Wednesday, December 6, 2006

“POST-MARXIST SOCIETY”: mungkinkah berkembang di Indonesia ?

Post-Marxisme sebagai sebuah pemikiran telah menjadi gerakan intelektual menyusul kemenangan praksis dan pemikiran neo-liberalisme serta memudarnya semangat reformasi di kalangan pekerja. Ruang politik publik yang ditinggalkan oleh kaum reformis kiri kini telah diambil alih oleh politisi dan ideolog kapitalis, teknokrat serta kelompok agamawan fundamentalis dan tradisional (setidaknya aliran Pantekosta dan “pemerintahan” Vatikan).

Padahal di masa lalu ruangan ini diisi oleh kaum sosialis, nasionalis, politisi kerakyatan dan aktivis gereja yang berafiliasi pada ajaran teologi pembebasan. Ruang kosong yang tadinya diisi oleh kaum kiri radikal kini diganti oleh intelektual politik atau setidaknya oleh perserikatan-perserikatan publik modern, misalnya serikat buruh, kelompok miskin kota.

Situasi perubahan hegemoni ideologi dari kiri radikal menjadi kiri tengah yang cenderung pragmatis ini tidak bisa dilepaskan oleh perkembangan situasi politik, sosial, kebudayaan dan ekonomi global yang sedang terjadi. Perdebatan antara sosialisme dan liberalisme, antara kiri dan kanan menjadi sangat relatif atau bahkan tidak menjadi signifikan lagi. Pernyataan Anthony Giddens yang mau mencoba menyempurnakan bangun ilmu sosial yang merefleksikan situasi global mempunyai implikasi yang tidak sedikit bagi perdebatan Marxisme pada khususnya dan Sosialisme pada umumnya.

Kenyataan globalisasi yang mentransfigurasikan ruang dan waktu dengan kekuatan teknologi informasi membuat manusia juga sedikitnya tidak dipengaruhi oleh dimensi kesejarahan. Ketika manusia dicoba untuk dilepas dari dimensi kesejarahan, maka apakah masih diperlukan ideologi yang de facto selalu mengacu pada pengalaman post factum ? Apakah dengan demikian (meminjam istilah Francis Fukuyama dan Samuel Huntington) sekarang ini adalah tanda waktu yang jelas untuk mengatakan terjadi “kematian ideologis” yang dipicu oleh kekuatan budaya global ? Kalau memang terjadi “kematian ideologis” lalu apakah ada sistem pemikiran yang kurang lebih masih bisa merepresentasikan pengalaman manusia tanpa harus dibatasi oleh kekuatan dominasi gender, budaya, ras, sosial dan lainnya ?

Perkembangan pemikiran post-marxist tidak terlepas dari perkembangan yang ada. Tapi masalahnya apakah memang trend post-marxist ini memang mau mengulangi sejarah filsafat yang memunculkan post-strukturalisme ilmu sosial atas aliran strukturalisme yang sudah ada ? Atau meniru trend pasca modernitas dalam grand naratives-nya Marxisme ? Tentu saja hal itu masih harus dikaji secara lebih mendalam.

Beberapa komponen diskursus pemikiran post-marxist yang sempat dicatat adalah pertama, wacana kegagalan sosialisme dan ideologi sosialisme yang berbasiskan pemikiran Karl Marx. Kegagalan ideologi sosial berikut Marxisme dalam dunia global adalah karena ideologi sosial yang diyakini sampai sekarang sekedar representasi dominasi satu sistem pemikiran, entah dengan bias gender entah dengan bias ras.

Kedua, marxisme sebagai sebuah ideologi secara epistemologis memang bersifat reduksionistis, terutama dengan pandangan tentang kelas sosial. Globalisasi telah mengubah tatanan kelas sosial dan refleksi sosial atas kelas dalam pemikiran Marx menjadi sangat picik dan reduksionis. Hal yang terpenting dalam pembangunan sosial mendatang dan teraktualisasikan adalah pembangunan dan pengembangan kebudayaan serta mempunyai basis pada perbedaan identitas (ras, gender/seks, etnis dsb)

Ketiga, perkembangan civil-society tetap relevan untuk menggantikan peran negara yang cenderung korup dan bertendensi untuk melakukan trade-off atas kebebasan dan demokrasi. Di tambah lagi nation-state dalam era teknologi informasi telah kehilangan batas-batas konvensionalnya (K. Ohmae, 1999). Di tambah lagi dengan fakta bahwa negara-bangsa dengan alasan luhur dan tidak, telah menjadi aktor intelektual bagi munculnya tindak kekerasan (violence).

Keempat, perjuangan kiri tradisional sering berakhir menjadi pemerintahan yang korup dan berakibat pada kemunculan rezim yang tidak kalah otoriter yang pada akhirnya akan mengsubordinasikan civil-society. Perjuangan lokal dengan isu domestik adalah agenda perubahan yang lebih demokratis dan efisien. Tentu saja perjuangan lokal dengan isu yang terdesentralisasikan tetap dimanfaatkan untuk memberikan tekanan pada pimpinan nasional dan internasional.

Kelima, perubahan revolusioner belum tentu akan membuahkan perubahan yang mendasar, justru revolusi akan memperkuat reaksi provokatif dari penguasa. Maka pilihan lainnya adalah berjuang dengan membangun konsolidasi dan transisi demokratis dengan jalan pemilihan umum.

Keenam, solidaritas atas basis kelas adalah bagian dari emosi masa lalu, yang merefleksikan politik dan realitas masa lalu. Kelas menjadi tidak signifikan. Bentuk yang masih ada adalah fragmentasi penduduk daerah di mana kelompok (identitas) tertentu dan daerah mengusahakan swa-sembada dan interdependensi untuk melangsungkan kehidupan berdasarkan pada kerja sama dengan pendukung dari luar. Solidaritaa adalah fenomena persilangan kelas. Solidaritas adalah gestur kemanusiaan belaka.

Ketujuh, kematian imperalisme tradisional. Ekonomi global yang terjadi sekarang adalah ekonomi yang mengembangkan kesalingtergantungan. Dunia yang berkembang adalah dunia yang saling bekerja sama dan bekerja secara internasional dalam usaha dinamika kapital, teknologi dan kebudayaan

Dari ketujuh fragmen diskursus post-marxist tersebut terlihat usaha untuk mengatasi perdebatan klasik antara pemikiran Karl Marx dan teman-temannya dengan pemikiran Adam Smith, John Locke dan teman-temannya. Dalam masyarakat dunia global yang sekarang terjadi rekonsiderasi pemikiran sosial untuk bisa mengantisipasi high-consequence risk-nya dunia teknologi, kapital/pasar, tata etika global dan asumsi run away world-nya Giddens. Oleh sebab itu masih harus ada diskusi yang lebih mendalam atas tema ini:

1. Trend post-marxist ini, sebuah trend intelektual saja atau memang sebuah pemikiran yang mempunyai dasar pemikiran yang kokoh ? Apa rasionalismenya ? Di mana karakter epistemologis sosialnya ?

2. Apa yang sesungguhnya menjadi raison d’etre post-marxis ini ? Sebuah keprihatinan atas akibat perubahan sosial dalam dunia global atau usaha penafsiran baru tradisi marxisme yang sudah tidak bisa diaktualisasikan lagi ? Dengan dasar hak intelektual apa rasionalisasi post-marxis ini harus dikembangkan ?

3. Apakah bentuk masyarakat modern dan global sekarang memang membutuhkan a new ideology yang mewakili kegelisahan sosial mereka dalam kehidupan kesehariannya ? Atau meminjam pernyataan Jurgen Habermas: apakah memang masyarakat perlu mengembangkan die neue Unübersichtlichkeit ? Ketika marxisme tradisional tidak lagi bisa menampung perkembangan global yang dipenuhi oleh ketidakpastian, ketakterdugaan dan ketidakjelasan, lalu sistem pemikiran post-marxist bisa memberikan kontribusi apa ?

4. Kalau masyarakat selalu dipenuhi dengan ketidakjelasan, ketakterdugaan dan ketidakpastian, sistem sosial macam apa yang harus dibangun: solidaritaskah, kerakyatankah, stateless society, masyarakat full-kompromi, civil society ?

5. Apa yang bisa disumbangkan oleh pemikiran sosialisme kontemporer dalam pengembangan wacana masyarakat yang harus semakin humane, sosial, saling mendukung ?

6. Bentuk-bentuk konkret macam apa yang bisa disumbangkan oleh mereka yang percaya pada sosialisme pada masyarakat yang semakin jamak meski di sana-sini ada juga primordialisme, dinamis tapi tetap saja ada masyarakat yang apatis dan ahistoris, konsumeris meski tetap saja ada masyarakat yang selektif, liberal tapi juga ada yang begitu fundamentalis ? Dalam paradoksal-paradoksal macam ini, isi moral apa yang bisa dididikkan kepada manusia muda mengantisipasi perkembangan budaya yang semakin deras, massif dan instan.

Upah Sehari Yang Layak Bagi Kerja Sehari Yang Layak!

Yang di atas ini sekarang, selama limapuluh tahun belakangan, telah menjadi semboyan gerakan klas-pekerja Inggris. Ia telah berjasa sekali pada waktu kebangkitan Serikat-Serikat Sekerja setelah penolakan Undang-Undang Kombinasi yang jahat pada tahun 1824; ia bahkan berjasa lebih besar lagi pada masa gerakan Chartis yang jaya, ketika kaum pekerja Inggris berbaris di depan klas pekerja Eropa. Tetapi zaman kini terus berlalu, dan sangat banyak hal yang dihasratkan dan diperlukan limapuluh tahun, dan bahkan tigapuluh tahun yang lalu, kini sudah ketinggalan jaman dan akan sepenuhnya tidak pada tempatnya. Adakah semboyan lama yang selama ini dikibarkan itu juga termasuk di situ?

Upah sehari yang layak bagi kerja sehari yang layak? Tetapi, apakah upah sehari yang layak itu, dan apakah kerja sehari yang layak itu? Bagaimana mereka itu ditentukan oleh hukum-hukum yang mendasari keberadaan masyarakat modern dan yang mengembangkannya? Sebagai jawaban atas pertanyaan ini jangan kita bersandar pada ilmu pengetahuan moral atau hukum dan keadilan, atau pada sesuatu perasaan kemanusiaan yang sentimental, kewajaran, atau bahkan kedermawanan yang secara moral layak, yang bahkan adil menurut hukum, mungkin sekali sangat jauh daripada layak secara sosial. Kelayakan atau ketidak-layakan sosial ditentukan oleh satu ilmu pengetahuan saja-ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan kenyataan-kenyataan material dari produksi dan pertukaran, ilmu pengetahuan ekonomi politik.

Nah, apakah yang disebut ekonomi-politik sebagai upah sehari yang layak dan kerja sehari yang layak itu? Hanyalah tingkat upah-upah dan lamanya dan intensitas kerja sehari yang ditentukan oleh persaingan dan pemberi-kerja dan yang dipekerjakan di pasar terbuka. Dan apakah mereka itu, jika ditentukan sedemikian?

Upah sehari kerja, dalam kondisi-kondisi normal, ialah jumlah yang diperlukan oleh pekerja untuk memperoleh bekal-bekal kehidupan (means of existence) yang diperlukan, sesuai standar hidup; kedudukan dan negeri, dan untuk menjaga agar dirinya dalam kemampuan kerja dan untuk mengembang-biakkan kaumnya (race). Tingkat upah-upah yang nyata (aktual), dengan fluktuasi-fluktuasi perdagangan, kadang-kadang mungkin di atas, kadang-kadang di bawah tingkat ini; tetapi, dalam keadaan-keadaan layak, tingkat itu seharusnya merupakan rata-rata semua ayunan (oskilasi).

Kerja sehari yang layak ialah lamanya hari kerja dan intensitas kerja sesungguhnya yang dicurahkan tenaga kerja sehari penuh seorang pekerja tanpa melanggar batas kapasitasnya bagi jumlah kerja yang sama untuk hari berikutnya dan seterusnya.

Maka, transaksi itu dapatlah digambarkan sebagai berikut-si pekerja memberikan kepada Kapitalis tenaga kerja sehari penuhnya; yaitu, sebanyak darinya yang dapat diberikannya tanpa menyebabkan ketidak-mungkinan pengulangan terus-menerus transaksi itu. Sebagai penukarnya pekerja tersebut menerima imbalannya, tidak lebih dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang diperlukan untuk menjaga pengulangan transaksi yang sama setiap hari (berikutnya). Si pekerja memberikan sekian itu, Kapitalis memberikan sesedikit itu, sesuai yang diperkenankan dari transaksi tersebut. Ini merupakan jenis kelayakan yang sangat khas.

Tetapi, marilah kita lebih mencermati hal ini. Karena menurut para ekonom-politik, upah-upah dan hari-hari kerja ditetapkan oleh persaingan, maka kelayakan tampaknya menuntut bahwa kedua belah pihak mesti mempunyai awalan yang sama layaknya secara sama-derajat. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Si Kapitalis, jika ia tidak dapat sepakat dengan si Pekerja, dapat saja menunggu, dan hidup dari modalnya. Si Pekerja tidak berkemampuan begitu. Baginya hanya ada upah-upah itu untuk hidup, dan oleh karenanya mesti menerima pekerjaan kapan saja, di mana saja, dan dengan syarat-syarat apa saja yang dapat diperolehnya. Si Pekerja tidak menikmati/memiliki awalan yang layak. Ia sangat dirundung ketakutan akan kelaparan. Namun begitu, menurut ekonomi politik klas Kapitalis, demikian itulah warna sebenarnya dari kelayakan itu.

Tetapi ini baru sebagian kecil saja. Penerapan tenaga mekanik dan mesin dalam pekerjaan-pekerjaan baru, dan perluasan dan perbaikan-perbaikan mesin dalam usaha-usaha yang sudah menggunakannya, terus menggusur semakin banyak "tangan" (pekerja); dan itu terjadi dalam laju yang jauh lebih cepat daripada laju "tangan-tangan" itu dapat diserap oleh, dan menemukan pekerjaan di dalam, usaha-usaha manufaktur negeri bersangkutan. "Tangan-tangan" yang digantikan ini membentuk barisan cadangan industrial yang sesungguhnya untuk kegunaan Modal. Jika perdagangan sedang buruk, mereka itu bisa kelaparan, mengemis, mencuri, atau ke tempat-kerja; jika perdagangan sedang baik, mereka siap (dipakai) untuk meluaskan produksi; dan hingga laki-laki, perempuan atau anak terakhir dari barisan cadangan (tenaga kerja cadangan) ini akan memperoleh pekerjaan-yang, hanya terjadi pada masa-masa kekalutan over-produksi-hingga di situlah persaingannya akan menekan upah-upah, dan dengan keberadaannya saja memperkuat kekuasaan Modal dalam pergulatannya dengan Kerja. Dalam perlombaan dengan Modal itu, Kerja tidak saja berintangan, ia harus pula menyeret sebuah bola-besi raksasa yang dikelingkan pada kakinya. Namun ini (pun) adalah layak menurut ekonomi politik Kapitalis.

Tetapi, mari kita meneliti dari dana apakah Modal (Capital) membayar upah-upah yang sangat layak ini? Dari modal, tentu saja. Tetapi, modal tidak menghasilkan nilai. Kerja, di samping tanah, adalah sumber kekayaan satu-satunya; modal itu sendiri tidak lain dan tidak bukan hanyalah tumpukan/timbunan hasil kerja. Sehingga upah-upah Kerja dibayar dari kerja, Dan si pekerja dibayar dari hasil (kerja)-nya sendiri. Menurut yang dapat kita sebut kelayakan umum, upah-upah pekerja semestinya terdiri atas produk (hasil) kerjanya sendiri. Tetapi itu tidak akan layak menurut ekonomi politik. Sebaliknya, hasil kerja pekerja pergi kepada Kapitalis, Dan si pekerja mendapatkan dari situ tidak lebih daripada kebutuhan-kebutuhan dasar kehidupan. Dan demikianlah kesudahan perlombaan persaingan yang luar-biasa layak ini adalah bahwa hasil kerja dari yang melakukan pekerjaan secara tidak-terelakkan lagi berakumulasi di tangan-tangan mereka yang tidak bekerja, dan di tangan mereka itu menjadi alat yang paling kuasa untuk memperbudak justru orang-orang yang menghasilkannya.

Upah sehari yang layak bagi kerja sehari yang layak! Masih banyak lagi yang dapat disampaikan mengenai kerja sehari yang layak itu, yang kelayakannya sepenuhnya setara dengan kelayakan upah-upah itu. Tetapi hal ini mesti kita bicarakan di lain kesempatan. Dari yang diuraikan di atas, jelas sekali bahwa semboyan lama itu telah kedaluwarsa, dan dewasa ini tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Kelayakan ekonomi politik, yaitu sebagaimana yang dengan sebenar-benarnya menentukan hukum-hukum yang menguasai masyarakat sekarang, kelayakan itu sepenuhnya ada pada satu pihak-pada pihak Modal.

Maka itu, biarlah semboyan lama itu dikubur untuk selama-selamanya dan digantikan dengan semboyan lain:
Pemilikan atas alat-alat kerja-bahan mentah, pabrik-pabrik, mesin-mesin-oleh rakyat pekerja sendiri.

Memiskinkan Masyarakat: Krisis Berganda Dalam Neoliberalisme

Problem mendasar neoliberalisme adalah ia tidak mampu menciptakan suatu kebijakan yang dapat diramalkan stabil dengan harapan yang didukung oleh pertumbuhan berkelanjutan dan keuntungan berlipat yang menghasilkan konsolidasi jangka panjang. Meskipun demikian, rejim yang menyertai pendekatan ini sudah mengungkapkan suatu kapasitas yang gaib untuk reproduksi diri mereka sendiri. Keadaan tanpa alternatif ini mendorong suatu radikalisasi lebih lanjut dari “penyesuaian” dan “stabilisasi” tindakan menyertainya secara lambat, tetapi pasti, pertumbuhan gerakan oposisi sosial-politik menentang aturan dan model mereka.

Pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh para penganjur model ini adalah, “mengapa neoliberalisme menyebabkan kita terjerambab ke dalam krisis yang lebih dalam pada setiap gelombang baru penyesuaian ketimbang kemakmuran dan ekonomi lepas pandas?” Kunci untuk memahami SAPs adalah dengan mengonseptualisasikan kembali pengertian tentang politik dan strategi kelas. Karena, inilah sebab utama untuk mengubah wilayah perjuangan sosial dan mengonsentrasikan kembali kekuasaan politik, seperti halnya memperluas jurang kemakmuran antara yang kaya dan yang miskin. Wacana tentang pembangunan sosial-ekonomi adalah sebuah pemikiran yang berada di pinggiran (peripheral). SAPs didahului oleh tindakan “stabilisasi” yang berwatak politik, yang menciptakan tanah tak bertuan untuk semakin dalamnya “penyesuaian” berikutnya.

Tipikal dari tindakan “stabilisasi” menciptakan penghalang bagi munculnya resistensi rakyat terhadap SAPs yang semakin menyulitkan mereka. “Stabilisasi” menyebabkan terjadinya krisis ekonomi, yang mengakibat kekuatan kelas buruh dan kelas menengah terkonsentrasi dalam perjuangan untuk keberadaannya. SAPs juga melemahkan gerakan rakyat dengan target membentengi buruh terorganisasi, khususnya sektor publik, buruh tambang dan perserikatan minyak tanah. Dalam lingkungan sedemikian, para pemimpin buruh dengan cepat dikepung dan ditakut-takuti dengan ancaman dipenjarakan. Di Argentina, Brazil dan Venezuela, di mana serikat buruh mengurus multi-jutaan dolar anggaran kesehatan dan kesejahteraan, para pemimpinnya segan untuk memobilisasi oposisi politik terhadap “penyesuaian,” karena sumber daya moneter dan organisasinya berada dalam bahaya jika menentang “stabilisasi.”

Dibandingkan dengan asumsi dasar pemikiran ekonomi SAPs, sangat relevan untuk menekankan logika politik yang mendasari kebijakan “stabilisasi” dan konsekwensi-konsekwensi ekonomi-sosialnya. Kebijakan neoliberal hanya menyumbang sedikit pada pembangunan ekonomi. Privatisasi atau penjualan aset publik hanya menyumbang sedikit bagi fasilitas produktif baru. Paling baik, terjadi tambahan investasi, tetapi sebagian besar adalah aliran masuk sumberdaya asli sebagai lawan pengimbang bagi aliran keluar yang lebih besar ke kantor pusat (sebagai hasil depresi pasar Amerika Latin). Privatisasi besar-besaran perusahaan milik negara bergandengan tangan dengan kehancuran ekonomi secara besar-besaran, menciptakan masalah pembayaran. Dan itu semua tak ada jalan keluarnya.

Liberalisasi perdagangan, penghapusan secara sepihak atau pengurangan yang drastis tentang tarif, gagal menciptakan perusahaan yang kompetitif. Keadaan ini mendorong terjadinya kebangkuran secara massif, penguasaan pasar oleh sejumlah kecil perusahaan-perusahaan besar dan/atau ketergantungan yang tinggi pada impor luar negeri. Antara tahun 1986 dan 1994, kegagalan produk ekspor bisa seiring dengan impor yang mentransformasikan neraca perdagangan wilayah yang positif dalam jumlah besar menjadi defisit sebesar $US 18 milyar. Pembukaan perdagangan berasumsi bahwa goncangan dari kompetisi akan mempercepat perusahaan untuk meningkatkan kecanggihan tekonologinya, meningkatkan mutu angkatan kerja mereka, menemukan pasar luar negeri dalam kerangka waktu dan konteks global yang jauh melebihi kapasitas setiap negeri atau perusahaan dibandingkan dengan tahapan perkembangannya. Penerapan dari kebijakan mengenai perdagangan terbuka ini independen terhadap kekhususan sejarah dan kemampuan suatu negeri mencerminkan asal-usul mereka di dalam sistem kepercayaan doktrinalnya ketimbang seluruh sejarah atau konteks situasi yang empirik.

Liberalisasi arus keuangan tidak menyumbang pada investasi modal baru dalam skala besar dan aktivitas produktif jangka panjang. Arus keuangan terbaru lebih mengarah pada pengejaran tingkat bunga tinggi dalam jangka pendek dan keinginan pemerintah untuk memperkuar cadangan asing, mengadakan pertemuan untuk pembayaran hutang atau keseimbangan keuangan eksternal. Pada 1990, investasi portofolio tercatat sekitar 3.7 persen dari seluruh investasi asing di Amerika Latin; selama 1993 sampai 1995, jumlah tersebut melonjak hingga mencapai angka 42 persen dan 62 persen. Deregulasi keuangan sering dihubungkan dengan pertumbuhan spekulan modal: masuk gampang dan keluar cepat. Praktek yang bersifat untung-untungan ini lalu ditiru oleh investor lokal yakni, mereka yang mengambil keuntungan dari deregulasi untuk memindahkan modalnya ke dan dari rekening-rekening luar negeri atas dasar pergeseran di dalam tingkat bunga yang terintegrasi pada pembukaan, peningkatan biaya pinjaman untuk produsen lokal dan perilaku pengusaha yang memeras keuntungan dari pembayaran bunga. Hasil dari meningkatnya jumlah utang pada bank, moda produktif pada umumnya melakukan tekanan pada pengurangan upah dan pembayaran sosial bagi pekerja. Sebagian besar pemberi mensubkontrakkan pekerjaannya kepada apa yang disebut sektor informal atau mengalihkan modalnya dari investasi produktif yang lambat pertumbuhannya ke dalam aktivitas perputaran komersil yang tinggi atau surat utang (obligasi) pemerintah yang menguntungkan. Dengan kata lain, strategi neoliberal hanya makin mengonsentrasikan keuntungan pada pihak swasta dan meningkatkan ketergantungan pada pihak asing dan monopoli kepemilikan ketimbang, merangsang keahlian pengusaha, investasi produktif atau membayar pekerja dengan baik.

Bahkan, yang tidak meyakinkan adalah argumentasi neoliberal bahwa pengurangan secara besar-besaran anggaran sektor sosial akan membantu pengusaha dan investor untuk menghapuskan biaya-biaya berlebihan yang selalu merintangi akumulasi dan pertumbuhan. Pemotongan program-program sosial mengikis produktivitas buruh dan mendorong tingginya perputaran pekerja. Kebijakan itu juga menyebabkan hilangnya keahlian yang dihubungkan dengan stabilitas ketenaga-kerjaan. Strategi ini juga mendorong investasi padat karya yang mana, pada gilirannya, memperlemah rangsangan untuk melakukan riset dan pengembangan yang menciptakan inovasi teknologi baru. Pertumbuhan neoliberalisme telah menelurkan suatu angkatan perang yang luas dari tenaga kerja “informal” (terlepas dari manfaat sosialnya) yakni, mereka yang tidak memiliki masa depan dan sering terlibat dalam aktivitas obat terlarang dan pasar gelap. Di Brazil, sebagai contoh, ekonomi “informal” tercatat hampir 30 persen menyumbang pada sirkulasi pajak di dalam sistem keuangan negeri itu pada 1992, setara dengan kira-kira 60 persen GDP tahunan. Dan sebagian besar hal itu berhubungan dengan perdagangan obat terlarang dan aktivitas keuangan ilegal, korupsi dan penyelundupan. Keuntungan tinggi yang terus bertumbuh ternyata tidak diinvestasikan ke dalam pasar domestik yang sedang mengalami depresi, dengan sejumlah besar pekerja atau konsumen berpendapatan rendah. Justru yang terjadi, keuntungan tersebut diinvestasikan pada pasar luar negeri (Mercosur, NAFTA) dan spekulasi global.

Gagasan dasar neoliberalisme sesungguhnya adalah memprioritaskan pembayaran utang luar negeri melebihi atau di atas kepentingan pembangunan domestik. Argumentasinya, kepercayaan investor/kreditor luar negeri penting untuk mengamankan arus masuk modal dalam pembangunan kembali ekonomi. Dalam prakteknya, kewajiban untuk secara total membayar utang luar negeri tepat pada waktunya telah mendorong terjadinya kerusakan infrastruktur fisik: jalan-jalan, sistem transportasi, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang semakin buruk, terkecuali fasilitas pribadi untuk para elite. Transportasi atau jaringan pemasaran yang terkait dengan sektor produktif telah digantikan oleh sebuah pusat sistem “suara” yang terhubung dengan kantong-kantong produktif di kota-kota pusat aktivitas ekspor untuk pasar luar negeri. Pembangunan kantong-kantong tersebut menghasilkan statistik pertumbuhan ekspor yang tinggi dan capaian pembayaran hutang yang baik. Tapi, akibatnya sebagian besar propinsi secara ekonomi tak tergarap. Penghancuran infrastruktur, berhubungan dengan dipangkasnya investasi modal negara di bidang komunikasi dan transportasi, telah mengurangi minat untuk investasi produktif khususnya di luar kota besar. Kemunduran pendidikan publik dan perluasan pendidikan swasta elit, juga berhubungan dengan spesialisasi ekonomi yang merupakan makanan empuk bagi pasar luar negeri dan investor spekulatif. Spekulan modal dan pemilik utang luar negeri pada akhirnya mengontrol populasi angkatan kerja yang lemah akibat stagnasi ekonomi.

Keterbukaan pada modal asing (khususnya penghapusan proteksi bagi sektor-sektor strategis) melalui deregulasi, insentif pajak dan wilayah perdagangan bebas, menyebabkan terjadinya investasi dalam produksi impor dengan nilai tambah kecil (pabrik perakitan, pertambangan, kehutanan, kelautan, dan pertanian). Penghapusan atau penurunan pajak bagi perusahaan multinasional, menyebabkan kemerosotan pendapatan negara dan peningkatan pajak bagi bisnis lokal dan mereka yang memperoleh upah. Usaha mengganti kerugian akibat merosotnya pendapatan perusahaan melalui pemotongan anggaran sosial, merupakan bahan bakar meletusnya kerusuhan sosial. Keadaan ini dalam jangka panjang menggerogoti investasi produktif skala besar. Neoliberalisme menciptakan budaya investasi yang bersandar pada tenaga kerja murah terus menerus. Investasi sosial minimal adalah kondisi khusus yang ditetapkan untuk investasi baru atau investasi yang berkelanjutan. Rendahnya biaya tenaga kerja tidak melulu untuk menarik modal agar masuk tapi, sebuah susunan dan sebuah kondisi yang diasumsikan untuk investasi kapitalis yang “normal.”

Jadi, pengorbanan kelas pekerja bukan sebuah syarat jangka pendek bagi kemakmuran. Melainkan, sebuah kondisi struktural jangka panjang untuk konsentrasi pendapatan. Dengan merosotnya pasar internal, rata-rata tingkat kebangkrutan bisnis dan pertanian yang tinggi, ketergantungan pada impor yang besar dan biaya-biaya uang yang tetap tinggi (yang digunakan untuk pembayaran utang luar negeri, ketidakseimbangan eksternal, pelarian modal), rejim neoliberal menghadapi defisit anggaran domestik dan membutuhkan pinjaman eksternal. Untuk menjamin dukungan keuangan eksternal, bagaimanapun, mereka harus menerapkan SAPs baru, yang pada gilirannya menciptakan kembali kondisi-kondisi untuk krisis yang baru. Proses ini terus berlanjut mengikuti spiral yang tetap: upah yang merosot dan hancurnya kondisi-kondisi sosial, sementara kelas dalam negara dan sektor swasta terkait dengan sirkuit baru pertumbuhan kekayaan. Kepemilikan asing pada sumberdaya-sumberdaya semakin berlipatganda, sehingga tingkat bunga dan keuntungan semakin tinggi berlanjut pada spiral menaik yang menciptakan sebuah klas baru yang supermilioner.