Monday, December 18, 2006

Kemiskinan Memborgol Demokrasi

Mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela mengatakan, pemberantasan kemiskinan merupakan pilar bagi tercipta dan berkembangnya demokratisasi di Afrika. Benar juga! Bagaimana manusia bisa bicara soal demokrasi jika perut keroncongan? Bagaimana manusia bisa menyuarakan aspirasi jika ia sendiri tak berdaya secara fisik?

Tentu pernyataan itu juga berlaku untuk Amerika Latin, Timur Tengah, dan Asia. Lebih dari itu, bebas dari kemiskinan juga menjadi hak legal untuk siapa saja. "Setiap orang berhak atas standar hidup yang layak, dengan akses yang memadai terhadap layanan kesehatan untuk dirinya dan keluarganya, termasuk makanan...," demikian petikan dari Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal Hak Asasi Manusia 1948.

Bebas dari kemiskinan adalah bagian dari hak dan tentunya bagian dari demokrasi. Namun, semua itu masih ilusi bagi mayoritas warga dunia.

Wajah kusam dan lusuh, tempat tinggal seperti kandang ternak, merupakan pemandangan di banyak negara. Sejumlah gelandangan tergeletak di tepian jalan, ada pula anak-anak di bawah umur yang terpaksa bekerja untuk mencari nafkah. Dari Afrika hingga Jakarta, misalnya, tak sulit menemukan warga yang hidup dari mengemis karena miskin.

Memedihkan! Itulah kata yang paling tepat menggambarkan kehidupan dari 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, yakni mereka yang hanya memiliki pengeluaran kurang dari 1 dollar AS.

Siapa yang peduli akan nasib mereka? Semua mengatakan peduli, mulai dari negara miskin hingga para pemimpin G-8. Bahkan, setumpuk program pemberantasan kemiskinan global sudah tersusun. Salah satu yang ternama adalah Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), sebuah program PBB soal pengurangan 1,2 miliar warga miskin menjadi setengahnya pada tahun 2015. Namun, pesimisme mewarnai pencapaian target itu.

Banyak cara

Pertanyaannya kemudian, bagaimana menurunkan target-target itu. Apa saja kendala yang dihadapi?

Salah satu cara adalah dengan pertumbuhan ekonomi. Asisten Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB yang juga Direktur Program Pembangunan PBB (UNDP) Hafiz Pasha mengatakan, untuk mengurangi kemiskinan, semua negara wajib meraih pertumbuhan minimal 7 persen. Itu diperlukan untuk menciptakan kesempatan kerja sebesar 1 persen.

China pada khususnya dan Asia pada umumnya tergolong paling sukses menurunkan kemiskinan berkat pertumbuhan ekonomi.

Karena itu, semua syarat untuk kelancaran pertumbuhan ekonomi harus disiapkan. Celaka bagi negara berkembang. Banyak terjebak konflik, yang justru semakin memperburuk kemiskinan. Ada politisi yang saling sikut dan membuahkan politik yang tidak stabil.

Lepas dari itu, pertumbuhan ekonomi ternyata bukan pula cara paling ampuh mengurangi kemiskinan. Mengapa? UNDP memperlihatkan pertumbuhan ekonomi hanya menghasilkan peningkatan kemakmuran warga kaya dan tak menetes ke bawah.

Bagaimana mengatasinya?

Peraih Nobel Perdamaian 2006 Muhammad Yunus mengatakan, pengurangan kemiskinan harus dengan program yang menyentuh langsung mereka yang terjerat kemiskinan. Sejak tahun 1974 sampai 2007, ia membuktikan bahwa setidaknya 6 juta warga termiskin di Banglades bebas dari kemiskinan, padahal Banglades bukan negara yang tergolong emerging market (negara dengan perekonomian yang menggeliat) seperti banyak negara Asia lainnya.

Peningkatan kredit mikro adalah salah satu andalan yang diusulkan Yunus. Ia mengecam Bank Dunia, yang tidak fokus pada tugasnya, yakni memberantas kemiskinan. Bank Dunia malah memberikan kredit kepada perusahaan pertambangan lewat afiliasinya, International Financial Corporation. "Tidak 1 persen pun dari 20 miliar dollar AS dana Bank Dunia yang mengalir ke kredit mikro," kata Yunus.

Program kredit mikro sudah mulai mendapatkan perhatian besar, tetapi implementasinya masih seperti hangat-hangat kuku dan tidak revolusioner.

Pola De Soto

Saran lain soal pengurangan kemiskinan adalah dengan pemberdayaan sektor informal, usulan Hernando de Soto. Sebanyak 70 persen penduduk dunia itu hidup di sektor informal, pada umumnya di negara berkembang. Mereka tidak mendapatkan status hukum, terlunta-lunta, menjadi sasaran pemerasan oleh aparat, preman, dan bahkan pejabat pemerintah.

Sektor informal tidak punya akses ke sektor modern, termasuk ke perbankan. "Jangan beri belas kasihan pada rakyat kecil. Beri saja mereka akses ke sektor modern dan pemberian status hukum, maka pelaku sektor informal akan bergerak sendiri," kata De Soto.

Dengan status hukum, sektor informal menjadi bankable (layak diberi pinjaman perbankan). Keberadaan status hukum adalah salah satu syarat paling mendasar bagi perbankan untuk mengucurkan kredit ke dunia usaha. Sudah ada 35 negara yang meminta nasihat De Soto.

Namun, jangan lupa, De Soto menegaskan bahwa pemberdayaan sektor informal juga harus diiringi dengan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada kaum papa, tidak semata-mata pemberian status hukum, walau status hukum merupakan syarat paling fundamental. Namun, belum banyak yang serius menjalankannya.

Alternatif lain

Ada lagi alternatif lain untuk mengurangi kemiskinan. Ini terutama berlaku bagi negara yang kaya minyak dan sumber daya alam lainnya. Perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair pada sebuah pertemuan dunia di Johannesburg, Afrika Selatan, tahun 2002 mengusulkan The Extractive Industries Transparency Initiative (IETI).

Program IETI ini bermakna luas, yakni bagaimana mengubah sumber daya alam menjadi berkah dan bukan kutukan, dan sumber pertikaian, konflik berdarah. Transparansi pengelolaan dan eksplorasi atas sektor pertambangan sangat diperlukan. Tujuannya agar hasil sektor tambang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan mayoritas warga, pemilik sumber daya.

Norwegia merupakan salah satu negara kaya minyak dan ingin berbagi pengalaman soal pengelolaan kekayaan alam bagi negara berkembang lainnya.

Namun, empat tahun setelah EITI dicanangkan, tak banyak perubahan dalam transparansi pengelolaan sektor tambang. Itu hanya milik elite, yang terdiri dari korporasi asing, dan elite pemerintahan. Rakyat hanya penonton.

Venezuela, Rusia, Bolivia, dan kini Ekuador telah mencoba membalikkan keadaan itu. Hasilnya adalah perbaikan besar dalam alokasi kekayaan alam, yang dialokasikan kepada rakyat. Lagi, belum banyak negara lain yang mengikutinya, termasuk Indonesia.

Alternatif lain untuk mengurangi kemiskinan adalah pengurangan beban pembayaran utang luar negeri negara berkembang, oleh negara maju. UNDP tak melihat semangat besar negara kaya untuk melakukan itu.

Pengurangan kemiskinan juga bisa dilakukan dengan pembukaan pasar negara maju terhadap produk pertanian negara berkembang. Namun, semua upaya itu masih mentok. Perundingan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) kini buntu karena negara maju belum mau membuka pasarnya untuk komoditas pertanian negara berkembang.

Maka, tak heran jika pada pertemuan G-8 tahun 2005 di Gleeneagles, Skotlandia, PM Blair mengutarakan bahwa keadaan di Afrika—dan tentunya di negara lain—merupakan simbol dari nurani dunia yang terkoyak.

Para aktivis hingga Sekjen PBB Kofi Annan menyatakan, dibutuhkan perhatian lebih besar untuk mengurangi kemiskinan. Pemberantasan terorisme, penciptaan perdamaian global, antara lain harus juga dilakukan dengan mengatasi akarnya, yakni kemiskinan.

Menurut Annan, adalah unsur kemiskinan yang justru membuat orang gampang direkrut untuk menjadi teroris atau terdorong sendiri untuk berbuat kriminal. Kemiskinan telah mempersulit stabilitas, yang juga harus menjadi pilar demokrasi. Kesimpulannya adalah kemiskinan masih memborgol demokrasi!
(Simon Saragih)

No comments: