada balas dendam terhadap pengurus, terutama berikatan persyaratan bahwa perundingan dilakukan tanpa melibatkan Pemimpin Redaksi Suryopratomo. Kekhawatiran itu ternyata terjadi.


15 November 2006

Rapat redaksi Rabu mengumumkan mutai,rotasi, pengalihan tugas di lingkungan redaksi. Di situ nama saya sebagai sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas diurutkan di bawah Syahnan Rangkuti sebagai ketua Perkumpulan Karyawan Kompas. Dua-duanya dibuang.

Satu pengurus lain dipromosikan menjadi wakil kepala biro. Satu lainnya hanya pindak tugas liputan. Tindakan indiskriminatif ini tampaknya sengaja dilakukan untuk memecah belah pengurus. Dari sederet nama yang dimutasi, tampak secara substansial bahwa sekretaris dan ketua serikat pekerja dibuang.

Rupa-rupanya (belakangan baru diketahui) hari itu juga manajemen mengeluarkan surat keputusan pembuangan saya ke Ambon. Surat Keputusan bernomor 269/Penpen/SK/ XI/2006 yang ditandantangani Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas St Sularto itu menyebutkan terhitung mulai 1 Desember 2006 saya dipindahkan mulai 1 Desember 2006, padahal kepengurusan saya sebagai sekretaris serikat pekerja baru berakhir pada 28 Februari 2007.

18 November 2006

Saya mengirimkan surat protes ke Bapak Jakob Oetama selaku Pemimpin Umum Kompas tentang pembuangan saya ke Ambon yang mengandung pelanggaran terhadap UU Serikat Pekerja/Buruh NO 21/2000 yang menyatakan bahwa karena aktivitasnya atau pengurus serikat pekerja dengan ancaman pidana denda 100 juta sampai 500 juta atau hukuman penjara maksimal lima tahun penjara. Dalam kaitan itu saya juga mengritik cara-cara mutasi yang dilakukan manajemen kompas saat ini yang menutup peluang wartawan untuk semakin pandai dan berkembang menjadi seorang spesialis.

24 November 2006

Pak Jakob membalas surat saya secara pribadi. Surat itu ditulis dalam kertas dan amplop warna kuning dan diantar melalui kurir ke rumah saya. Dalam surat itu Pak Jakob tampak menghindar dari persoalan. Ia hanya mengatakan bahwa telah menerima dan membaca surat itu namun ia tidak terlibat lagi dalam urusan manajemen Kompas. Saya disarankan membawa persoalan ini kepada St Sularto (Wakil Pemimipin Umum) atau Suryopratomo (Wakil Pemimpin Umum). Padahal Pak Jakob masih menjabat sebagai Pemimpin Umum Kompas.

27 November 2006

Saya dipanggil oleh St Sularto yang didampingi GM-SDM Umum Bambang Sukartiono dan staf legal SDM Umum Frans Lakaseru. Mas Larto menyatakan telah mendapat tembusan dari Pak Jakob untuk menyelesaikan kasus saya. Tidak ada yang baru dalam pertemuan itu, ia mengatakan bahwa mutasi saya ke Ambon merupakan pemindahan tugas biasa. Saya menyatakan tidak bisa dilihat begitu, karena wartawan Kompas dengan segera melihat pemindahan saya ke Ambon sebagai wartawan biasa merupakan bentuk pembuangan. Saya menyatakan penolakan dan minta surat keputusan pembuangan saya dicabut. Dalam pertemuan itu Bambang Sukartiono menyebut penugasan saya ke Ambon dalam rangka
"rehabilitasi" . Ia juga menyebut tidak bisa menghapus keputusan yang dibuat begitu saja demi "menyelamatkan muka".

28 November 2006

Saya dipanggil oleh SDM-Umum dalam acara penerimaan SK Mutasi. Saya sebagai sekretaris dan Sdr Syahnan Rangkuti sebagai ketua, yang sama-sama dibuang ke
luar kota jauh dari Jakarta, disertakan dengan mereka yang dipromosikan. Di situ kami hanya mendengar penjelasan teknis hak-hak yang menyertai kepindahan. Dalam kesempatan itu saya menanyakan kepada Bambang Sukartiono alasan pembuangan saya ke Ambon namun tidak mendapat penjelasan yang jelas. Pertanyaan itu saya ulang, juga tidak dijawab jelas. Saya juga menanyakan apa salah saya sehingga saya harus direhabilitasi. Dan kalau SK itu tidak bisa dicabut demi menyelamatkan muka, muka siapa sebenarnya yang mau diselamatkan.

Setelah pertemuan itu, saya berbicara empat mata dengan Sdr. Bambang Sukartiono. Saya menawarkan jalan ketiga. Pembuangan saya ke Ambon dibatalkan. Akan tetapi untuk mendinginkan situasi saya menyediakan diri untuk dimutasi ke wilayah Jawa Barat selatan selama tiga bulan dalam kaitan penguatan profesionalisme saya sebagai jurnalis. Saya ingin mengembangkan kemampuan saya dalam depth reporting, setelah itu dikembalikan ke Jakarta untuk mengembangkan bidang yang sama dengan pilihan desk humaniora, politik, atau investigasi. Saya meminta batas waktu sehari untuk menjawab. Karena diminta memberikan surat tertulis, malam itu juga saya memberikan surat
tertulis.

29 November 2006

Rabu sore saya menanyakan kepada Bambang Sukartiono tentang tawaran saya. Ia menjawab secara prinsip bisa diterima, teknis mau diputuskan kemudian. Saya menanyakan yang diterima apa, apakah termasuk batas waktu penugasan tiga bulan. Ia jawab itu tidak dibicarakan karena tidak tercantum dalam surat saya. Saya cek memang tidak tercantum dalam surat tetapi secara lisan telah saya sampaikan. Karena itu saya membuat surat susulan tertanggal 29 November. Di situ saya tegaskan jangka waktu tiga bulan dan minta akar surat pembuangan saya ke Ambon ditinjau kembali.

Permintaan saya sederhana saja, surat keputusan yang pemindahan saya ke Ambon yang mengarah pada pelanggaran UU Serikat Pekerja/Buruh dicabut atau direvisi. Saya memberikan batas waktu keptusan definitive koreksi atas pemindahan saya selambat-lambatnya Rabu (6/12).


6 Desember 2006

Saya kedatangan aktivis dari berbagai kelompok sejak pukul 16.00 untuk menanyakan keputusan final menyangkut pembuangan saya ke Ambon. Sekitar 40 aktivis mahasiswa, pers mahasiswa, NGO, guru, dosen, dan aktivis bantuan hukum datang. Untuk menunggu batas waktu yang telah saya sampaikan sebelumya kepada manajemen, kami mengadakan diskusi informal tentang pendidikan. Menjelang pukul 18.00 saya mengelepon General Manajer SDM Umum Bambang Sukartiono tentang tuntutan saya untuk membatalkan atau merevisi Surat Keputusan tentang pembuangan saya. Akan tetapi pihak manajemen tidak bisa memberikan jawaban definitif dengan alasan belum menerima putusan dari redaksi.

Penundaan untuk kedua kali keputusan itu saya artikan sebagai penolakan manajemen untuk merevisi SK yang mengandung unsur pelanggaran terhadap UU Serikat Buruh/ Pekerja. Oleh karena itu dihadapan para aktivis yang hadir saya menyatakan sejak malam itu akan melakukan perlawanan sampai SK tersebut dicabut atau direvisi. Saya membagikan tembusan surat yang pernah saya sampaikan kepada Pak Jakob, karena pada surat ke Pak Jakob sudah saya cantumkan bahwa surat itu saya tembuskan ke karyawan dan pihak-pihak terkait. Saya juga menempelkan surat itu di beberapa tempat di lantai tiga dan lantai empat.

Selama ini tidak ada masalah penempelan pengumumuan di tempat-tempat tersebut, baik yang dilakukan oleh Perkumpulan Karyawan Kompas ataupun insiator penyelenggara futsal yang diselenggarakan pada saat genting perundingan saham antara manajemen dengan pengurus. Inisiator penyelenggara futsal itu kini telah dipromosikan menjadi salah satu kepala biro di daerah.



7 Desember 2006

Pagi-pagi saya memperoleh informasi tembusan surat itu telah dicopoti oleh satpam. Siang hari saya membagikan media yang saya tulis sendiri tentang berita pemberangusan aktivis serikat pekerja di Kompas dan tembusan surat untuk Pak Jakob ke karyawan di lantai tiga, empat, dan lima. Ini adalah hak saya sebagai aktivis serikat pekerja untuk memberikan informasi mengenai apa yang terjadi dalam serikat pekerja kepada anggotanya. Ini juga hak setiap orang untuk membuat dan menyebarluaskan informasi sebagaimana juga praktek yang lazim dilakukan seorang wartawan.

Sore hari sekitar pukul 18.00 saya dipanggil oleh Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo yang berdiri di depan televisi di dekat meja sekretariat redaksi. "Wis, sini Wis," katanya. Saya datang berdiri, percakapan terjadi dalam jarak dua meter. Di situ langsung saya ditegur mengapa saya mengadakan pertemuan tanpa izin secretariat redaksi. Saya mengatakan bahwa saya menerima tamu, mereka datang ingin tahu perkembangan akhir rencana pembuangan saya ke Ambon. Dalam perdebatan tersebut Sdr. Suryopratomo mengatakan, "Memang itu ruangan mbahmu". Saya jawab dengan kalimat serupa, "Siapa bilang itu ruangan mbahmu". Sebagai seorang karyawan biasa dan
sebagai seorang sekretaris serikat pekerja sepantasnya bila saya diajak omong baik-baik di dalam ruangan. Kalau kalimat terakhir yang saya ucapkan dianggap tidak hormat pada atasan, itu juga merupakan bahasa yang dipergunakan seorang pemimpin koran terbesar, koran intelektual, dalam berkomunikasi dengan karyawannya.


8 Desember 2006

Pagi-pagi saya menerima desas-desus bahwa saya telah dipecat dari Kompas mulai hari itu. Saya semula tidak percaya, tetapi sore hari saya menerima kabar itu langsung dari atasan saya., Wakil Editor Kennedy Nurhan. Saya kemudian membagikan sisa fotokopi tulisan yang masih ada di tangan saya. Pada saat jam pulang, sekitar jam 16.00 WIB, saya turun ke lantai dasar, di depan lift saya membagikan fotokopi tulisan tersebut. Menurut saya, ini hak orang-orang di lingkungan Kompas dan Gramedia untuk tahu. Peristiwa itu berlangsung menyenangkan. Orang menerima dengan tertawa-tawa sambil kami berfoto-foto. Selebaran itu juga diterima oleh Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Taufik Miharja yang kebetulan lewat. Reaksi spontannya biasa-biasa saja.

Kami bahkan sempat berfoto bersama satpam yang berjaga di situ. Kemudian seorang satpam perempuan meminta berita yang saya sebarkan. Tidak lama kemudian datang Wakil Ketua Satpam, Kiraman Sinambela, langsung "memiting" bahu saya sebelah kanan dan bilang "Ikut ke pos satpam". Saya menolak karena tidak ada urusan dengan satpam. Urusan saya dengan mereka yang mengeluarkan keputusan yang tidak adil itu. Namun saya dipaksa, kemudian saya digotong-gotong. Tangan dan kaki saya dipegang satu-satu, mungkin oleh empat orang satpam. Sepanjang perjalanan ke pos satpam saya berteriak-teriak, "Tolong-tolong, tolong saya dianiaya. Tetapi tidak satu pun orang menolong saya meski menyaksikan peristiwa itu. Saya kemudian disekap di pos satpam.
Saya dengar di luar, seorang pos satpam mengatakan agar tidak seorang pun boleh mendekati ruang penyekapan itu. Saya di ruangan sendirian, di situ saya dihadapi tiga orang satpam.

Khawatir akan terjadi penganiayaan terhadap diri saya, saya segera menghubungi beberapa kawan di Kompas, termasuk GM SDM Kompas Bambang Sukartiono. Saya juga menghubungi rekan-rekan saya diluar melalui handphone. Saat disekap itu saya diwawancara langsung oleh wartawan radio 68H. Cukup lama saya dalam sendirian dan terteror. Setelah cukup lama masuk ke ruang penyekapan, Bambang Sukartiono dan Redaktur Pelaksana Kompas Trias Kuncahyono. Saya sempat mempertanyakan kepada Bambang Sukartino, beginikah cara Kompas memperlakukan karyawannya seolah-olah sebagai seorang kriminal. Kalaupun saya salah, bukankah saya bisa ditegur baik-baik dan diajak berbicara di ruang pimpinan Kompas?

Setelah itu saya diinterogasi. Saya tidak tahu apakah satpam memiliki hak interogasi. Namun karena saya tidak didampingi oleh pengacara saya diam. Ketika satpam menanyakan nama lengkap saya, saya jawab silahkan tanya kepada Bambang Sukartiono atau Trias Kuncahyono. Ketika ditanya, apakah saya tidak bersedia menjawab? Saya menyatakan tidak bersedia. Tak lama kemudian saya ditanya lagi, saya menjawab dengan nada keras, "Apakah pendengaran Anda kurang jelas sehingga ada bertanya lagi meski saya telah mengatakan saya tidak mau menjawab. Trias Kuncahyono sebenarnya mencoba meminta agar saya boleh meninggalkan ruangan. Akan tetapi penyekapan tetap berlanjut. Satpam mengatakan, apakah akan begini terus sampai berhari-hari atau bertahun-tahun. Saya jawab saya tetap tidak akan menjawab sampai kapanpun.

Di depan kamera yang dipasang satpam saya sempat mengatakan, "Pak Jakob, beginikah cara Kompas memperlakukan karyawannya? "

Seperti layaknya seorang kriminal, ketika saya minta izin ke kamar mandi, saya dikawal oleh dua orang satpam. Saya mulai tidak enak badan, perut mulas, lelah secara psikologis. Saya minta izin mengambil jaket di ruang redaksi, tidak diperbolehkan. AC dimatikan, sehingga ruang kemudian menjadi pengap. Saat itulah saya dikunjungi tiga pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas Rien Kuntari dan Luhur serta seorang mantan pengurus Tyas. Saya baru dilepaskan setelah Bambang Sukartiono datang kembali. Penyekapan itu berlangsung selama sekitar dua jam. Saya kemudian dibawa ke lantai tiga, sejumlah satpam mengawal kami.

Setelah cukup lama menunggu, kami diundang masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi Suryopratomo. Di dalam ruangan itu saya didampingi Rien Kuntari dan Luhur. Dari pihak manajemen ada Trias Kuncahyono, Didik, Bambang Sukartiono, dan Retno Bintarti. Di situ saya disuruh menerima surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh redaksi. Dalam surat itu setelah saya baca kemudian antara lain berbunyi "Perusahaan dengan ini memutuskan tidak ada kepercayaan lagi kepada Saudara dan tidak dapat memperpanjang hubungan kerja dengan Saudara terhitung mulai tanggal 9 Desember 2006. Di situ juga dicantumkan larangan saya untuk masuk bekerja di seluruh lingkungan perusahaan. Anehnya surat itu ditandatangi bukan oleh GM-SDM atau Pemimpin/Wakil Pemimpin Umum tetapi oleh Pemimpin Redaksi Suryopratomo. Tidak ada permintaan maaf sepotong katapun dari pimpinan Kompas yang hadir di ruangan itu atas kekerasan yang saya alami.

Saya sempat menyampaikan salam perpisahan kepada teman-teman di lantai tiga yang dekat dengan tempat duduk saya. Saya sempat menempelkan peringatan di meja saya, agar barang-barang pribadi saya jangan diganggu tanpa sepengetahuan saya karena bisa berdampak perdata atau pidana. Saya masih menyimpan buku-buku, surat-surat, dan uang di meja saya.

Saya turun ke bawah bersama isteri saya dan sejumlah wartawan Kompas yang masih berani menunjukkan simpati atas kewenang-wenangan terhadap saya. Di lobi lantai dasar ternyata telah berkumpul puluhan aktivis dan sejumlah wartawan. Di situ saya mengumumkan apa yang baru saja terjadi dan pemecatan terhadap diri saya.


Jakarta, 9 Desember 2006

P Bambang Wisudo

============ ========= ========= =====
Sekretariat AJI JAKARTA
Jl. Prof. Dr. Soepomo No 1 A
Kompl. BIER, Menteng Dalam
Jakarta Selatan 12870
Telp/fax. +62-21-83702660
Website : www.aji-jakarta. org
Newsletter : www.reporter- jakarta.blogspot .com

No comments: