Thursday, December 14, 2006

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir, Perlukah?

RENCANA pemerintah untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir makin terang benderang. Apalagi setelah Australia mengungkapkan minatnya untuk membantu. Empat unit pembangkit berkapasitas 1.000 megawatt electrik (MWe) mulai ditenderkan tahun depan. Pembangunan akan dimulai tahun 2010. Diharapkan tahun 2016 pembangkit pertama sudah beroperasi dan mampu memenuhi 10% dari kebutuhan listrik Jawa-Bali.

PLTN konon merupakan jawaban atas krisis energi, seiring dengan meningkatnya kebutuhan listrik bagi industri dan rumah tangga. Menurut Menteri Riset dan Teknologi Koesmayanto Kardiman, saat ini sumber pembangkit listrik Indonesia bergantung pada minyak dan gas alam. Oleh karena itu, tenaga nuklir merupakan sumber energi yang semakin penting. Pembangkit yang menggunakan bahan bakar uranium ini mampu menghasilkan daya yang banyak, sehingga sudah menjadi sumber listrik utama di negara-negara maju.

“Dalam kebijakan energi nasional 2016, kita akan punya PLTN pertama. Dan sekarang kita sudah persiapkan itu. Tugas saya memberikan masukan kepada Presiden melalui kajian teknologi seberapa layak dia, dilihat dari faktor keamanan, faktor lingkungan, kemudian kajian tekhnologi, dan kajian ekonomis. Karena (nuklir) adalah barang dagangan saya, pasti saya bilang bagus, dong...” kata Koesmayanto Kardiman kepada VHR.

Setelah unit pertama sukses, unit-unit selanjutnya akan terus dibangun. Menurut rencananya, pada tahun 2025 keempat unit pembangkit itu sudah beroperasi dan menghasilkan daya sebesar 4.000 MWe.

Penelitian mengenai kemungkinan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir sudah dilakukan oleh Badan Tenaga Atom Nasional sejak sepuluh tahun lalu. Tempat yang paling ideal untuk pembangunan itu adalah tiga buah titik di Semenanjung Muria, Jawa Tengah.

Biaya untuk membangun pembangkit tersebut tidak tanggung-tanggung. Menurut kepala hubungan masyarakat BATAN, Ferhat Aziz, setiap pembangkit berkekuatan 1.000 MWe membutuhkan dana US$ 1,7 miliar. Namun, investasi sebear itu akan mampu menghasilkan energi listrik yang murah. Sedangkan harga jual daya listrik mencapai US$ 3,5 sampai US$ 4,2 sen per kilowatt. Harga tersebut jauh lebih murah dibandingkan dengan harga jual listrik dengan tenaga uap bumi, yakni US$ 6 sen per kilowatt. Sedangkan listrik dengan pembangkit batu bara dijual US$ 4,2 sen per kilowatt. Sedangkan harga jual daya listrik yang diproduksi Paiton mencapai US$ 8,2 sen per kilowatt.

“Investasi nuklir memang mahal, sekitar US.700 sampai US$ 2.000 per kilowatt listrik. Jadi, kalau kita perlu 1.000 megawatt listrik, maka kita perlu kalikan itu dengan 1 juta. Jadi, perlu US$ 1.700 juta. Jadi, memang agak mahal,” katanya.

Masih menurut Ferhat, saat ini banyak investor asing yang berminat membangun pembangkit listrik tersebut. Negara-negara yang sudah berpengalaman membangun pembangkit listrik tenaga nuklir seperti Jepang, Amerika Serikat, Prancis, dan Korea sudah siap bekerja sama membangun pembangkit itu.

“Untuk pembangkit listrik, kita nanti terbuka saja. Siapa yang menawarkan ranium paling murah, kita ambil, walaupun kita sendiri punya cadangannya. Kita menerima mana yang paling ekonomis dan paling menguntungkan,” ujarnya.

Ferhat menambahkan, untuk permulaan pembangkit tersebut akan dikelola pihak asing yang memang sudah memiliki pengalaman dalam pembangunan dan pengelolaan PLTN. Namun, pelan-pelan akan dikelola oleh orang Indonesia.

“Awalnya memang sulit. Karena itu, rencananya untuk membeli PLTN, kita terima beres. Nanti setelah itu kita buat satu per satu. Itu yang namanya technology transfer. Jadi, ketergantungan teknologi ada benarnya, pada awalnya,” katanya.

Seperti di tempat-tempat lain, aktivis lingkungan hidup selalu menolak pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Sebab, walaupun tenaga nuklir sangat efisien, tetap saja membahayakan lingkungan dan keselamatan manusia karena mengadung zat radioaktif. Kandungan radioaktif nuklir tidak dapat hilang sampai ratusan tahun. Padahal, zat radioaktif dapat menyebabkan kerusakan genetik manusia, bisa membuat ibu hamil melahirkan anak cacat.

Menurut Dian Abraham, Sekretaris Masyarakat Anti-Nuklir Indonesia (Manusia), pembangkit tenaga nuklir akan menyebabkan ketergantungan energi dalam bentuk lain. Bahan bakar nuklir, uranium, merupakan bahan tambang yang juga tidak dapat diperbarui sebagaimana bahan minyak dan gas.

“Kalau pilih nuklir, kita justru jatuh ke perangkap lain. Kita mau membebaskan diri dari perangkap fosil fuel, termasuk karena climate change. Kita perlu keluar dari energi fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Tapi kita jangan jatuh ke perangkap lain! Nah, Indonesia lebih terperangkap lagi, karena sumber daya kita akan sangat tergantung pada tenaga asing, termasuk bahan bakunya, uranium,” kata Dian.

Jika pembangkit nuklir mengalami kecelakaan, akibatnya sangat mengerikan. Apalagi sampai saat ini belum ada pembangkit nuklir yang aman seratus persen. Apalagi jika pembangkit itu ditempatkan di daerah rawan bencana, di Jawa Tengah. Padahal, Jawa merupakan pulau padat penduduk dan tanahnya rawan gempa bumi karena berada di wilayah cincin api Pasifik. Karena itu, Nurhidayati, juru kampanye Greenpeace Indonesia, mengingatkan agar pembangunan PLTN Muria dibatalkan saja.

“Reaktor nuklir, PLTN, secara inheren berbahaya. Di mana pun di seluruh dunia, industri nuklir selalui diwarnai oleh kecelakaan, kesalahan teknis, insiden. Itu setiap hari selalu terjadi. Ketika reaktor semacam ini diletakkan dalam kondisi yang berbahaya, yaitu daerah yang rawan bencana, risikonya akan berlipat-lipat, yang akan menimbulkan dampak jangka panjang: radiasi hingga ribuan tahun!” jelas Nurhidayati.

Masalah lain yang mungkin bisa menyebabkan bencana nuklir adalah kesalahan manusiawi para pengelola pembangkit nuklir. Jika ini terjadi, maka bencana mengerikan akan terus menghantui. Menurut doktor bidang nuklir Iwan Kurniawan, orang-orang Indonesia umumnya kurang displin. Padahal, mengelola pembangkit nuklir butuh kedisiplinan yang luar biasa. Dan jika teledor sedikit, maka bencana bisa datang sewaktu-waktu.

“Saya masih khawatir terhadap kemampuan bangsa ini dari segala sisi. Karena banyak sekali yang kita belum siap. Misalnya dari segi disiplin. Kalau PLTN ini dikorupsi, risikonya sangat besar. SDM yang tidak disiplin, kerja dalam PLTN kan tidak sembarangan! Orangnya tidak siap. Lumpur aja (maksudnya lumpur panas di Porong-Red) meledak. Modalnya tergantung dari luar negeri. Yang lebih hebat lagi ini akan menciptakan ketergantungan energi, baik bahan baku maupun teknologi, yang nanti dampaknya ketergantungan secara politis,” kata Iwan Kurniawan.

Pada tahun 1980 sebuah pembangkit nuklir di Chernobyl, Rusia, meletus. Ribuan orang terbunuh, jutaan orang terkena radiasi dan mengalami cacat seumur hidup. Radiasi itu juga menyebabkan para perempuan melahirkan bayi cacat. Limbah radiasi Chernobyl terus merusak lingkungan hidup sampai ratusan tahun. Mengerikan!

Siapa dapat menjamin peristiwa Chernobyl tidak terjadi di tempat lain?

No comments: