Thursday, December 14, 2006

Wartawan Indonesia: Besar di Luar, Kecil di Dalam Perusahaan Sendiri

Seperti dikatakan oleh seorang redaktur perempuan di Medan yang dikutip dalam buku Potret Jurnalis Indonesia—Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota[1], ”Wartawan Indonesia itu besar di luar, tetapi kecil di dalam perusahaan sendiri.”

Pemeo ini bukan hanya berlaku sekarang, tetapi sudah menjadi cermin kehidupan para wartawan atau jurnalis kita sejak puluhan tahun yang lampau. Setidaknya sejak saya baru mulai menjadi wartawan pada tahun 1950-an, para wartawan biasa berkelakar bahwa mereka memiliki dua posisi yang satu-sama-lain jauh berbeda, tetapi antara keduanya hanya dipisahkan oleh satu langkah.

Posisi pertama adalah sebagai “orang penting dan terhormat” ketika sedang naik pesawat terbang kepresidenan untuk meliput acara kenegaraan. Posisi kedua adalah ketika pulang ke rumah yang sederhana dengan berjalan kaki atau naik becak melalui jalan sempit yang becek. (Dulu, jumlah wartawan yang mempunyai sepeda motor masih dapat dihitung dengan jari, apalagi yang memiliki mobil sangat langka).

Sekarang, bayangan saya tentang kehidupan wartawan kita sudah tidak lagi seperti keadaan setengah abad yang lalu. Ada banyak wartawan di Jakarta dan di berbagai ibu kota provinsi yang dapat hidup sejahtera bersama keluarga mereka. Akan tetapi, siapa pun pastilah akan terhenyak ketika mengamati hasil survei Aliansi Jurnalis Independen mengenai keadaan media pers dan kehidupan para wartawannya di 17 kota besar yang hampir seluruhnya ibu kota provinsi.

Wartawan, dan perusahaan pers, pada umumnya masih berada dalam posisi yang kurang beruntung. Sejumlah 29,1 persen wartawan yang berpendidikan S1 masih bergaji di bawah Rp 1 juta sebulan, sedangkan menurut Badan Pusat Statistik, pekerja berpendidikan S1 pada tahun 2003 memperoleh gaji rata-rata Rp 1,48 juta. Tenaga profesional, menurut BPS, rata-rata bergaji Rp 1,1 juta sebulan, sedangkan 34 persen wartawan bergaji di bawah Rp 1 juta.

Yang lebih mengenaskan, masih ada wartawan yang gajinya kurang dari Rp 200.000 sebulan, walaupun hanya 1,5 persen dari jumlah wartawan yang disurvei. Jauh lebih banyak lagi wartawan yang gajinya kurang dari rata-rata upah minimum setempat, yaitu 11,5 persen. Sedangkan wartawan yang memperoleh gaji kurang dari Rp 1.800.000, suatu jumlah yang tetap tidak akan cukup untuk dapat menghidupi seluruh keluarga secara memadai, berjumlah 64,3 persen dari yang disurvei.

Akibatnya, 20 persen wartawan yang disurvei harus memiliki pekerjaan sampingan—di antaranya, ada yang dapat menimbulkan ”konflik kepentingan (conflict of interest)” dengan profesinya sebagai wartawan. Malahan, 61,3 persen menganggap pemberian ”amplop” (umumnya berupa uang) oleh narasumber atau subjek berita kepada wartawan dapat diterima jika gaji dan jaminan kesejahteraan tidak dapat mencukupi keperluan hidup mereka bersama keluarganya.

Batasan ”amplop” yang dapat diterima dan tidak dapat diterima sungguh ruwet. Contohnya, seperti diutarakan oleh seorang redaktur perempuan di Denpasar dalam survei ini: ”Ada narasumber yang akhirnya menelepon saya.... [Ia mem]protes, sudah memberi Rp 1 juta kok [beritanya yang dimuat] cuma satu kolom. [Wartawan yang menerima ’amplop’ itu] pasti akan saya tindak. [Bila ’amplop’ yang diterima wartawan hanya] ... sampai senilai Rp 200 ribu saya maafkan.... Kecuali[, jika] selepas gajian masih menerima [’amplop’], ya saya tegur.”[3]

Jadi, tidak ada kepastian tentang secara bagaimana ”amplop” boleh diterima oleh wartawan. Dalam pandangannya, ”amplop” dapat diterima bila nilainya hanya ratusan ribu rupiah. Tetapi, boleh juga diterima ”amplop” yang bernilai jutaan rupiah, asalkan diimbali dengan pemuatan berita yang panjang judulnya lebih dari satu kolom. Benarkah? Tidak juga. Sebab, wartawan tetap tidak boleh mengambil ”amplop” dari subjek berita bila baru saja menerima gaji di kantornya.

Mengapa redaktur Denpasar itu, kelihatannya, begitu bingung dalam menentukan kebijakan tentang ”amplop”? Karena, bagaimanapun, kebiasaan menerima ”amplop” memang tetap mengusik hati nurani para wartawan.

Misalnya, ada reporter di Palembang yang agaknya ragu untuk percaya bahwa menerima ”amplop” sebagai imbalan bagi banyak kegiatan jurnalistik sebetulnya melanggar etika pers, walaupun sebagian hanya dianggap sebagai pelanggaran yang ringan. Keraguannya menyebabkan ia merasa perlu berkonsultasi dengan seorang kiai.

”Saya sudah tanya ke kiai, katanya boleh saja [menerima ”amplop”]. Asalkan, apa yang kita lakukan itu tidak ada janji di belakang hari,” kata wartawan Palembang itu. ”Saya tidak munafik. Saya terima amplop. Tapi dengan konteks, tidak ada hubungan dengan pemberitaan dan media tempat saya bekerja. Jika pemberian itu tanpa syarat maka halal. Tapi jika dengan syarat, maka haram.”[4]

Para wartawan yang ingin mencari pembenaran bagi penerimaan ”amplop” tampaknya enggan menggunakan panduan yang sudah ada dari Dewan Pers. Butir ke-8 pernyataan Dewan Pers pada 11 Oktober 2001 tentang ”Mengatasi Penyalahgunaan Profesi Wartawan” menjelaskan: ”Masyarakat tidak perlu memberikan imbalan (dikenal sebagai “uang amplop”) kepada wartawan yang mewawancarai atau meliput.... Dengan tidak memberikan “amplop” (dalam konferensi pers atau seusai wawancara), berarti masyarakat turut membantu upaya menegakkan etika wartawan serta berperan dalam memberantas praktik penyalahgunaan profesi wartawan.”

Akan tetapi, pada pokoknya, penerimaan ”amplop” rupanya dipandang sebagai hal yang wajar oleh sebagian besar wartawan yang disurvei oleh AJI. Mereka agaknya tidak menganggap pemberian narasumber atau subjek berita itu sebagai, setidaknya, embrio penyuapan atau penyogokan untuk jangka panjang. Seolah-olah tidak ada kaitan antara kebiasaan menerima ”amplop”, atau ”budaya amplop”, dan kemungkinan kemandekan dalam pengembangan standar jurnalistik profesional.

Memang, tidak semua ”amplop”—dalam bentuk uang ataupun barang dan fasilitas—dapat dikategorikan sebagai suap atau sogok, kecuali jika nilainya sangat besar atau secara rutin menjadi semacam ikatan antara wartawan dan narasumber atau subjek berita. Akan tetapi, ”amplop” bernilai kecil pun, bila dianggap sebagai kewajaran dalam pekerjaan pers, tetap akan mengganggu integritas wartawan dan dapat menghambat kemajuan profesionalisme jurnalistik mereka.

Selama beberapa bulan belakangan saya membaca banyak karya jurnalistik, baik berita lempang (straight news) maupun feature, yang dijumpai pada surat-surat kabar mulai dari Medan, Padang, Jambi, dan Batam sampai ke Pontianak, Kupang, Manokwari, dan Jayapura. Dalam tulisan pers itu saya masih menemukan banyak kelemahan dalam pemenuhan persyaratan karya jurnalistik, seperti akurasi, keberimbangan, fairness, tidak bias, dan tidak diskriminatif. Malahan ada berita yang mengandung tuduhan sangat keras—seperti ”unjuk rasa anarkis yang brutal” atau ”menipu, menyesatkan, memecah belah umat Islam, dan menghancurkan kemurnian Islam”—tanpa diimbangi dengan klarifikasi atau pernyataan dari pihak yang dituduh atau dikecam.

Saya mencoba mencari sebab-musabab kelemahan standar jurnalistik di balik gaya penyajian tulisan pers kita, terutama di surat-surat kabar yang terbit di daerah. Dua di antara sejumlah pengamatan saya tentang penyebab kelemahan ini adalah masalah ”budaya amplop” yang sudah merasuk ke segala penjuru di negeri kita dan rendahnya imbalan bagi wartawan dan koresponden, baik gaji maupun fasilitas kerja. Sejauh itu, berikut adalah beberapa kesimpulan saya mengenai kemungkinan penyebab kelemahan, atau ketidakberimbangan, atau ketidaklengkapan karya jurnalistik dalam pers kita:

1. Penyusun berita kurang memahami permasalahan yang dibahas narasumber karena tidak lebih dulu mempelajari materi latar belakang (background information) seperti dari kliping, arsip, atau pustaka lainnya.

2. Kurang gencar melakukan wawancara dengan sebanyak mungkin narasumber yang relevan.

3. Kurang bernalar kritis dalam mengikuti permasalahan atau pernyataan yang hendak diberitakan sehingga ”kurang berminat” untuk bertanya secara gencar kepada narasumber.

4. Tidak mempunyai cukup waktu, antara lain karena terlalu banyak berita yang harus ia ”kejar”.

5. Hubungannya dengan narasumber terlalu dekat sehingga tidak ada jarak antara wartawan tersebut dan narasumber. ”Hubungan sebagai sahabat” seperti ini dapat mengakibatkan pemberitaan wartawan tersebut tidak objektif dan tidak komprehensif. Hubungan seperti ini dapat diakibatkan antara lain oleh penyediaan ”amplop” secara reguler oleh narasumber.

6. Menganggap narasumber yang berposisi ”kuat” dan ”berpengaruh” secara politis dan sosial ”pasti paling kredibel” dan pandangannya ”pasti benar”. Bila mereka melancarkan tuduhan atau kecaman, pihak yang dituduh atau dikecam dianggap tidak penting untuk dimintai klarifikasi atau reaksinya.

7. Gaji serta fasilitas kerja wartawan dan honorarium koresponden tidak memadai.

*****


* Artikel ini merupakan bahan diskusi pada peluncuran buku Potret Jurnalis Indonesia – Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota, Jakarta, 5 September 2006.

No comments: