Friday, December 22, 2006

Buruh: Eksploitasi Dan Perlawanan

Labor terdefinisi dalam kedudukan bahasa Latin dengan makna kerja keras, bekerja berat, bersusah payah dan membanting tulang. Labor diterjemahkan sebagai kata yang mengandung arti penderitaan, perusakan, menyusahkan, menghadapi kesulitan, kelelahan dan sakit yang berat. Bersamaan turunan kata, labor dikaitkan dengan hasil pekerjaan perladangan dan perkebunan.

Secara umum, labor identik kaum buruh, pekerja dan karyawan swasta yang membentuk kesatuan dalam kesamaan pandangan, keyakinan politik, argumentasi orang tertindas dan himpunan orang-orang yang mengalami kekerasan struktural oleh negara ataupun perusahaan. Dengan menempatkan pengertian terbatas, maka jauh dari harapan sesungguhnya bahwa pekerja - buruh, jongos, bedinde, pembokat, ataupun koeli, tetap memberikan konotasi terendah, paling hina dalam stempel struktur bahasa dan kelazimannya.

Eksploitatif dan Perlawanan

Sesungguhnya, pengertian buruh tidak harus ditempatkan dalam struktur ekonomi yang vis a vis dengan majikan, juragan, pengusaha atau negara dalam artian politis. Dengan pengertian yang dangkal ini, buruh mengalami degradasi rational-animale sebagai kaum terbuang, terisolasi dan termarginalkan. Perasaan dan pikiran eksploitatif ini terbentuk sejak lama sehingga melahirkan kebangkitan dan perlawanan.
Perlawanan buruh terbesar terjadi di Amerika Serikat pada 4 Mei 1886. Ketika itu belasan polisi dan buruh tewas dalam kerusuhan berdarah di pusat bisnis Haymarket, Chichago, Illinois. Para pemimpin buruh ditangkap dan sebagian dihukum mati. Kerusuhan itu adalah puncak dari demonstrasi nasional 400 ribu buruh Amerika sejak 1 Mei 1886. Tuntutannya adalah pengurangan jam kerja menjadi 8 jam kerja sehari.
Dengan peristiwa yang terjadi di berbagai penjuru dunia tentang perlawanan kaum buruh, Kongres Sosialis Dunia di Paris menetapkan pada 1 Mei sebagai hari Buruh Sedunia. Ikon dan konteks buruh di Indonesia sesungguhnya adalah keseluruhan kebijakan politik sejak pemerintahan Hindia Belanda. Eksploitasi alam disertai tenaga manusia terekam dalam karya Multatuli yang menggugat pemerintah Belanda dengan memaksa rakyat Hindia-Belanda untuk membangun jalan-jalan, perkebunan kopi, cengkih, pala (rempah-rempah) dan tanam paksa (culturstelsell system).

Ingatan kolektif bangsa ini sangat mempengaruhi perilaku akibat kerja rodi dan romusha jaman penjajahan. Akan tetapi, di awal 80-an, konteks perlawanan buruh di Indonesia mengalami perubahan. Tekanan rezim pemerintah, memaksa serikat buruh dan dagang bergerak di bawah tanah. Partai pengusung sosialis dan kaum buruh dilemahkan. Buruh tidak tampil dalam ikatan serikat pekerja tapi lewat ikon pribadi yang tertindas seperti Marsinah dan Lisa Bonet, sebagai potret tertindas, teraniaya dan menderita. Barulah pasca reformasi, eskalasi pertumbuhan partai dan organisasi serikat buruh merebak bagaikan jamur di musim hujan.

Longmarch Pemikiran Marx

Penderitaan kaum buruh adalah longmarch pemikiran Marx dalam argumentasi perhitungan infrastruktur dan suprastruktur lembaga-lembaga negara terhadap aktifitas rakyat. Dalam hal ini, sosialis yang dimaksudkan Marx adalah kebersamaan/communio diatur oleh negara dan meniadakan kepemilikan pribadi (versted right). Marx menghendaki adanya keseimbangan dan kesempatan yang sama dalam bernegara dan mendapatkan hak-hak sama-rasa dan sama-rata. Negara adalah pembagi adil dan poros kekuasaan yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat seutuhnya.

Bertentangan dengan pemikiran tersebut, para pendiri negara (the founding fathers) mengartikulasikan negara menjamin hak hidup dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal ini tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dimana negara memberikan hak-hak keberdayaan terhadap warga negara di bidang pendidikan, agama, berserikat, mengeluarkan pendapat dan pekerjaan dan kehidupan yang layak.


Pengejahwantahan/implementasi hak dan kebebasan buruh yang diberikan negara masih terbatas. Hak-hak buruh justru mengalami perubahan dari akomodasi politis menjadi perluasan ekonomis bagi para pengusaha dalam hal ini intervensi dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Undang-Undang dijadikan pertautan psikologis antara kebutuhan mencari dan mendapatkan pekerjaan dengan nilai usaha atau keuntungan bagi pihak majikan atau pengusaha.

Pertemuan kepentingan antara poros ekonomi (pengusaha, investor asing) dan politik (pemerintah; DPR, Presiden) dalam pengambilan kebijakan, akan sangat merugikan kaum buruh dan melemahkan usaha-usaha kooperatif yang dibangun selama proses reformasi. Pertentangan buruh–majikan sesungguhnya berada dalam bidang regulasi dan kehendak aspiratif legislatif serta eksekutif. Jika demikian, manakah jalan-jalan advokasi yang harus dilakukan buruh? Menggelar aksi demo, unjuk rasa dan drama kaotik buruh tidaklah cukup menghadapi perselingkuhan aktor ekonomi dan politik untuk mengubah nasib buruh.

Posisi Buruh

Perjuangan hak-hak kaum buruh atas kewajiban majikan harus lebih cerdas, terarah dan sesuai legitimasi hukum serta memenuhi unsur-unsur berkeadilan. Negara sebagai aktor intervensi regulatif harus mampu memainkan fungsi pemerintah yang mengemban kedaulatan rakyat. Posisi buruh harus ditempatkan sebagai bagian dari aspirasi rakyat yang menuntut keadilan. Apabila pemerintah tidak dapat memberikan kepastian dan kelayakan hidup serta pekerjaan terhadap rakyatnya, maka pemerintah gagal menjalankan fungsi dan tugasnya untuk kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya, kedudukan buruh terhadap majikan atau pengusaha juga ditempatkan pada proporsinya. Terminologi buruh terhadap majikan adalah orang yang bekerja dan mendapatkan gaji atau upah bekerja. Akan tetapi, dilema dan kesulitan menempatkan posisi buruh terjadi pada saat majikan melakukan ekspansi usaha dan tuntutan “pungli” berlebihan oleh pemerintah. Begitu banyak retribusi, pajak tak bertuan, sumbangan keamanan lingkungan, sumbangan perayaan hari-hari besar yang harus dikeluarkan oleh pihak majikan/pengusaha. Alhasil, keuntungan perusahaan diperas oleh unnormally circumstances yang membuat neraca laba perusahaan morat-marit dan mencari kompensasi (equibilirium) keseimbangan.

Kompensasi kondisi di atas, memberikan implikasi pemberian upah yang sangat minim dan pengerusan tenaga kerja yang berlebihan. Inilah posisi dilematis yang dialami buruh. Situasi tersebut terjadi berlarut-larut tanpa ada upaya konkrit baik dari pihak manajemen perusahaan dan pemerintah. Mediasi yang terputus akan berakibat fatal pada pemogokan dan kerugian sektor produksi.

No comments: