Thursday, January 4, 2007

Gerakan Mahasiswa 98: Perlu Sebuah Parameter

Gerakan Mahasiswa 98: Perlu Sebuah Parameter

"Situasi krisislah yang menarik orang turun ke jalan."

Pada akhir tahun 80-an/awal tahun 90-an begitu sulitnya mengajak mahasiswa untuk berdemonstrasi. Ini bisa dipahami karena setelah Peristiwa Malari dan Gerakan Mahasiswa 1978, mahasiswa dibungkam. Menteri P dan K saat itu, Daoed Josoef, mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK). Dengan kebijakan itu, dewan mahasiswa dibubarkan, dan yang tersisa hanyalah unit kegiatan mahasiswa dan senat fakultas, serta himpunan mahasiswa jurusan.

Dalam konsep NKK/BKK, kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat ilmiah. Dan, lebih dari itu, aktivitas mahasiswa berupa demonstrasi dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai dengan iklim masyarakat ilmiah. Kegiatan kemahasiswaan "dipagari" pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Selain itu, dalam Tri Darma Perguruan Tinggi dinyatakan bahwa fungsi perguruan tinggi adalah menjalankan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Depolitisasi yang diterapkan saat itu sungguh efektif sehingga selama beberapa tahun kegiatan mahasiswa jauh dari aktivitas demonstrasi. Juga ketika kebijakan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) diterapkan oleh Menteri Fuad Hassan.

Sesungguhnya dalam konsep SMPT tidak banyak yang berubah dari NKK/BKK. Esensinya: "kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri mahasiswa..." masih digunakan dalam konsep SMPT. Dan, "pengembangan diri mahasiswa" dalam praktiknya diartikan sebagai kegiatan olahraga, kesenian, seminar, diskusi, pers mahasiswa; bukan sikap kritis terhadap kondisi masyarakat.

Hal yang penting untuk dicatat pada saat itu adalah munculnya kelompok-kelompok studi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Para mantan aktivis Malari menyebar, ada yang membentuk kelompok studi, LSM, dan ke media massa. Pada akhirnya aktivis kelompok studi tidak puas sekadar berdiskusi tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat. Demikian juga dengan LSM, tidak puas hanya melakukan pendampingan masyarakat marginal. Ketika terjadi penggusuran-penggusuran penduduk, mereka terpanggil untuk melakukan aksi. Pembangunan Waduk Kedungombo mengakibatkan penduduk digusur dengan ganti rugi yang sangat tidak memadai.

Atas kasus inilah sebagian kecil mahasiswa, terutama aktivis pers dan kelompok studi, turun ke jalan, mengadakan demonstrasi. Aksi-aksi serupa juga terjadi atas kasus Kacapiring, Badega, dan lain-lain. Di kampus, mahasiswa mengadakan mimbar bebas untuk menyatakan solidaritas terhadap nasib masyarakat yang terkena penggusuran. Aksi-aksi tersebut diikuti oleh sebagian kecil mahasiswa. Juga ketika kebijakan SMPT mulai dikumandangkan, mahasiswa yang mengadakan protes relatif sedikit. Bahkan, dari kasus itu mahasiswa terpecah menjadi dua, ada yang pro dan ada yang kontra. Yang menentang SMPT, di UGM misalnya, sampai mengadakan aksi mogok makan--saya salah seorang pelakukanya--yang didemo oleh mereka yang mendukung SMPT. Kesadaran Baru: Organisasi Buruh melakukan mogok kerja menuntut upah yang layak. Petani berbondong-bondong ke DPR lantaran tanahnya digusur. Sopir mogok karena harga suku cadang melambung. Artinya, masyarakat melakukan protes karena kebijakan yang ada merugikan hak-haknya; menyangkut kepentingannya. Lalu, bagaimana dengan mahasiswa? Gerakan mahasiswa '90 awal ditandai salah satunya oleh protes- protes terhadap mahalnya uang SPP, minimnya fasilitas pendidikan, pungutan uang Potma (Persatuan Orang Tua Mahasiswa) atau sejenisnya. Protes-protes semacam ini tidak begitu menarik mahasiswa, walaupun itu menyangkut kepentingan mahasiswa. Mengapa demikian? Karena, hanya sebagian kecil mahasiswa yang merasakan beratnya beban tersebut. Meskipun SPP mahal, mereka masih bisa membayarnya; meskipun fasilitas pendidikan minim (perpustakaan yang miskin koleksi, ketiadaan klinik untuk mahasiswa, dan lain- lain), mahasiswa tidak begitu peduli. Aksi-aksi mahasiswa yang menyatakan solidaritas terhadap petani yang digusur atau buruh yang upahnya minim itu didorong oleh rasa simpati. Mahasiswa tergerak karena melihat ada ketidakadilan dalam kasus-kasus tersebut. Ini pun hanya menarik bagi sebagian kecil mahasiswa. Berbeda dengan protes terhadap sumbangan dana sosial berhadiah (SDSB) dan Undang-Undang Lalu Lintas. Puluhan ribu mahasiswa dan kalangan masyarakat yang lain turun ke jalan. Bagaimanapun gerakan mahasiswa 90-an telah menciptakan kesadaran baru: pentingnya sebuah organisasi sebagai alat perjuangan. Aksi mahasiswa '98 mempunyai karakteristik yang berbeda dengan sebelumnya. Dari segi jumlah boleh dikatakan mencengangkan. Puluhan ribu bahkan ratusan ribu mahasiswa berdemo. Dan, hampir terjadi di seluruh kampus di Tanah Air, dari kampus yang besar sampai kampus yang paling "manis". Dari segi isu yang diangkat sangat politis: menuntut turunnya Presiden Soeharto. Dan, dari segi militansi bisa dikatakan luar biasa. Mahasiswa berani bentrok dengan aparat keamanan, hingga jatuh korban luka-luka dan meninggal. Dan, dilihat dari segi hasil sungguh "ajaib": Presiden turun! Situasi krisislah yang menarik orang turun ke jalan. Krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat: melambungnya harga-harga, bangkrutnya sejumlah perusahaan, merebaknya pemutusan hubungan kerja. Karena krisis pula, mahasiswa juga terkena dampaknya. Harga kertas yang kian mahal tentu menyulitkan mahasiswa dalam menulis skripsi, tugas-tugas kuliah, dan fotokopi materi kuliah. Selain itu, mahasiswa kesulitan membayar indekos, membayar SPP, membeli buku, dan lain-lain. Selain itu, krisis yang menyebabkan kesengsaraan rakyat ini telah "mengetuk" hati nurani mahasiswa. Anggota masyarakat yang bernama mahasiswa memang unik. Dibanding pemuda yang lain (usia antara 18-26 tahun), mereka hanya dibedakan oleh status mahasiswa. Tetapi, pemuda dalam kelompok mahasiswa ini memiliki peluang untuk belajar tentang masyarakat, memperoleh informasi tentang kondisi masyarakat. Mereka juga punya peluang lebih besar untuk mengetahui ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Tentu, wawasan saja tidak cukup. Informasi saja tidak cukup. Faktor lain adalah idealisme. Mahasiswa terketuk hatinya untuk menyuarakan protes terhadap ketidakadilan dan penyelewengan yang dilakukan pemerintah. ......

Gerakan mahasiswa 66 adalah gerakan mahasiswa tanpa ideologi. Gerakan tersebut muncul karena dorongan untuk mengoreksi kebijakan pemerintah yang berlanjut pada menumbangkan pemerintah yang berkuasa saat itu. Lepas dari persoalan bahwa gerakan tersebut ditunggangi oleh tentara, yang jelas gerakan mahasiswa 66 timbul karena krisis. Pada masa Orde Lama (penamaan ini oleh pemerintah berikutnya yang menyatakan diri sebagai Orde Baru) dianggap banyak terjadi penyelewengan konstitusi (UUD 45), gejolak politik dengan sering bergantinya kabinet dan pertentangan antarpartai-partai yang membawa ideologi yang berbeda, serta kondisi ekonomi yang buruk dengan ditandai oleh melambungnya harga-harga. Personifikasi dari krisis tersebut adalah Presiden Soekarno. GM 66 memprotes itu semua hingga Soekarno jatuh. Gerakan Mahasiswa 66 sesungguhnya tidak memiliki konsep yang detail tentang arah perubahan yang diinginkan. Secara garis besar yang dituntut adalah turunnya harga, bersihkan kabinet, dan bubarkan PKI yang dikenal dengan Tri Tura. Setelah Soekarno jatuh dan Tri Tura terpenuhi tokoh-tokoh mahasiswa beramai-ramai menduduki lembaga pemerintahan. Benar, Orde Baru membawa banyak perubahan. Partai-partai politik dirampingkan menjadi tiga partai: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PKI dibubarkan yang disertai dengan pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI. Orde Baru bertekad melaksanakan UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Lalu, dimulailah pembangunan yang dititikberatkan pada pembangunan di bidang ekonomi secara bertahan (Pelita). Semua itu berlangsung berdasarkan proses yang dimotori oleh Presiden Soeharto.

Mahasiswa tidak pernah membayangkan sebelumnya tentang konsep pembangunan dan tatanan masyarakat Orde Baru. Bagi mereka yang penting adalah Soekarno jatuh, harga-harga stabil, PKI bubar, dan selanjutnya mereka dapat porsi duduk di pemerintahan--menjadi menteri atau duduk di kursi DPR. Bagaimanakah dengan gerakan mahasiswa 98? GM 98 timbul karena situasi krisis. Krisis moneter dimulai sejak Juli 1997 secara cepat meningkat menjadi krisis ekonomi dan selanjutnya disusul dengan krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pemerintah Orde Baru memang patut untuk tidak dipercayai. Karena, kebijakan- kebijakannya mengkibatkan krisis ini. Di bidang politik, penerapan paket lima Undang-Undang Politik telah mengebiri potensi masyarakat untuk melakukan kontrol. Padahal, kontrol masyarakat terhadap pemerintah sangat penting untuk mencegah terjadinya segala bentuk penyelewengan. Sentralisasi kekuasaan pada lembaga eksekutif juga memperlemah kekuatan lembaga legislatif untuk melakukan kontrol terhadap eksekutif. Ketiadaan kontrol itu memberi peluang bagi tindak penyelewenangan: korupsi, kolusi, dan nepotisme. Di bidang kebudayaan, kebijakan-kebijakan yang dibuat Orde Baru telah membelenggu kreativitas seniman. Pelarangan sejumlah buku sastra dan pelarangan pertunjukan seni adalah contoh bentuk pembelengguan kreativitas. Dunia perfilman terpuruk pada selera "Ranjang Siang Ranjang Malam"; terjadi monopoli distribusi film impor oleh pengusaha yang dekat dengan birokrasi (kolusi). Di bidang hukum, produk hukum yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman tetap diberlakukan; produk hukum yang membelenggu masyarakat, contohnya pasal-pasal karet (hatzaiartikelen), UU Subversi. Juga kerap terjadi mafia peradilan, peradilan sesat, dan lain-lain. Pendirian pengadilan tata usaha negara (PTUN) tidak mengatasi persoalan, karena pada praktiknya masyarakat selalu terkalahkan. Di bidang pers, masih sering terjadi pembredelan surat kabar ataupun majalah. Dan ini jelas sebagai bentuk intimidasi terhadap fungsi kontrol sosial dari pers.

Dan, di bidang ekonomi, kebijakan ekonomi tidak berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, tetapi berpihak kepada segelintir orang yang dekat dengan birokrasi (pemerintah). Terjadinya monopoli oleh anak-anak Soeharto, misalnya, mengakibatkan terampoknya uang rakyat untuk kepentingan keluarga Cendana dan lebih jauh mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Suap, uang pelicin, uang "keamanan" berakibat pada ekonomi biaya tinggi. Maka, tidak heran jika GM 98 tidak sekadar menuntut Presiden Soeharto turun, tetapi lebih mendasar lagi adalah reformasi total. Reformasi total berarti merombak tatanan lama dan menciptakan tatanan baru yang mengoptimalkan potensi masyarakat dalam berbagai bidang. Sebuah tatanan yang bebas dari tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tatanan yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah sehingga mempersempit peluang tindak penyelewengan. Sebuah tatanan yang memungkinkan masyarakat bebas dari rasa takut, bebas berekspresi. Tatanan yang memperhatikan hak asasi manusia. Tatanan baru yang berorientasi pada kesejahteraan, keadilan, dan kemuliaan. GM 98 belum berakhir. Turunnya Soeharto barulah sebagai awal dari kemenangan awal; awal sebuah reformasi total. Karena benteng angkuh Orde Baru yang penuh dengan penyelewengan sudah tumbang. Reformasi di segala bidang pun harus segera dimulai. Untuk mengukur keberhasilan, haruslah ada parameter. Tugas mahasiswa dan kelompok masyarakat yang pro-reformasi adalah membuat parameter, mengontrol, dan terus berjuang.

No comments: